Matahari pagi menyusup lembut dari celah jendela, menerangi wajah Hana yang duduk bersandar di atas tempat tidur. Aroma bubur ayam di atas nampan yang diletakkan di meja lipat memenuhi ruangan. Savana, yang sudah bangun sejak pagi buta, kini duduk di sisi tempat tidur. Rambutnya dicepol tinggi, mengenakan kaus santai dan cardigan tipis, pakaian yang kemarin dibawakan Daryan. Senyum gadis itu manis saat menyuapi ibunya perlahan. “Mama suka bubur yang ini kan? Aku pesen khusus dari kantin bawah,” ucap Savana pelan. Hana mengangguk kecil. “Iya, masih hangat ya. Terima kasih, Nak.” Savana menyuapkan satu sendok lagi, lalu duduk lebih dekat. “Ma, nanti siang dokter katanya bakal mulai terapi ringan. Mama udah siap, kan?” “Kalau ada kamu, mama pasti kuat,” jawab Hana dengan senyum lembut. Savana menatap ibunya beberapa detik, lalu menggenggam tangannya. “Aku janji jagain mama. Mulai sekarang.” Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Savana menoleh. “Masuk!” Pintu terbuka, m
Suasana di ruang tunggu eksekutif bandara terasa tenang. Daryan duduk bersandar di sofa kulit hitam, satu tangan meraih iPad berisi jadwal dan dokumen presentasi, sementara tangan satunya mengaduk kopi yang bahkan belum sempat disentuh. Di hadapannya, Revanza berdiri sambil melihat arloji di tangan kirinya. “Jet kita udah dalam persiapan akhir. Mungkin sepuluh menit lagi baru boarding.” Daryan hanya mengangguk kecil. Pandangannya kosong menatap jendela besar yang menghadap ke landasan pacu. “Kamu yakin mau ninggalin istri kamu dalam keadaan kayak gini?” Revanza bertanya hati-hati. "Soalnya, kamu khawatir banget sampe ga masuk kantor karena nemenin dia." Daryan menjawab acuh. “Mending kamu diam, aku lagi fokus baca dokumen.” Revanza belum sempat membalas ketika ponsel Daryan bergetar di atas meja. Nama Savana muncul di layar. Kedua pria itu langsung saling pandang. “Dia telepon kamu?” tanya Revanza cepat, nyaris tak percaya. Daryan langsung mengambil ponselnya dan berdiri. Ia me
“Mas kenapa sih tadi marah-marah sama Radja?” Tanya Savana datar, tanpa basa-basi setelah kepergian Radja. “Karena dia gak punya urusan di sini,” balas Daryan dingin, “Dia bukan siapa-siapa.” “Dan mas pikir mas berhak nentuin siapa yang boleh dateng ke kamar ini?” Tatapan Savana tajam. “Saya yang undang Radja ke sini. Saya yang minta dia anter gaji saya, jadi tolong jangan perlakukan dia seolah dia ngelakuin kejahatan.” Daryan tersenyum miring, “Lucu ya, kamu sampai segitunya belain dia.” “Yang saya bela bukan Radja, mas. Tapi diri saya sendiri. Saya cuma gak suka cara mas memperlakukan tamu saya seolah saya ini milik mas sepenuhnya, bisa dikontrol sesuka hati.” Nada suara Savana meninggi. “Kita berdua tahu pernikahan ini cuma kontrak. Jadi tolong jangan bersikap seolah kita ini pasangan yang saling memiliki.” Perkataan itu menghantam dada Daryan dengan keras. Ia terdiam beberapa detik. Rahangnya menegang dan matanya semakin memicing tajam ke Savana. “Kamu udah selesai?” Tan
Savana duduk bersandar di ranjang, nampan bekas sarapan masih tersisa di meja samping. Ia baru memakannya ketika sang ayah keluar dari kamarnya setelah berdebat dengannya. Matanya memandangi jendela dengan tatapan kosong. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya pucat tapi mulai sedikit segar setelah beberapa jam istirahat. Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang perawat muda masuk sambil membawa paper bag berwarna krem yang tampak berat di tangan. “Permisi, mbak Savana,” ucapnya sopan. Savana menoleh dan langsung duduk lebih tegak, “Iya? Ada apa?” Perawat itu mendekat dan menyodorkan paper bag tersebut. “Ada titipan buat mbak. Ini pakaian dan beberapa keperluan pribadi.” Alis Savana mengernyit. Ia buru-buru menerima paper bag itu dan memeriksa isinya. Matanya langsung menangkap baju tidur favoritnya, handuk kecil miliknya sendiri, dan juga sebotol sabun cair aroma lavender yang biasa ia pakai. “Dari siapa ini?” Tanyanya cepat, matanya tak lepas dari isi paper bag. Peraw
Mobil sedan hitam berhenti tepat di pelataran depan mansion. Seorang pelayan buru-buru menghampiri dan, membukakan pintu. Daryan melangkah keluar dengan wajah lelah namun tetap tenang. Meski begitu, sorot matanya yang tampak kurang tidur tidak mampu ia sembunyikan. Kemejanya yang dipakai dari kemarin sedikit kusut. Daryan merapihkannya sejenak sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam rumah. Langkah kakinya mantap menyusuri lorong utama menuju ruang tengah. Para pelayan yang melihatnya hanya menunduk dalam diam, tahu diri untuk tidak mengusik Daryan yang kelelahan. Sesampai di ruang tengah, Ajeng sudah duduk di sofa ruang tengah mengenakan gaun santai berwarna maroon dan kalung mutiara di leher. Di tangannya terdapat secangkir teh hangat dengan asap tipis yang masih mengepul. “Akhirnya anak mama pulang juga,” ucap Ajeng dingin tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk mengaduk teh. Daryan berhenti beberapa langkah dari sofa. Ajeng menegak sejenak teh di tangannya lalu mendengus
Hana duduk bersandar di ranjang. Wajahnya terlihat segar dibanding semalam, namun sorot matanya tetap tajam, dingin, dan penuh luka yang belum pulih ketika menatap Ameer di kamarnya. Ameer tersenyum canggung ke arah Hana. Ia mengangkat kantong plastik berisi makanan dan air botol mineral di depan istrinya. “Aku bawain sarapan, masih hangat,” ucap Ameer hangat walau tangannya sedikit gemetar. Hana tidak menyahut. Matanya kemudian beralih ke jendela. Ameer mendekat, meletakkan bawaan di meja kecil di samping tempat tidur. Lalu ia berdiri di sana, menggenggam kedua tangannya gugup. “Han … maaf.” ucapnya lirih. Tak ada respons dari Hana. “Aku ga pernah berniat nyakitin kamu. Aku cuma … aku pikir, kalau kamu tahu Savana nikah kontrak, kamu bakal tambah kepikiran dan bisa ganggu kesehatan kamu karena itu aku nggak bilang apa-apa.” Ia menatap Hana dengan sorot mata yang semakin sedih, “Aku cuma pengen kamu cepat sembuh.” Akhirnya, Hana menoleh. Tatapannya tajam, penuh luka