“Sudah sampai, Mbak.” Ujar supir taksi yang mengantar Savana ke sebuah restoran bintang lima siang itu, tempat pertemuannya dengan Daryan untuk membahas pernikahan mereka.
“Terima kasih, Pak.” Savana segera turun dari mobil setelah membayar biaya taksi, matanya membulat ketika melihat gedung restoran mewah di hadapannya. “Cuma mau bahas soal yang kemarin harus ke tempat semewah ini,” gumamnya pelan. “Apa dia mau pamer kalau dia itu sekaya apa? Pastinya makanan di sini mahal-mahal kan?” “Selamat datang,” sapa respsionis restoran dengan ramah, kedua tangannya mengatup rapat di depan wajah. “Apa sudah melakukan reservasi?” “Iya, sudah.” Balas Savana sambil tersenyum manis, senyum yang membuatnya terlihat begitu cantik. “Atas nama Kakak siapa?” “Bukan nama saya, tapi nama ...,” Savana menggantung ucapannya sebelum tersenyum canggung. “Calon suami saya, namanya Daryan Bumi Ardhanata.” Seketika bola mata karyawan itu membelalak, siapa yang tidak tahu dengan nama panjang itu. Pengusaha tersohor di negara Asia, tampan, masih muda dan belum menikah—lalu tiba-tiba seorang gadis muda mengaku calon istrinya? “Pak Daryan ....” “Pemilik perusahaan Bumi Raya Group.” “Ah ...,” seru respsionis. “Kalau begitu, mari ikut saya.” Savana mengekor di belakang resepsionis dengan langkah ragu-ragu, takjub dengan kemegahan restoran yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sambil melangkah, dia semakin memahami betapa Daryan bukan hanya sekadar kaya, tetapi hidup dalam dunia yang jauh melampaui kehidupan normal. Pelayan resepsionis yang sebelumnya tampak terperanjat saat dia menyebut nama Daryan, menyiratkan pengakuan atas kekuasaan dan pengaruh pria itu. “Silahkan ....” seru respsionis tadi sambil menarik kursi untuk Savana duduk. “Terima kasih.” “Sama-sama,” sahutnya ramah. “Mau pesan minuman dulu atau mau langsung pesan sama makanannya sekarang?” “Gak deh, nanti saya pesan kalau calon suami saya sudah datang.” Wanita itu mengangguk kecil. “Baik, kalau begitu saya permisi.” Pamitnya seraya berjalan mundur, berbalik dan meninggalkan ruangan. Savana memperhatikan interior private room tersebut, begitu mewah dan sangat aesthetic. Ia lantas membuka ponselnya dan mulai mengabadikan momen di ruangan itu dengan melakukan selfi. “Oh, jadi ini perempuan yang mau nikah sama anak saya?” Sebuah suara dari ambang pintu mengejutkan Savana yang baru saja hendak menjepret tangkapan kamera depannya yang sudah mengarah ke wajah. Savana menolehkan kepala dan melihat sosok wanita paruh baya yang terlihat begitu elegan meski umurnya dimakan oleh usia, gayanya glamor dari atas sampai bawah—siapapun tahu semua yang dia kenakan barang-barang mahal. “Eh ....” Savana terlihat bingung, dia tidak mengenali wanita paruh baya itu—tangannya buru-buru meletakan ponselnya kembali ke atas meja. “Saya Sri Ajeng Ardhanata, istri dari Alm. Guntur Bumi Ardhanata dan ibu kandung dari Daryan Bumi Ardhanata, CEO Bumi Raya Group,” ucap Ajeng dengan nada dingin yang menyelubungi setiap kata. Sorot matanya tajam bagaikan belati, menusuk langsung ke hati Savana. “Jadi, kamu yang akan menikah dengan putra saya?” sambungnya, suara sinisnya semakin terasa, memberikan tekanan yang membuat suasana menjadi lebih tegang. Savana buru-buru bangkit dari duduknya, “I-iya,” sahutnya gemetar, kemudian dia mengulurkan tangan kanannya. “Perkenalkan, nama saya Sava ....” Plak! “Akh!” Savana terpekik pelan ketika tangannya di tepis dengan kasar oleh Ajeng, ia terkejut bukan main. “Ma-maaf? Apa salah sa ....“ “Apa salah kamu?” Ajeng tersenyum miring. “Salah kamu itu banyak. Pertama, kamu berani-beraninya mau menikah dengan anak saya. Siapa kamu? Cuma anak babu kantor rendahan, sok-sokan menikah dengan putra saya?” Gleg. Savana menelan ludahnya susah payah. “Maaf ... Bu ....“ “BU?” bola mata Ajeng membelalak. “Kurang ajar kamu panggil saya Ibu, panggil saya NYO. NYA! Level saya dan kamu itu jauh, bagaikan langit dan bumi,” ucapnya tajam. “Kita dari kasta berbeda, jadi kamu harus sadar diri sebagai anak babu kantoran. Panggil saya Nyonya.” Savana terdiam, ia menggigit bibirnya kuat menahan kata yang akan dia keluarkan ketika kesabarannya sudah di ambang batas. Apalagi ini menyangkut harga dirinya dan juga keluarganya. Savana tahu, Ajeng datang untuk menghinanya. “Jauhi anak saya dan batalkan rencana pernikahan ini,” kata Ajeng tegas. “Saya tahu, kamu dan anak saya pasti tidak benar-benar kenal apalagi melangsungkan pernikahan secara resmi. Pasti ada hitam di atas putih kan? Walaupun begitu, saya tetap tidak setuju anak saya menikah dengan perempuan yang tidak setara dengan keluarga saya.” “Dibayar berapa kamu sama anak saya, huh?” Ajeng mengangkat dagunya tinggi, menatap Savana dari atas sampai bawah dengan tatapan merendahkan. “Saya akan bayar lebih mahal dari anak saya, asalkan kamu batalkan pernikahan ini karna saya tidak mau punya menantu ....“ “Berhenti!” Ajeng dan Savana langsung menoleh ke ambang pintu di mana Daryan masuk bersama Revanza di belakangnya, langkahnya tegas penuh wibawa. Ruangan semakin mencekam karna kedatangannya. “Apa maksud Mama bicara seperti itu terhadap calon istriku?” tukas Daryan dingin, tatapannya datar tanpa ekspresi. Ajeng mengetatkan rahangnya dan menatap putranya tajam. “Mama kan sudah bilang, Mama gak setuju kamu nikah dengan perempuan yang tidak setara dengan keluarga kita. Mama sudah siapkan kamu tiga perempuan terbaik, tapi kamu malah milih ...,” ia melirik Savana sinis. “Perempuan ini? Ada perjanjian apa dari kalian berdua, huh?” “Apa maksud Mama perjanjian?” tukas Daryan sinis. “Apa Mama pikir, aku tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu?” Ajeng terdiam tak menyela. “Aku menikahi Savana karna Mama ingin segera punya cucu dan terus memaksaku menikah.” Ajeng langsung menoleh pada putranya. “Jadi benar kan? Kamu menikahi perempuan ini karna menghindar ocehan dari Mama, karna kamu tidak mau disetir sama Mama kalau Mama yang pilihkan kamu calon istri.” “Bukan,” balas Daryan tegas, ia melangkah lebih maju dan berdiri di sebelah Savana sebelum meraih tangan gadis itu. Savana yang tadinya menunduk dalam diam akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Daryan yang menggenggam tangan kanannya. “Aku menikahi Savana karna aku mencintai dia,” lanjut Daryan membuat Ajeng terkejut, begitu pula dengan Savana. “Apa maksud kamu, Daryan?” protes Ajeng, matanya menyala penuh amarah menatap tangan putranya yang menggenggam tangan Savana. “Mama salah paham. Aku bukan menghindar dari pernikahan karna aku tidak siap. Aku Cuma menunggu orang yang tepat. Dan saat aku bertemu Savana ... aku tahu dia orangnya.” Daryan menatap ibunya dengan sorot mata tenang, tapi tegas. “Awalnya aku ingin menunggu Savana menyelesaikan kuliahnya. Tapi saat Mama mengatakan ingin segera menimang cucu, aku sadar, aku tidak ingin kehilangan kesempatan membangun hidup bersama Savana. Karna itu aku memutuskan untuk menikahinya sekarang.” “Daryan ....” lirih Ajeng tak percaya, namun ada gurat geli yang muncul di wajahnya yang keriput. “Kamu serius ngomong begini karna cinta? Bukan akal-akalan kamu aja supaya lolos dari perjodohan, kan?” Daryan tak menjawab. Sebagai gantinya, ia menatap Savana dalam-dalam, lalu menggenggam tangan gadis itu dan ... mengecupnya pelan membuat semua orang yang ada di tempat membelalakan matanya kaget.Savana langsung mendorong pelan tubuh Daryan menjauh darinya, rona wajahnya berubah gugup seketika saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “M-ma … i-ini … bukan seperti yang mama pikir ....” Namun sebelum Savana sempat menyelesaikan kalimatnya, Daryan menyela dengan santai, bahkan terlalu santai. “Maaf, Ma. Saya yang tidak tahu tempat.” Savana membelalak, menoleh kaget ke arahnya. “Mas….” desisnya pelan. Tapi Daryan hanya tersenyum sekilas. “Mama ke sini sendiri?” Hana mengangguk pendek, ekspresinya masih menyimpan keterkejutan sejak melihat pemandangan privasi sepasang suami-istri barusan. Daryan melirik jam di tangan kirinya. “Sepertinya saya harus berangkat ke kantor sekarang. Kalau begitu, saya pamit dulu.” Daryan melangkah pergi tanpa tergesa, pembawaannya tenang dan penuh wibawa. Ia meninggalkan keduanya di depan pintu penthouse, seakan tahu ini urusan ibu dan anak yang tak boleh ia ganggu lebih jauh. Begitu pintu tertutup, Savana menghela napas panjang dan menatap
Pagi itu, Savana keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih pendek yang dililit di tubuhnya. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air menuruni bahunya. Saat membuka pintu, ia langsung terkejut. “Ngapain mas berdiri di situ?” tanyanya kaget, satu tangannya memegangi dadanya. Daryan bersandar santai di sisi dinding, menyambutnya dengan senyum tenang. “Saya nungguin kamu. Tadi saya yang antar kamu ke kamar mandi, jadi sekarang saya jemput lagi.” Savana mendengus pelan kemudian tersenyum kecil, memalingkan wajahnya mencoba menutupi rona merah di pipi. “Gak usah, mas.” Tolaknya sambil berjalan melewati sang suami. “Bukannya kamu masih sakit?” balas Daryan, matanya menelisik langkah Savana yang tampak berbeda, menahan perih di area tertentu. “Udah gak, kok,” jawabnya cepat, berjalan ke arah meja rias dengan sedikit kaku. Daryan tak tinggal diam, ia mengikuti langkah istrinya dan berdiri tepat di belakangnya, menatapnya lewat pantulan cermin. Senyum kecil terus menggan
Savana duduk di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin tampak berbeda malam ini. Rambutnya digerai lembut, makeup tipis hanya menonjolkan bibir dan matanya. Piyama satin berwarna lembut melapisi tubuhnya, tapi di baliknya berupa lingerie tipis yang mencetak tubuh seksinya. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya menekan dada, mencoba menenangkan degup yang tak mau kompromi. Aku bisa. Aku udah siap. Tapi, kenapa sesulit ini? Diam-diam dia mengulas senyum manis. Mengingat pengakuan cintanya pagi tadi, dan pengakuan cinta suaminya yang ternyata selama ini menyimpan perasaan yang sama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Savana menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah ketika melihat sosok Daryan muncul dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggangnya. Tubuh bagian atasnya basah dan masih menetes, otot-ototnya terlihat tegas di bawah cahaya temaram kamar. Daryan berjalan pelan ke arah lemari, namun langkahnya terhenti saat melihat Savana yang kini diam membeku
Daryan menatap istrinya dalam-dalam. Bibirnya bergerak seakan hendak bicara, tapi akhirnya hanya keluarkan satu kalimat, lirih. “Kenapa kamu tetap ingin pergi, Savana?” Savana menunduk sambil menggigit bibirnya kuat, jari-jarinya menggenggam erat ujung selimut. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata lirih, “Karena dari awal ini hanya perjanjian, mas. Dan saya gak mau terlalu berharap lebih.” Daryan tersenyum kecil, tapi ada getir di sana. “Jadi kamu menahan diri untuk gak berharap ... karena takut jatuh cinta?” Savana langsung menoleh menatapnya, kaget dengan tebakan itu. “Saya bukan penebak, tapi saya tahu seperti apa wajah orang yang berusaha menyembunyikan perasaannya,” lanjut Daryan dengan nada lebih tenang, tatapannya sedikit melembut. “Kamu juga begitu, mas.” Savana akhirnya bersuara, meski pelan. “Mas juga kelihatan gak jujur sama perasaan sendiri.” Daryan tak membantah. Ia memutar wajah, menyembunyikan ekspresinya dengan menatap ke luar jendela. “Mungkin. Karena s
“Mas ….” “Hm?” Daryan menyahut pelan, suaranya lembut dan nyaris berbisik. Savana yang berbaring di sampingnya menatap langit-langit kamar, tangannya menggenggam erat pakaian yang kini membalut tubuhnya. Tangan kanannya masih berada dalam genggaman Daryan yang hangat. Ia ragu sejenak, tapi pertanyaan itu tak bisa ditahan lebih lama. “Mas yang ganti pakaian saya?” Daryan tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, seperti sedang memilih kata. “Iya,” ucapnya akhirnya. Tubuh Savana langsung menegang. Matanya membelalak, wajahnya memerah bukan hanya karena demam melainkan malu. “Berarti ... mas udah lihat semuanya?” Daryan memejamkan mata sejenak, berusaha menahan gelombang emosi yang datang dari raut Savana. “Savana .…” “Mas!” potong Savana cepat, wajahnya kini semakin memerah karena malu dan canggung. “Kenapa mas gak manggil perawat atau siapapun?” “Karena saya panik!” Daryan akhirnya menaikkan sedikit suaranya. Tapi bukan marah, lebih ke frustasi. “Kamu pingsan di kamar ma
Daryan berdiri di balkon dengan wajah tegang. Di tangan kirinya, iPad menyala menampilkan rekaman dari CCTV mansion. Jarinya menyapu layar, mempercepat waktu, sampai akhirnya terhenti di satu rekaman di ruang kerjanya. Matanya menyipit tajam. Rekaman itu memperlihatkan Ajeng datang membawa secangkir kopi lalu dengan tanpa ragu, menuangkannya ke buku tugas Savana. Sang ibu membentak, dan puncaknya ... menampar Savana keras hingga sang istri terhuyung. Rahang Daryan langsung mengeras. Tangannya mengepal kuat, hampir membuat iPad itu retak di genggamannya. Hatinya berdesir dengan rasa bersalah yang dalam. Jadi itu alasannya... Savana bukan lari dari tanggung jawab. Bukan semata karena kekanak-kanakan seperti yang dia pikirkan. Tapi karena dia benar-benar disakiti. Dan yang paling menyakitkan saat semua itu terjadi, Daryan tidak ada di sisinya. Ia segera melangkah masuk ke kamar. “Savana,” panggilnya, tapi Savana tidak ada di sana. Daryan baru teringat kalau istrinya tadi pergi