Share

Bab 06 : HARI PERNIKAHAN

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-06-01 08:32:01

Satu minggu berlalu dari perjanjian kontrak antara Daryan dan Savana, kini tepat hari pernikahan mereka akan di selenggarakan.

Langit pagi itu indah, pendopo keluarga Ardhanata berdiri megah dengan hiasan janur kuning melengkung di gerbang masuk.

Wangi bunga melati menyergap kaki Savana ketika melangkah di atas karpet merah, menuju pelaminan yang tak pernah gadis cantik itu impikan.

Savana memandang sang ibu yang duduk di kursi tamu bersama ayahnya—Ameer, dengan mata berkaca-kaca, penuh penyesalan. Hatinya remuk melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah Hana karena pernikahan yang mendadak ini. Tanpa konsultasi, tanpa persiapan, segala sesuatunya terjadi begitu cepat hingga ia tak sempat menyuarakan protesnya.

Hari ini, dia akan dipersunting oleh pria yang bahkan tidak pernah ia kenal sebelumnya, seorang yang berumur sebelas tahun lebih tua.

"Maafin aku, Ma," Savana menggumamkan kata-kata itu dengan suara yang serak, tercekik oleh emosi yang menumpuk. "Aku ngelakuin ini semua karena terpaksa..." Kata-katanya hampir tak terdengar.

Di sisi Hana, sang suami—Ameer, dengan nada tajam dan mendesak bisik ke telinga istrinya. "Hana, tersenyumlah sedikit," ujarnya dengan napas yang tercekat. "Ini hari pernikahan anak kita, jangan sampai orang lain menyangka dia dijodohkan tanpa keinginannya, seolah kita menjualnya."

Mata Hana membeku, tatapannya menyayat ke arah Ameer. "Itu kenyataannya, kan?" jawabnya dengan nada ketus. "Kamu yang maksa dia, Ameer. Kamu yang jual masa depan anak kita demi keuntungan kamu sendiri. Apa sebenarnya yang kamu cari, huh?" Suaranya yang bergetar membawa desakan dan ketidakpuasan mendalam.

Ameer menatap tajam, kemudian menghela nafas dalam-dalam. "Aku tidak memaksa Sava menikahi Pak Daryan. Itu sepenuhnya keputusan Sava sendiri."

"Kamu pikir aku percaya itu?" Hana menunjukkan ketidaksenangan melalui bisikan penuh kegetiran. "Jika memang itu benar-benar kehendak Savana, dia pasti mengajakku berdiskusi. Tidak mungkin dia, yang masih sangat muda, bisa memilih sesuatu sebesar itu tanpa pengaruh dari kamu. Dan lebih lagi, laki-laki itu atasan kamu sendiri!"

Tawa Ameer pecah, renyah namun pahit. "Han, kamu ga sadar? Sava sudah berumur 18 tahun dan akan segera 19, dia sudah layak dianggap dewasa. Tentu saja, dia mampu membuat keputusan soal pernikahannya sendiri."

Hana menggigit bibirnya. Matanya menyorot tajam pada suaminya, Ameer.

"Salah siapa, membiarkan Savana datang menemuiku di kantor beberapa minggu yang lalu? Dan kamu tahu apa yang dia lakukan?" suara Ameer menggema, menusuk kesunyian. Hana menatap Ameer, kepalanya menggeleng pelan. "Dia menawarkan diri untuk dinikahi oleh atasanku, asal kamu tahu itu," sambung Ameer dengan nada penuh penekanan.

"Itu tidak mungkin!" potong Hana, suaranya tajam. "Stop, Ameer. Jangan lagi mengada-ngada!"

Tapi Ameer hanya tersenyum miring, senyum yang mengandung seribu arti. "Aku tidak mengada-ngada, Hana. Itu faktanya. Mau tahu apa alasannya?" mata Ameer berkilau penuh arti sebelum dia melanjutkan, "Karena ibunya."

Mata Hana terbelalak, emosi membara dalam dadanya. "Apa maksudmu karena aku?" suaranya pecah, nyaris tidak percaya dengan tuduhan yang terlontar begitu saja.

"Karena kamu, karena ibunya yang sedang berjuang melawan sakit dan memerlukan biaya besar setiap bulannya. Apa kamu mengerti sekarang kenapa anakmu ingin menjadi seorang dokter? Tapi dia sadar, butuh waktu lama. Dan, menikahi pria kaya adalah jalan pintas untuk memastikan kamu mendapat perawatan terbaik."

Seringai licik muncul di wajah Ameer, tanda kemenangan kecil yang baru saja dia capai untuk melawan argumen istrinya.

"Jadi, mulai sekarang. Tersenyumlah di hari yang seharusnya membahagiakan ini, karena yang paling diuntungkan di sini kamu, bukan aku atau pun Savana."

Hana merasakan jantungnya berdebar, menyakitkan dan membingungkan, mendengar kata-kata suaminya. Dengan mata yang berlinang, ia melirik putrinya, Savana, yang duduk dengan kesabaran pada kursi ijab qabul.

Melihat tatapan lembut penuh harap dari anaknya, Hana memaksa senyum, menelan kegetiran yang ia rasakan—semua ini demi melindungi Savana dari beban keputusannya.

Savana mengembalikan senyum itu dengan ekspresi yang terpaksa, membuat hati Hana semakin terluka. Kekecewaan dan penderitaan membanjiri hati Hana, tetapi dia tahu ia harus tetap kuat di hadapan putrinya.

Dengan napas yang terengah-engah dan kepala yang terasa ringan, Hana berbalik perlahan dan meninggalkan area pelaminan untuk menenangkan badai emosi yang menderu di dalam hatinya setelah terpukul oleh pengkhianatan yang tak terduga.

"Mama ... mau ke mana?" Desah Savana, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap sayu punggung sang ibu yang semakin menjauh, menghilang di balik keramaian.

Sementara itu, seorang teman Ajeng berbisik dengan nada penuh kekaguman, "Wah, Jeng. Anakmu memang pandai memilih, gadis yang muda dan cantik sekali. Ga apa-apa ga setara, asal cantik."

"Iya, betul sekali!" timpal yang lain dengan antusias. "Usia boleh tua, yang penting pasangan cari yang masih gadis. Bisa dibawa ke pesta, dan ga akan malu-maluin. Dibawa ke acara bangsawan, menantu kamu ga akan kebanting," ujarnya, matanya berbinar-binar memandangi Savana yang anggun dalam balutan kebaya putih dan rok batik yang elegan membungkus kaki jenjangnya.

Ajeng berusaha menerbitkan senyum di tengah perasaan campur aduk saat menyaksikan pernikahan putra tunggalnya. Meski di lubuk hati keberatan dengan pilihan putranya, hari ini ia tetap tampil sempurna tanpa membiarkan seorang pun merendahkan keluarga besannya yang sederhana.

Tatapannya yang tajam tertuju kepada Savana, ia akui kecantikan calon menantunya memang tidak terbantahkan, nyaris sempurna tanpa celah, berkilauan bahkan tanpa sentuhan riasan sebelumnya.

Begitu mempelai pria memasuki aula, semua tamu berdiri, menyaksikan langkah mantapnya menuju pendamping hidupnya yang sudah menanti di kursi sakral ijab qabul.

Daryan memasuki ruangan dengan langkah tegap dan wibawa, tubuhnya membawa aura otoritas yang tak terbantahkan. Ia tampil gagah dengan jas mewah, meski upacara pernikahan menggunakan adat jawa dan diliput banyak media.

Diiringi decak kagum tamu yang hadir, ia mendekati kursi yang telah ditentukan, tepat di samping calon istrinya. Wajahnya, yang tampan sempurna, menatal lurus ke meja ijab qabul. Tak ada sedikit pun pandangan yang teralihkan kepada Savana yang tenggelam dalam rasa gugup yang mendera.

"Bismillahirrahmanirrahim ...," ucap Revanza selaku MC di pernikahan tersebut. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hadirin yang kami hormati, acara yang kita nantikan telah tiba. Kita akan menyaksikan prosesi ijab qobul pernikahan antara saudari Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan saudara Daryan Bumi Ardhanata bin Guntur Bumi Ardhanata. Kepada Bapak penghulu, Bapak Wali Nikah, dan calon mempelai pria, kami persilahkan untuk menempati tempat yang telah disediakan."

Ameer sudah tak lagi mampu menahan gejolak hatinya. Dengan langkah tergesa, ia melangkah menuju kursi di hadapan Daryan, senyum lebarnya merekah. Sekilas matanya menatap putrinya—

Perlahan, tangan kanannya menjulur, menggenggam tangan calon menantunya dengan penuh arti. Daryan menghela napas panjang, dadanya berdebar tak menentu. Meski pernikahan ini hanya kontrak, jantungnya berdetak seolah ia melangkah di atas jurang keseriusan yang dalam.

Suasana hening, seakan dunia menahan napas, menanti detik ijab qabul yang akan segera mengikat takdir mereka.

"Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan engkau, Daryan Bumi Ardhanata bin Guntur Bumi Ardhanata dengan putri saya, Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan mas kawin tersebut, tunai."

Daryan mengambil napas dalam-dalam, dadanya naik turun seolah mempersiapkan diri untuk detik-detik yang akan mengubah hidupnya. Dengan suara yang tegas namun gemetar, dia berkata, "Saya terima nikahnya Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan maskawin tersebut, tunai."

"Alhamdulillah, sah."

"Sah."

Semua orang bersorak pelan. Ameer menepuk pelan bahu Savana lalu berbisik, "Kamu cantik sekali, Nak." Suaranya tak hanya manis tapi juga memancarkan kebahagiaan yang mendalam karena impian yang lama dia dambakan kini terwujud di depan matanya.

Para tamu tersenyum, bunga melati dilempar ke udara. Tapi Savana tahu, ia baru saja mengikatkan diri pada pria yang akan menjadi suaminya secara hukum ... tapi tidak secara hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Soes Susiani
Akhirnya Savana jadi istri kontrak Daryan semoga dia bisa menjalani hingga akhir
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 196 : DARYAN CEMBURU?!

    Daryan masih berdiri mematung di depan lift yang baru saja tertutup, seolah jiwanya ikut terkunci di balik pintu logam itu. Napasnya berat, bahunya turun naik. Sementara itu, Hana perlahan menghampiri, diikuti Ameer yang menatap menantunya dengan rasa bersalah. “Daryan,” panggil Hana pelan, menyentuh lengannya dengan hati-hati. Pria itu menunduk, tak mampu menatap siapa pun. “Savana ... bahkan gak mau lihat saya, Ma. Dia bener-bener marah sama saya.” Hana menggenggam lengan Daryan lebih erat, lalu memaksanya menatapnya. “Dengar, Nak. Savana bukan marah sama kamu. Dia cuma ... belum selesai berduka.” “Tapi saya suaminya. Saya yang seharusnya jadi tempat dia bersandar. Kenapa malah saya yang dia benci?” suara Daryan bergetar, mengandung luka yang dalam. Hana menatap Daryan dengan mata yang basah, tapi tetap tegar. “Karena kamu tempat paling aman buat dia, Daryan. Justru karena kamu yang paling dia percaya, makanya dia berani menunjukkan luka terdalamnya di depan kamu. Itu buka

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 195 : DIANTAR ARFAN

    Mobil Arfan melaju tenang di bawah langit malam yang mulai menghitam. Di dalam kabin, suasana cukup hening, hanya suara mesin mobil dan kendaraan lain. Savana duduk di kursi penumpang samping kemudi, memandang keluar jendela pada gedung-gedung tinggi dengan sorot mata kosong. Arfan meliriknya sejenak sebelum membuka percakapan dengan hati-hati. “Nyonya,” panggilnya pelan, matanya tetap fokus pada jalan raya di hadapannya. Savana menoleh, tapi sebelum Arfan membuka suara—ia lebih dulu memotongnya. “Jangan panggil saya Nyonya, dok. Panggil aja langsung nama saya, Savana.” Arfan tersenyum kecil. “Tapi itu tidak sopan bagi saya, karena Anda kan—“ “Jika saya minta seperti itu, tolong dilakukan ya, dok? Saya gak memberi perintah, saya cuma minta aja.” Ucap Savana tegas. Arfan hanya mengangguk singkat, “Baiklah, Savana. Saya cuma mau tanya, kalau boleh tahu ... bagaimana kondisi Anda sekarang? Maksud saya, secara emosi ... keseharian? Sejak Anda meninggalkan rumah sakit kemarin

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 194 : PEMAKAMAN ELIT

    Sore itu sebuah taksi berhenti di depan pemakaman elit di pusat kota. Seorang wanita bertubuh mungil turun dengan pelan, mengenakan setelan hitam sederhana dan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sembab. Di tangannya, sebuket bunga lili putih tergenggam erat. Savana melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun sore. Angin berembus lembut, seakan menyambutnya dalam keheningan yang menyayat. Sesampainya di makam yang masih tampak baru, Savana berjongkok perlahan. Matanya menatap nama kecil yang terukir di nisan itu—nama yang bahkan belum sempat dipanggil dengan suara keras, belum sempat dirayakan dengan pelukan hangat. “Maaf, Nak. Mama baru bisa dateng sekarang,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas tanah makam. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya jatuh perlahan dari sudut mata. Bahunya mulai terguncang, isaknya pecah, seakan semua luka yang ia tahan selama ini tumpah bersama tanah yang diam. “Ka

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 193 : BERHALUSINASI

    Jam di dinding kamar bernuansa putih gading milik Savana menunjukkan pukul dua dini hari. Savana masih terjaga. Duduk di ranjang dengan bantal di pangkuannya. Kamarnya gelap, hanya diterangi lampu temaram dari nakas. Tirai jendela berkibar pelan, diterpa angin malam dari celah kecil yang sengaja dibuka. Matanya kosong. Wajahnya pucat. Bibirnya kering. Tangannya perlahan menekan perutnya yang kini datar. Tak ada lagi jejak kehidupan di sana. Tiba-tiba… Tangis bayi menggema di telinganya. Samar, lalu makin jelas. Tangisan itu menusuk. Membelah udara malam yang sepi. Dan seperti biasa—itu hanya ada di kepalanya. Savana membekap mulutnya. Dadanya naik-turun. Tubuhnya bergetar hebat. “Anakku,” bisiknya, lirih sekali. “Maafin Mama. Maafin Mama, Nak.” Air matanya jatuh, membasahi bantal yang dipeluknya erat-erat. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mencoba mengusir suara itu. Tapi tidak bisa. Tangis itu masih ada—bergaung dalam hatinya yang hancur. Ia bersandar ke dinding. Mena

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 192 : APARTEMEN BARU

    “Aku gak akan pernah pulang ke sana, Mas. Gak akan,” suara Savana bergetar, menahan emosi. “Rumah itu ... cuma jadi pengingat kalau aku kehilangan segalanya.” Matanya berkaca-kaca. Daryan melangkah setengah maju, memohon lewat tatapannya. “Terus kamu mau tinggal di mana? Sendirian? Dalam keadaan kamu masih sakit kayak gini?” “Di mana pun,” jawab Savana tegas. “Yang penting, jauh dari kamu. Jauh dari semuanya.” “Kamu pikir aku bakal biarin kamu pergi gitu aja?” suara Daryan tajam, tapi bukan marah. Lebih ke panik. “Kamu masih istri aku, Savana. Aku bertanggung jawab atas kamu.” “Aku gak butuh tanggung jawab kamu,” bisik Savana, suaranya tajam. Daryan mengusap wajahnya dengan kasar. “Kalau kamu gak mau ke penthouse, oke. Kalau kamu gak mau ke rumah Mama, fine. Tapi aku gak akan biarin kamu tinggal di tempat yang bahkan gak jelas keamanannya.” Savana memalingkan wajah dari sang suami, menahan napas yang terasa sesak di dadanya. “Aku akan cari rumah baru buat kamu. Tempat ya

  • Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan   BAB 191 : KEDATANGAN DARYAN

    Lampu ruang rawat inap Savana malam itu diredupkan. Hanya cahaya dari dinding pojok yang masih menyala temaram, menampakkan siluet tubuh Savana yang terbaring membelakangi pintu. Jantungnya berdetak pelan tapi berat, seperti menahan banyak beban yang belum bisa dibicarakan, apalagi dilepaskan. Ia mendengar suara pintu terbuka. Pelan. Tak terburu-buru. Langkah kaki yang sudah begitu dikenalnya masuk ke dalam. Hati Savana mencelos. Tapi ia tetap memejamkan mata rapat-rapat, memilih diam dan membiarkan napasnya tetap berirama seolah sedang tertidur. Daryan mendekat. Suara kursi digeser perlahan. Lalu deru napas lelaki itu terdengar begitu dekat di sisi tempat tidur. Cukup lama ia hanya duduk tanpa suara. Hingga akhirnya, terdengar gumaman lirih. “Aku tahu kamu belum bisa maafin aku. Dan kamu berhak untuk itu,” suaranya pelan, penuh sesal. Savana tetap diam, menggigit bibirnya kuat agar tak bersuara. Tapi ia tetap memilih pura-pura terlelap. “Aku salah, aku terlalu percaya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status