Daryan menatap istrinya dalam-dalam. Bibirnya bergerak seakan hendak bicara, tapi akhirnya hanya keluarkan satu kalimat, lirih. “Kenapa kamu tetap ingin pergi, Savana?” Savana menunduk sambil menggigit bibirnya kuat, jari-jarinya menggenggam erat ujung selimut. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata lirih, “Karena dari awal ini hanya perjanjian, mas. Dan saya gak mau terlalu berharap lebih.” Daryan tersenyum kecil, tapi ada getir di sana. “Jadi kamu menahan diri untuk gak berharap ... karena takut jatuh cinta?” Savana langsung menoleh menatapnya, kaget dengan tebakan itu. “Saya bukan penebak, tapi saya tahu seperti apa wajah orang yang berusaha menyembunyikan perasaannya,” lanjut Daryan dengan nada lebih tenang, tatapannya sedikit melembut. “Kamu juga begitu, mas.” Savana akhirnya bersuara, meski pelan. “Mas juga kelihatan gak jujur sama perasaan sendiri.” Daryan tak membantah. Ia memutar wajah, menyembunyikan ekspresinya dengan menatap ke luar jendela. “Mungkin. Karena s
“Mas ….” “Hm?” Daryan menyahut pelan, suaranya lembut dan nyaris berbisik. Savana yang berbaring di sampingnya menatap langit-langit kamar, tangannya menggenggam erat pakaian yang kini membalut tubuhnya. Tangan kanannya masih berada dalam genggaman Daryan yang hangat. Ia ragu sejenak, tapi pertanyaan itu tak bisa ditahan lebih lama. “Mas yang ganti pakaian saya?” Daryan tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, seperti sedang memilih kata. “Iya,” ucapnya akhirnya. Tubuh Savana langsung menegang. Matanya membelalak, wajahnya memerah bukan hanya karena demam melainkan malu. “Berarti ... mas udah lihat semuanya?” Daryan memejamkan mata sejenak, berusaha menahan gelombang emosi yang datang dari raut Savana. “Savana .…” “Mas!” potong Savana cepat, wajahnya kini semakin memerah karena malu dan canggung. “Kenapa mas gak manggil perawat atau siapapun?” “Karena saya panik!” Daryan akhirnya menaikkan sedikit suaranya. Tapi bukan marah, lebih ke frustasi. “Kamu pingsan di kamar ma
Daryan berdiri di balkon dengan wajah tegang. Di tangan kirinya, iPad menyala menampilkan rekaman dari CCTV mansion. Jarinya menyapu layar, mempercepat waktu, sampai akhirnya terhenti di satu rekaman di ruang kerjanya. Matanya menyipit tajam. Rekaman itu memperlihatkan Ajeng datang membawa secangkir kopi lalu dengan tanpa ragu, menuangkannya ke buku tugas Savana. Sang ibu membentak, dan puncaknya ... menampar Savana keras hingga sang istri terhuyung. Rahang Daryan langsung mengeras. Tangannya mengepal kuat, hampir membuat iPad itu retak di genggamannya. Hatinya berdesir dengan rasa bersalah yang dalam. Jadi itu alasannya... Savana bukan lari dari tanggung jawab. Bukan semata karena kekanak-kanakan seperti yang dia pikirkan. Tapi karena dia benar-benar disakiti. Dan yang paling menyakitkan saat semua itu terjadi, Daryan tidak ada di sisinya. Ia segera melangkah masuk ke kamar. “Savana,” panggilnya, tapi Savana tidak ada di sana. Daryan baru teringat kalau istrinya tadi pergi
"Mas ...!" Savana terus mencoba menarik tangannya yang digenggam erat oleh Daryan, namun pria itu tak mau melepas. “Lepasin, mas. Saya gak mau ikut!” Suara Savana meninggi, tapi tangis yang tertahan membuat suaranya bergetar. Daryan tak menjawab. Matanya lurus menatap pintu lobi yang semakin dekat. Begitu mereka tiba di depan mobil yang sudah menunggu, sang supir cepat-cepat membuka pintu belakang. “Masuk,” perintah Daryan dingin. “Saya gak mau, mas!” Daryan menatapnya, rahangnya menegang. "Nurut, Savana. Jangan paksa saya marah. Kamu belum pernah lihat saya benar-benar marah, kan? Yang tadi itu belum ada apa-apanya. Kalau saya sudah marah sungguhan, saya tidak peduli siapa pun yang ada di depan saya! Pikirkan kondisi mama kamu!” Savana membelalak. “Jangan ngancem saya pake mama!” suaranya tersendat oleh tangis, emosi dan panik yang mendesak. “Saya tidak mengancam.” Daryan menurunkan nada suaranya, namun masih terdengar tajam. “Tapi mama kamu tahu kamu pergi dari rumah. Dia p
Radja terdorong ke belakang, punggungnya membentur sisi sofa. Tapi sebelum Daryan sempat maju untuk menyerang lagi, Savana langsung berdiri dan menahan tubuh suaminya. “Mas, cukup!” teriak Savana. Daryan menoleh, sorot matanya tajam menembus wajah Savana. Namun, untuk sekejap, langkahnya terhenti. “Jangan pukul Radja lagi!” ucap Savana tegas, napasnya tak beraturan karena syok dan emosi. Tanpa sepatah kata, Daryan langsung meraih pergelangan tangan Savana dan menggenggamnya erat, seolah tak ingin gadis itu lepas darinya lagi. “Ikut saya pulang.” “Saya gak mau!” tegas Savana sambil berusaha menarik tangannya. Daryan menarik lebih kuat. Tapi Savana menepis tangan Daryan dengan kasar. “Saya bilang saya gak mau, mas!” Wajah Daryan mengeras. Rahangnya menegang. “Savana, jangan membantah ucapan suami!” gertaknya dingin dan berat. Napas Savana tercekat di tenggorokan. Ada jeda panjang di antara mereka, hanya terdengar suara napas berat mereka yang memburu. “Ngapain kamu berduaan
Radja memiringkan kepala heran, lalu menatap koper besar di samping Savana. “Lo bawa koper segede ini ke cafe buat ngopi?” Ia jongkok di samping koper, lalu menatap wajah Savana yang terlihat kusut. Tangannya terulur, menyentuh pelan pipi merah Savana. Mata cowok itu langsung tajam. Savana buru-buru menepis tangan Radja dari wajahnya, dan kembali menutupi pipinya dengan rambut panjangnya. “Pipi lo kenapa?” Tanya Radja, sedikit mendesak. Savana menggeleng pelan. “Gak apa-apa.” “Lo mau ke mana?” Savana menunduk, kikuk. “Aku … belum tahu.” “Lo diusir?” “Enggak!” jawab Savana cepat. Radja menyipitkan mata. “Terus, lo mau ke mana? Bawa koper segede ini ke cafe, terus nangis sendirian?” Savana menggigit bibir. Ia tak bisa jawab. Radja berdiri, menepuk-nepuk celana jeansnya dan berkata pelan, “Mau nginep tempat gue, gak?” Savana langsung menggeleng. “Gak … Aku bisa tidur di gudang cafe. Masih ada sofa di sana.” Radja mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Gudang? Serius, Sa?” Ia