Satu minggu berlalu dari perjanjian kontrak antara Daryan dan Savana, kini tepat hari pernikahan mereka akan di selenggarakan.
Langit pagi itu indah, pendopo keluarga Ardhanata berdiri megah dengan hiasan janur kuning melengkung di gerbang masuk. Wangi bunga melati menyergap kaki Savana ketika melangkah di atas karpet merah, menuju pelaminan yang tak pernah gadis cantik itu impikan. Savana memandang sang ibu yang duduk di kursi tamu bersama ayahnya—Ameer, dengan mata berkaca-kaca, penuh penyesalan. Hatinya remuk melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah Hana karena pernikahan yang mendadak ini. Tanpa konsultasi, tanpa persiapan, segala sesuatunya terjadi begitu cepat hingga ia tak sempat menyuarakan protesnya. Hari ini, dia akan dipersunting oleh pria yang bahkan tidak pernah ia kenal sebelumnya, seorang yang berumur sebelas tahun lebih tua. "Maafin aku, Ma," Savana menggumamkan kata-kata itu dengan suara yang serak, tercekik oleh emosi yang menumpuk. "Aku ngelakuin ini semua karena terpaksa..." Kata-katanya hampir tak terdengar. Di sisi Hana, sang suami—Ameer, dengan nada tajam dan mendesak bisik ke telinga istrinya. "Hana, tersenyumlah sedikit," ujarnya dengan napas yang tercekat. "Ini hari pernikahan anak kita, jangan sampai orang lain menyangka dia dijodohkan tanpa keinginannya, seolah kita menjualnya." Mata Hana membeku, tatapannya menyayat ke arah Ameer. "Itu kenyataannya, kan?" jawabnya dengan nada ketus. "Kamu yang maksa dia, Ameer. Kamu yang jual masa depan anak kita demi keuntungan kamu sendiri. Apa sebenarnya yang kamu cari, huh?" Suaranya yang bergetar membawa desakan dan ketidakpuasan mendalam. Ameer menatap tajam, kemudian menghela nafas dalam-dalam. "Aku tidak memaksa Sava menikahi Pak Daryan. Itu sepenuhnya keputusan Sava sendiri." "Kamu pikir aku percaya itu?" Hana menunjukkan ketidaksenangan melalui bisikan penuh kegetiran. "Jika memang itu benar-benar kehendak Savana, dia pasti mengajakku berdiskusi. Tidak mungkin dia, yang masih sangat muda, bisa memilih sesuatu sebesar itu tanpa pengaruh dari kamu. Dan lebih lagi, laki-laki itu atasan kamu sendiri!" Tawa Ameer pecah, renyah namun pahit. "Han, kamu ga sadar? Sava sudah berumur 18 tahun dan akan segera 19, dia sudah layak dianggap dewasa. Tentu saja, dia mampu membuat keputusan soal pernikahannya sendiri." Hana menggigit bibirnya. Matanya menyorot tajam pada suaminya, Ameer. "Salah siapa, membiarkan Savana datang menemuiku di kantor beberapa minggu yang lalu? Dan kamu tahu apa yang dia lakukan?" suara Ameer menggema, menusuk kesunyian. Hana menatap Ameer, kepalanya menggeleng pelan. "Dia menawarkan diri untuk dinikahi oleh atasanku, asal kamu tahu itu," sambung Ameer dengan nada penuh penekanan. "Itu tidak mungkin!" potong Hana, suaranya tajam. "Stop, Ameer. Jangan lagi mengada-ngada!" Tapi Ameer hanya tersenyum miring, senyum yang mengandung seribu arti. "Aku tidak mengada-ngada, Hana. Itu faktanya. Mau tahu apa alasannya?" mata Ameer berkilau penuh arti sebelum dia melanjutkan, "Karena ibunya." Mata Hana terbelalak, emosi membara dalam dadanya. "Apa maksudmu karena aku?" suaranya pecah, nyaris tidak percaya dengan tuduhan yang terlontar begitu saja. "Karena kamu, karena ibunya yang sedang berjuang melawan sakit dan memerlukan biaya besar setiap bulannya. Apa kamu mengerti sekarang kenapa anakmu ingin menjadi seorang dokter? Tapi dia sadar, butuh waktu lama. Dan, menikahi pria kaya adalah jalan pintas untuk memastikan kamu mendapat perawatan terbaik." Seringai licik muncul di wajah Ameer, tanda kemenangan kecil yang baru saja dia capai untuk melawan argumen istrinya. "Jadi, mulai sekarang. Tersenyumlah di hari yang seharusnya membahagiakan ini, karena yang paling diuntungkan di sini kamu, bukan aku atau pun Savana." Hana merasakan jantungnya berdebar, menyakitkan dan membingungkan, mendengar kata-kata suaminya. Dengan mata yang berlinang, ia melirik putrinya, Savana, yang duduk dengan kesabaran pada kursi ijab qabul. Melihat tatapan lembut penuh harap dari anaknya, Hana memaksa senyum, menelan kegetiran yang ia rasakan—semua ini demi melindungi Savana dari beban keputusannya. Savana mengembalikan senyum itu dengan ekspresi yang terpaksa, membuat hati Hana semakin terluka. Kekecewaan dan penderitaan membanjiri hati Hana, tetapi dia tahu ia harus tetap kuat di hadapan putrinya. Dengan napas yang terengah-engah dan kepala yang terasa ringan, Hana berbalik perlahan dan meninggalkan area pelaminan untuk menenangkan badai emosi yang menderu di dalam hatinya setelah terpukul oleh pengkhianatan yang tak terduga. "Mama ... mau ke mana?" Desah Savana, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap sayu punggung sang ibu yang semakin menjauh, menghilang di balik keramaian. Sementara itu, seorang teman Ajeng berbisik dengan nada penuh kekaguman, "Wah, Jeng. Anakmu memang pandai memilih, gadis yang muda dan cantik sekali. Ga apa-apa ga setara, asal cantik." "Iya, betul sekali!" timpal yang lain dengan antusias. "Usia boleh tua, yang penting pasangan cari yang masih gadis. Bisa dibawa ke pesta, dan ga akan malu-maluin. Dibawa ke acara bangsawan, menantu kamu ga akan kebanting," ujarnya, matanya berbinar-binar memandangi Savana yang anggun dalam balutan kebaya putih dan rok batik yang elegan membungkus kaki jenjangnya. Ajeng berusaha menerbitkan senyum di tengah perasaan campur aduk saat menyaksikan pernikahan putra tunggalnya. Meski di lubuk hati keberatan dengan pilihan putranya, hari ini ia tetap tampil sempurna tanpa membiarkan seorang pun merendahkan keluarga besannya yang sederhana. Tatapannya yang tajam tertuju kepada Savana, ia akui kecantikan calon menantunya memang tidak terbantahkan, nyaris sempurna tanpa celah, berkilauan bahkan tanpa sentuhan riasan sebelumnya. Begitu mempelai pria memasuki aula, semua tamu berdiri, menyaksikan langkah mantapnya menuju pendamping hidupnya yang sudah menanti di kursi sakral ijab qabul. Daryan memasuki ruangan dengan langkah tegap dan wibawa, tubuhnya membawa aura otoritas yang tak terbantahkan. Ia tampil gagah dengan jas mewah, meski upacara pernikahan menggunakan adat jawa dan diliput banyak media. Diiringi decak kagum tamu yang hadir, ia mendekati kursi yang telah ditentukan, tepat di samping calon istrinya. Wajahnya, yang tampan sempurna, menatal lurus ke meja ijab qabul. Tak ada sedikit pun pandangan yang teralihkan kepada Savana yang tenggelam dalam rasa gugup yang mendera. "Bismillahirrahmanirrahim ...," ucap Revanza selaku MC di pernikahan tersebut. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hadirin yang kami hormati, acara yang kita nantikan telah tiba. Kita akan menyaksikan prosesi ijab qobul pernikahan antara saudari Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan saudara Daryan Bumi Ardhanata bin Guntur Bumi Ardhanata. Kepada Bapak penghulu, Bapak Wali Nikah, dan calon mempelai pria, kami persilahkan untuk menempati tempat yang telah disediakan." Ameer sudah tak lagi mampu menahan gejolak hatinya. Dengan langkah tergesa, ia melangkah menuju kursi di hadapan Daryan, senyum lebarnya merekah. Sekilas matanya menatap putrinya— Perlahan, tangan kanannya menjulur, menggenggam tangan calon menantunya dengan penuh arti. Daryan menghela napas panjang, dadanya berdebar tak menentu. Meski pernikahan ini hanya kontrak, jantungnya berdetak seolah ia melangkah di atas jurang keseriusan yang dalam. Suasana hening, seakan dunia menahan napas, menanti detik ijab qabul yang akan segera mengikat takdir mereka. "Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan engkau, Daryan Bumi Ardhanata bin Guntur Bumi Ardhanata dengan putri saya, Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan mas kawin tersebut, tunai." Daryan mengambil napas dalam-dalam, dadanya naik turun seolah mempersiapkan diri untuk detik-detik yang akan mengubah hidupnya. Dengan suara yang tegas namun gemetar, dia berkata, "Saya terima nikahnya Savana Melati Wirajaya binti Muhammad Ameer Wirajaya dengan maskawin tersebut, tunai." "Alhamdulillah, sah." "Sah." Semua orang bersorak pelan. Ameer menepuk pelan bahu Savana lalu berbisik, "Kamu cantik sekali, Nak." Suaranya tak hanya manis tapi juga memancarkan kebahagiaan yang mendalam karena impian yang lama dia dambakan kini terwujud di depan matanya. Para tamu tersenyum, bunga melati dilempar ke udara. Tapi Savana tahu, ia baru saja mengikatkan diri pada pria yang akan menjadi suaminya secara hukum ... tapi tidak secara hati.“Mas, makasih ya buat semuanya?” Savana mengulum senyum manis, membuat lesung pipinya terlihat jelas. Ia lalu memeluk sang suami, mencium rahang dan pipinya. “Sama-sama, Sayang.” Daryan membalasnya dengan ciuman singkat di bibir. “Aku mau pindahin anak-anak ke kamarnya dulu, kamu bawa Vara, ya?” “Loh, kenapa?” kening Savana mengkerut, “Mereka kan mau tidur di sini.” Ia menatap kedua anaknya yang sudah terlelap di atas ranjang mereka, saling memeluk satu sama lain. Terutama Elvano yang seolah ingin melindungi sang adik. Daryan berdehem pelan, “Kamu ada tugas penting, Sayang. Malam ini rutinitas kita.” “Astaga, Mas!” Savana mendengus pelan. “Masih ada besok.” “Percaya sama aku, anak-anak kalau dibiasain tidur di sini ... nanti kita gak punya privasi.” Tanpa menunggu respon sang istri, Daryan turun dari ranjang dan menggendong putri
“Sayang, sini,” Daryan menarik lengan Savana agar berbaring di sebelahnya di atas ranjang. Savana menurut, menatap sang suami dengan kening mengkerut. “Kenapa, Mas?” “Aku mau tanya sama kamu, gimana soal kuliah kamu,” ucap Daryan dengan nada tenang, lembut dan santai. “Anak-anak udah pada gede, usia tiga tahun bisa lah ditinggal tiga atau empat kali dalam seminggu. Kamu gimana? Mau lanjut kuliah dan kejar cita-cita kamu, atau tetap jadi IRT?” tanyanya panjang kali lebar. Untuk beberapa saat Savana terdiam, ia memikirkan lagi. Umurnya yang sekarang, masa kuliah dan juga hal lainnya. Tapi mengingat dokter adalah cita-citanya, dia ragu untuk menolak, tapi kalau dia setuju dan berhasil meraih gelar itu—apakah dia akan menjadi dokter atau pada akhirnya tetap jadi ibu rumah tangga? Daryan kembali menambahkan, “Aku gak akan halangi keinginan kamu. Aku juga gak m
Daryan dan Savana duduk di bangku kayu yang menghadap ke area playground di salah satu pusat perbelanjaan. Suasana mall yang ramai dengan tawa anak-anak dan suara orang tua yang mengawasi anaknya membuat suasana hangat terasa menyelimuti. Elvano dan Elvara, si kembar kakak beradik itu, tengah asyik bermain perosotan dan ayunan bersama anak-anak lain, terkadang saling berkejaran kecil tanpa sengaja membuat hati Daryan dan Savana sedikit was-was. "Kadang aku masih gak nyangka, kita punya mereka berdua sekaligus," kata Savana sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari gerak-gerik Elvano yang mencoba meraih mainan baru. Daryan mengangguk, meletakkan tangan di pangkuan Savana, "Iya, dua bocah kecil yang kadang bikin kita pusing, tapi juga jadi alasan kita kuat." Savana menarik napas panjang, "Jujur, aku bersyukur banget punya kalian bertiga. Rasanya hidup aku ja
Pagi hari itu ketika akhir pekan, sinar matahari menerobos masuk lewat sela tirai tipis kamar utama kediaman Daryan dan Savana. Di balik pintu yang sedikit terbuka, suara langkah kaki kecil berlari sambil tertawa terdengar mendekat. “Papa ...!” seru suara nyaring khas anak kecil, disusul tawa ceria yang menggema di lorong lantai dua. Daryan yang sedang duduk bersandar di ranjang dengan laptop di pangkuannya segera mendongak. Atas tubuhnya telanjang, hanya celana tidur longgar membalut pinggangnya. Wajahnya masih segar, meski ada sisa kantuk dan dokumen-dokumen belum selesai di layar laptopnya. “Jangan lari, Nak. Nanti jatoh,” ucap Daryan penuh perhatian, suaranya rendah namun hangat. Tapi tentu saja, si kecil Elvara tak menggubris. Dengan langkah antusias, bocah berusia tiga tahun itu memanjat ranjang dan tanpa aba-aba langsung menutup layar laptop ayahnya.
Pagi itu di rumah Radja, sarapan bersama seperti biasa yang hanya terdiri dari tiga orang. Yakin Radja sendiri dan kedua orang tuanya, Dewa dan Stella. Di sela-sela makan, Dewa membuka percakapan dengan tegas dan berbunyi perintah. “Mulai hari ini, jangan ada yang menjenguk Bella ke penjara,” katanya pada istri dan anaknya, membuat kedua orang itu mengerutkan kening. Perihalnya, sebelum ini Dewa selalu mewanti mereka untuk menjenguk sang adik sebagai satu-satunya keluarga. Tapi kenapa dengan Dewa hari ini yang tiba-tiba melarang? Itu menjadi tanda tanya bagi mereka berdua. “Kenapa, Mas? Tumben kamu melarang kami untuk jenguk adik kamu?” Stella bertanya penasaran, suaranya sinis. “Lakukan saja, supaya dia tahu kalau kesalahannya sama sekali tidak bisa di toleransi. Supaya dia tahu, kalau keluarganya juga ti
“Akhirnya, udah lega masalahnya terselesaikan,” Savana merangkul satu lengan kekar sang suami yang tengah fokus mengemudi, lalu menyandarkan kepalanya di sana. “Aku gak tahu loh, Mas, kalau kamu siapin surat itu,” ia menatap sang suami yang hanya meliriknya sekilas sambil mengulas senyum kecil. “Kamu hebat, sampai kepikiran ke sana.” “Hm,” sahut Daryan singkat. “Mas ....” Savana menarik diri, menatap serius ke arah Daryan. “Iya, Sayang?” balas Daryan tanpa menoleh. “Kamu kenapa?” tanya Savana penasaran, “Dari tadi kamu diem aja, terus jawaban kamu singkat terus. Gak kayak biasanya, aku jadi ngerasa aneh.” Daryan menatapnya sejenak sebelum kembali fokus mengemudi, menatap jalan raya yang lengang siang itu. “Kamu mau aku jawab apa? Pertanyaan kamu singkat, jadi jawabannya singkat biar balance,” ujar Daryan