"Sayang," panggil Daryan pelan, suaranya memecah keheningan ruang kamar yang luas dan mewah itu. Ia berdiri di depan lemari yang terbuka, hanya mengenakan handuk putih yang terikat rapat di pinggang lebarnya, matanya terpaku pada jumper bayi berwarna biru langit yang dipegangnya dengan hati-hati. Nama 'Arkana' yang tersulam rapi di dada jumper itu seolah membakar hatinya. Savana menoleh perlahan dari depan cermin, bola matanya menatap balik penuh waspada, lalu alisnya terangkat tipis. "Kenapa, Mas?" Daryan menahan napas, mencoba menahan gemuruh di dadanya yang menggelora. Ia meraih jumper bayi itu dan memperlihatkannya pada sang istri, "Ini ... kamu yang beli sendiri?" suaranya terdengar tegas. Savana tanpa sepatah kata mematikan pengering rambut dan meletakannya ke atas meja rias dengan hati-hati, suaranya lirih saat menjawab pertanyaan sang suami, "Itu hadiah, Mas." "Dari siapa?" Sebelah alis Daryan terangkat sinis, nada suaranya menuntut jawaban, tajam seperti duri yang m
Pagi itu, matahari baru saja menyelinap masuk lewat jendela apartemen minimalis milik Savana. Di dapur, wanita itu sedang menuang susu ke dalam gelas, sementara Daryan membuka lemari es mencari roti. Tiba-tiba, dari pintu apartemen—terdengar pintu dibuka disusul dengan kedatangan Minah seperti biasa pada pagi pukul enam. Langkah Minah sontak terhenti begitu melihat Daryan dan Savana di dapur. Daryan menatap Minah sebentar, lalu tersenyum kecil, "Minah, terima kasih ya. Kamu selalu tepat waktu." Minah hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, lalu dengan cepat meletakan tasnya di atas meja dan menuju ke dapur untuk melakukan tugasnya. "Mau sarapan apa hari ini Tuan, Non?" Tanya Minah sembari memakai celemek. Savana menatapnya sekilas, "Apa aja, Bi, terserah," jawabnya sambil menyerahkan segelas susu pada sang suami yang sudah duduk di ujung meja. "Baik, Non, saya buat roti panggang, ya?" Savana hanya mengangguk pelan, "Ngomong-ngomong, kamu mau pulang ke penthouse dulu ya
Suasana kamar itu hangat, hanya diterangi cahaya remang lampu tidur yang menebar bayangan lembut di dinding. Pakaian berceceran di lantai, milik kedua insan yang katanya sudah saling memaafkan. Di atas ranjang, Savana merebahkan tubuhnya dengan santai, kepala bersandar di dada bidang suaminya, Daryan. Napas mereka masih berirama tenang, sisa-sisa kehangatan momen tadi menyelimuti udara di sekitar. Tangan Daryan mengusap lembut surai panjang Savana, jemarinya bergerak perlahan seakan menenangkan, sementara Savana menutup matanya dan tersenyum kecil, menikmati rasa aman dan kasih yang mengalir dari pelukan suaminya. "Kedinginan, gak? Mau pakai baju?" tanya Daryan dengan suara serak dan berat, nadanya tersirat kekhawatiran. Savana menggeleng pelan, "Kan ada selimut, Mas. Satu selimut tebal, satu lagi selimut bernyawa." Ia mendongak, menatap suaminya sambil tersenyum kecil dan menggoda. Daryan menundukkan kepala, mengecup ujung hidung mungil istrinya dengan gemas. "Harusnya aku
"Mas ...." Suara Savana melemah, lalu air mata membanjir tanpa bisa dibendung, mengalir deras menuruni pipinya yang pucat. Daryan melangkah masuk tanpa dipersilakan, matanya tajam menatap wajah istrinya yang basah oleh tangisan, rahangnya mengeras. "Kenapa—" Daryan belum selesai bicara, tapi Savana langsung memeluknya erat, seolah ingin meleburkan semua kepedihan dalam pelukan itu. Satu tangan Daryan mengangkat, lembut mengusap rambut Savana yang kusut, "Kamu udah lihat artikelnya, kan?" Savana hanya bisa mengangguk di balik pelukan itu, suaranya pecah, "Aku percaya, Mas. Kamu gak mungkin khianatin aku. Tapi, kalau pun iya ... itu salah aku, bukan kamu." "Dengerin aku, Sayang," Daryan menarik napas panjang, suaranya hangat menembus ketakutan Savana. "Itu cuma salah paham. Aku sama sekali gak kenal wanita itu. Jangan pernah langsung percaya gitu aja." Tangisan Savana makin tersedu, bahunya mengguncang hebat, "Maafin aku, Mas ... aku salah, aku benar-benar minta maaf!" Dar
Savana duduk termenung di tepi ranjang queen size-nya, pandangannya masih terpaku pada layar ponselnya yang menampilkan artikel itu. 'Skandal baru CEO Bumi Raya Group'. Artikel tersebut memuat foto Daryan juga, dimana seorang wanita cantik dan seksi yang disebut berinisial L itu tengah menggamit lengannya dengan manja sambil tersenyum lebar. Dia tidak tahu harus merasa apa. Bingung. Marah. Kecewa. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu, tak terkontrol. “Apa ini bener?” pikirnya dalam hati, mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dengan Daryan belakangan ini. Tapi jika terus dipikir, bukannya masuk akal? Daryan selama ini kurang perhatian dari Savana sebagai istri, bahkan Savana juga menyadari hal itu. Tak heran jika Daryan mencari kesenangan diluar sebagai pria normal. "Ini ... salah aku sendiri," suara Savana terdengar lirih dan serak, tangannya terangkat memegangi dadanya yang terasa sesak. Tiba-tiba, ponselnya bergetar panggilan masuk dari Arfan. Savana mengerutk
Savana duduk di tepi tempat tidurnya, matanya terpaku pada ponsel yang tergeletak di hadapannya. Ia menunggu sang suami yang sudah satu jam lalu dia hubungi dan berjanji akan datang, tapi belum juga muncul. Malam semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah lewat dari waktu yang dijanjikan bersama sang suami, dan ia mulai merasakan keheningan yang terlalu sunyi di apartemennya. Dengan perlahan, Savana meraih ponselnya yang terletak di atas nakas. Penasaran dengan artikel yang pernah heboh tentang dirinya, mengenai Bella dan juga ibu mertuanya. Sampai-sampai, ibunya dan Minah membahas hal tersebut tadi sore. "Mbak Bella, kamu pantes dapet itu," gumam Savana pelan, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan artikel tersebut dengan tajam. "Kamu udah buat aku masuk rumah sakit, dan aku kehilangan nyawa Arkana. Rumah tanggaku hampir hancur gara-gara kamu, Mbak!" Suaranya bergetar, tangannya mencengkram ponselnya erat. Savana terus menscroll semua