Setelah sarapan dan berganti pakaian, Daryan dan Savana keluar dari penthouse, kali ini hanya berdua. Tanpa sopir seperti biasa. Hanya mereka dan dunia luar yang perlahan mulai terasa lebih hangat. Sepanjang perjalanan menuju mall, Savana tak berhenti melirik ke arah suaminya yang mengemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam jemarinya erat. “Mas … serius gak salah jalan?” tanyanya ragu. “Serius. Saya hafal rutenya. Fokus aja jadi istri manis hari ini.” Savana terkekeh pelan mendengar jawaban suaminya, matanya berbinar. “Istri manis, ya? Nanti aku tagih belanjaan, loh.” “Silakan,” sahut Daryan santai, tanpa beban. Begitu tiba di mall, Daryan membuka pintu untuk Savana dan meraih tangannya tanpa ragu. Mereka berjalan beriringan, melewati toko-toko dan deretan butik mewah. Tangan mereka tak pernah lepas. Beberapa orang sempat menoleh ke arah pasangan itu. Pria bertubuh tinggi dengan wajah dingin tapi selalu tersenyum setiap menatap perempuan di sampingnya. Da
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden kamar. Di ranjang besar itu, Daryan sudah lebih dulu terbangun. Ia berbaring menyamping, menatap wajah istrinya yang masih terlelap dengan napas teratur. Beberapa detik kemudian, bulu mata Savana bergetar pelan, lalu matanya terbuka perlahan. Dan hal pertama yang menyambutnya ... senyuman Daryan. “Pagi, sayang,” sapa pria itu, suaranya serak dan berat. Savana yang masih setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Bola matanya berbinar seketika. “Ada apa nih, manggil sayang segala?” tanyanya curiga, tapi senyumnya susah ditahan. Daryan terkekeh pelan, tangannya terulur menyentuh ujung rambut istrinya. “Lho, kenapa? Salah, ya, manggil istri sendiri pake sebutan sayang?” “Enggak salah sih,” gumam Savana pelan sambil memutar badannya menghadap Daryan. “Tapi siapa tahu, mas lagi ada maunya.” “Maunya?” Daryan mengernyit pura-pura bingung, lalu menyeringai kecil. “Mau kamu, iya. Tapi ... mau ngajak kamu mandi bareng juga.
Sore itu, Savana duduk bersila di sofa ruang tengah, laptop terbuka di pangkuannya dengan deretan tugas yang masih harus ia susun ulang. Rambutnya dicepol asal ke atas membuat jejak merah semalam jelas terlihat. Wajahnya serius sekali menatap layar, sesekali menggigit ujung pulpen sambil berpikir keras. Ia tak menyadari suara pintu yang terbuka pelan. Tak juga menyadari langkah kaki yang perlahan semakin dekat. Daryan berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengamati diam-diam wanita yang kini sudah benar-benar menjadi bagian hidupnya. Matanya lembut, senyum kecil menghiasi bibirnya saat melihat Savana yang terlihat begitu fokus dan tenang. Lalu, perlahan, Daryan menunduk dan memeluk tubuh sang istri dari belakang. Savana sedikit terlonjak. “Mas!” serunya, tapi tidak marah, justru suaranya terdengar manja dan kaget bercampur geli. “Kenapa kaget?” Daryan berbisik lembut di telinganya. “Kamu terlalu fokus, sampai gak sadar suami kamu pulang.” Savana tersenyum kecil, wajahnya bers
Savana langsung mendorong pelan tubuh Daryan menjauh darinya, rona wajahnya berubah gugup seketika saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “M-ma … i-ini … bukan seperti yang mama pikir ....” Namun sebelum Savana sempat menyelesaikan kalimatnya, Daryan menyela dengan santai, bahkan terlalu santai. “Maaf, Ma. Saya yang tidak tahu tempat.” Savana membelalak, menoleh kaget ke arahnya. “Mas….” desisnya pelan. Tapi Daryan hanya tersenyum sekilas. “Mama ke sini sendiri?” Hana mengangguk pendek, ekspresinya masih menyimpan keterkejutan sejak melihat pemandangan privasi sepasang suami-istri barusan. Daryan melirik jam di tangan kirinya. “Sepertinya saya harus berangkat ke kantor sekarang. Kalau begitu, saya pamit dulu.” Daryan melangkah pergi tanpa tergesa, pembawaannya tenang dan penuh wibawa. Ia meninggalkan keduanya di depan pintu penthouse, seakan tahu ini urusan ibu dan anak yang tak boleh ia ganggu lebih jauh. Begitu pintu tertutup, Savana menghela napas panjang dan menatap
Pagi itu, Savana keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih pendek yang dililit di tubuhnya. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air menuruni bahunya. Saat membuka pintu, ia langsung terkejut. “Ngapain mas berdiri di situ?” tanyanya kaget, satu tangannya memegangi dadanya. Daryan bersandar santai di sisi dinding, menyambutnya dengan senyum tenang. “Saya nungguin kamu. Tadi saya yang antar kamu ke kamar mandi, jadi sekarang saya jemput lagi.” Savana mendengus pelan kemudian tersenyum kecil, memalingkan wajahnya mencoba menutupi rona merah di pipi. “Gak usah, mas.” Tolaknya sambil berjalan melewati sang suami. “Bukannya kamu masih sakit?” balas Daryan, matanya menelisik langkah Savana yang tampak berbeda, menahan perih di area tertentu. “Udah gak, kok,” jawabnya cepat, berjalan ke arah meja rias dengan sedikit kaku. Daryan tak tinggal diam, ia mengikuti langkah istrinya dan berdiri tepat di belakangnya, menatapnya lewat pantulan cermin. Senyum kecil terus menggan
Savana duduk di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin tampak berbeda malam ini. Rambutnya digerai lembut, makeup tipis hanya menonjolkan bibir dan matanya. Piyama satin berwarna lembut melapisi tubuhnya, tapi di baliknya berupa lingerie tipis yang mencetak tubuh seksinya. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya menekan dada, mencoba menenangkan degup yang tak mau kompromi. Aku bisa. Aku udah siap. Tapi, kenapa sesulit ini? Diam-diam dia mengulas senyum manis. Mengingat pengakuan cintanya pagi tadi, dan pengakuan cinta suaminya yang ternyata selama ini menyimpan perasaan yang sama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Savana menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah ketika melihat sosok Daryan muncul dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggangnya. Tubuh bagian atasnya basah dan masih menetes, otot-ototnya terlihat tegas di bawah cahaya temaram kamar. Daryan berjalan pelan ke arah lemari, namun langkahnya terhenti saat melihat Savana yang kini diam membeku