Savana sontak menatap suaminya dengan mata membesar. “Apa … maksud kamu?” suaranya bergetar, antara kaget dan tak percaya. Daryan menatap lurus ke arahnya, tatapannya dingin, tak tergoyahkan. “Aku udah pastiin lisensi medisnya dicabut. Dia nggak akan punya kesempatan buat jadi dokter lagi.” Savana terdiam. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega karena ancaman itu sudah diatasi, tapi ada juga rasa ngeri melihat sisi dingin Daryan yang begitu kejam ketika menyangkut keluarganya. “Mas, kamu …,” Savana berbisik pelan, jemarinya meremas ujung baju tidurnya. “Kamu bener-bener tega.” “Tega?” Daryan menyeringai tipis, tapi tanpa kehangatan. “Aku akan jauh lebih tega kalau ada yang berani nyentuh anak-anak kita. Jadi, jangan ragukan lagi.” Savana terdiam, hatinya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa dinginnya suaminya bisa berubah hanya demi melindungi keluarga mereka. _____ Pagi itu, cahaya lembut menembus jendela kamar bayi yang luas dan hangat. Sa
“Kok Papa belum pulang ya, Nak?” Savana melirik ke jam dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, akan tetapi Daryan belum juga pulang dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Ia menggigit bibirnya khawatir, menatap kedua bayi kembarnya yang terlelap di dalam boks bayi yang dia bawa pindah ke kamarnya agar memudahkan untuk menghampirinya saat bangun tengah malam. “Kalian berdua tunggu di sini, ya. Mama mau ke kantor Papa aja malam ini, siapa tahu Papa ketiduran di sana,” bisiknya pelan. Savana kemudian segera bersiap-siap untuk pergi ke kantor malam ini, tanpa izin pada kedua orang tuanya—Hana dan juga Ajeng selaku ibu mertua. Namun, baru saja dia hendak pergi dan membuka pintu kamar—di ambang pintu sang suami sudah tiba dengan raut wajah yang terlihat begitu letih dan mengantuk. “Mas, baru pulang? Kamu ke mana aja?” tanya Savana dengan nada cemas, tangannya cepat bergerak membantu melepaskan jas sang suami. Daryan menatap istrinya yang tampak rapi, “K
Siang itu, Vera dan Mita benar-benar diantarkan kembali ke yayasannya. Sekarang Savana benar-benar tidak lagi menggunakan jasa mereka dan akan full time merawat anak-anaknya sendiri dibantu Hana dan Ajeng. “Savana, apa kamu tahu dokter yang dimaksud Mita tadi?” desak Hana pada putrinya, karena Savana tampak menyembunyikan sesuatu. Savana menatap ibunya dan menggeleng pelan. “Nggak, Ma. Ini aku juga lagi mikir, siapa orang yang dia maksud.” Alibinya, padahal dia tahu jelas kalau itu Arfan. “Ya udah, kalau gitu nanti biar Daryan yang urus dan cari siapa orangnya,” timpal Ajeng yang duduk sudah duduk di sofa dan tak duduk di kursi roda lagi. “Benar Bu Ajeng. Daryan pasti bisa menemukan pelakunya,” sambung Hana ikut duduk di sofa, di hadapan besannya. “Biar aku aja yang kasih tahu Mas Daryan nanti,” ucap Savana. Ia tahu kalau Daryan tahu soal ini dan langsung
“Loh, kenapa mau diberhentikan, Nyonya?” tanya Vera bingung, “Apa kami melakukan kesalahan atau bagaimana?” tatapannya terlihat panik karena takut diadukan pada yayasan kalau dirinya mungkin pernah melakukan kesalahan. Savana tersenyum kecil, “Nggak, kok. Kalian gak ngelakuin kesalahan apapun. Cuma, saya sama suami mau merawat si kembar sendiri aja dulu. Karena Mama saya dan Mama mertua saya juga akan membantu merawat cucunya.” Vera mengangguk paham, merasa lega karena dia dan rekan kerjanya tidak melakukan kesalahan apapun. Sementara Mita, tampak gelisah seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan. Hana dan Minah yang ada di sana, serta cukup tahu soal alasan mereka meminta Savana untuk memberhentikan babysitter langsung menangkap perubahan Mita. “Untuk gaji kalian, suami saya akan bayar full gaji seperti perjanjian awal. Dan, kalian juga akan diantar sama sopir hari ini setelah berkemas,” lanjut Savana
“Kamu pasti capek banget ya, Mas?” tanya Savana sambil membantu melepaskan jas sang suami, disusul rompi dan juga dasi serta kemejanya. Daryan menatapnya dengan tatapan lelah, namun tetap berusaha terlihat baik-baik saja. “Capeknya ilang kalau lihat kamu, Sayang.” Savana tersenyum kecil mendengar ucapan sang suami, “Gombal,” cibirnya pelan, lalu memasukan semua pakaian sang suami ke dalam keranjang kotor, “Aku udah siapin air hangatnya, sekarang kamu langsung mandi aja.” “Mandiin dong, Sayang,” rengek Daryan menirukan anak kecil. “Dih, udah tua juga.” Daryan hanya terkekeh pelan, lalu mendekat dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Savana membalas pelukan itu dan menyandarkan kepalanya ke dada bidang sang suami. “Kamu udah ambil keputusan yang bener, Mas,” bisik Savana pelan, tangan kecilnya mengusap punggung sang suami. Daryan hanya
"Bagaimana? Ada peluang untuk rencana kita?" suara di ujung telepon terdengar pelan, namun tajam. "Sepertinya belum," jawab babysitter itu sambil melirik ke arah ruang tengah. "Rumah sedang ramai. Ibu Nyonya Savana ada di sini, dan kabarnya hari ini ibu Tuan Daryan juga akan dibawa pulang ke rumah." "Bu Ajeng?" nada di seberang terdengar kaget. "Iya," babysitter itu menurunkan suaranya. "Beliau akan dirawat di bangsal pribadi di rumah. Katanya, masuk rumah sakit karena berkelahi dengan salah satu tahanan di penjara." "Berarti dia sudah dibebaskan?" Babysitter itu mengangguk refleks, meski lawan bicaranya tak bisa melihat. "Sepertinya begitu." Hening sejenak di antara mereka, lalu suara di seberang kembali terdengar. "Baiklah. Kita tunggu momen yang tepat saja." "Baik. Saya tutup telepon sekarang. Saya nggak bisa berlama-lama."