Share

14. Pernikahan

Keajaiban yang kunanti tak kunjung datang, karena saat ini di depanku Ben berjabat tangan dengan Ayahku, mengucapkan ijab qabul. Ben berpakaian tradisional dan aku menggunakan baju kurung khas melayu dengan tema emas dan peach. Beberapa perhiasan emas di sematkan kepadaku, dan disempurnakan dengan mahkota berbatu ruby di puncak kepalaku. 

Gadis cantik, kece, seksi sepertiku ber ending menikah dengan om-om ubanan dengan baju kurung pula, bukannya menghina... pakaian ini memang indah dan berkelas, tapi mimpiku sejak kecil menikah dengan gaun berekor panjang dengan belahan dada yang seksi. 

Ben walau tersenyum, wajahnya terlihat dingin. Alisnya taut lebat berwarna hitam kecoklatan. Bahunya tegak dengan dada bidang dibungkus baju koko berhias bordir dengan sarung tradisional terikat di pinggangnya. 

Ben menoleh ke arahku, wajahnya tanpa ekspresi dan aku berjalan mendekat. Ibunya mengarahkan untuk memasangkan cincin di tanganku, lalu menyuruhku mengecup tangan Ben. Semua arahannya kami patuhi sampai pada tanda tangan surat pernikahan. 

Ada sorakan untuk Ben mengecup keningku, sangat ramai dan gaduh. Aku hanya diam berusaha tak terpengaruh.

"Sekarang... Ben sebagai suami mengecup kening istri... " Semua tamu bertepuk tangan dan bersiul. 

Walau di laksanakan di rumah, beberapa kerabat dari kedua keluarga memenuhi ruangan ini. Ben memandangku masih dengan mata tajam tanpa ekspresinya. Kedua tangannya memegang bahuku. 

Mataku terpaku dengan pupil matanya, suamiku... Om-om beruban sombong dan dingin itu sekarang jadi suamiku. Matanya cokelat muda, gen yang bagus. Hidungnya mancung dan rahangnya tajam, kalau menurun ke anak lelaki akan jadi aset yang bagus, tapi... What?? Anak?... Oh no... Princess ga mau dihamilin sama om-om...! 

Aku tersadar dari lamunanku saat her lips mendarat mulus di jidatku yang separuhnya tertutup kerudung peach bermahkota. 

Jidatku sudah gak perawan... Mama...! Jeritku dalam hati. Mimpi buruk apa sebenarnya ini. Bagaimana mungkin kehidupan indahku di Australia sebagai sosialita muda berubah 180 derajat seperti ini. 

Sepuluh menit berikutnya Ben menggenggam tangan kananku berjalan menuju kamarnya. Aku diam, bingung bercampur takut atas nasib yang menantiku di kamar itu. Tiba di kamar, Ben melepaskan tanganku. Kaki jenjangnya memenuhi kasur ber seprei peach, Ben meregangkan posturnya. 

"Kau mau pakai kamar mandi sekarang atau nanti?" Tanyanya sambil memejamkan mata. 

Bingung mau bicara apa, aku hanya berbalik dan memasuki ruangan kecil yang kutebak adalah kamar mandi yang dimaksud. Kamar mandi yang di lengkapi walk in closet, kulihat deretan rak dan lemari beberapa kosong dan sisanya diisi pakaian Ben. Lalu aku ganti baju pakai apaan dong? 

Lima menit kuhabiskan dalam bilik shower, kulilit handuk tebal selutut dan berjalan mengitari closet milik Ben. Positif, belum ada pakaianku yang dipindahkan ke sini.

"Mmh... Tak ada pakaianku di sini. Aku lupa ambil dari kamar. What to wear?" Aku menjulurkan kepala keluar kamar mandi bertanya pada Ben yang saat ini sedang duduk bersila di atas ranjang dengan laptop terbuka. 

Alisnya terangkat, matanya tertuju pada penampakan wajahku yang malu bukan main di balik pintu. 

"Wear mine." Jawabnya menyuruhku memakai pakaiannya. 

"Yang mana?" Tanyaku lagi. 

"Yang mana saja boleh..." Jawabnya kembali fokus pada laptopnya. 

Dengan persetujuan si empunya closet a.k.a om-om ubanan a.k.a suamiku, aku berjalan memilih pakaiannya yang akan kugunakan sebagai pakaian tidur. 

Hitam, putih, coklat dan hijau hanya ada empat warna pakaian di closet 20 meter persegi ini. Sepertinya si majikan dari closet ini memang hanya menyukai warna itu. Aku memilih celana panjang hitam dengan kaos lengan pendek dengan warna yang sama. 

"Looking good...!" Ucap Ben menolehkan wajahnya kepadaku yang berjalan awkward menuju kasur. 

"Mmh..."

"Kok jadi pendiam? Bukankah kau perempuan comel?" Tanya Ben saat pantatku mendarat pelan di atas kasur. Ada senyum kecil di her lips. Ahh... Apa dia sedang menggodaku? 

"Maksudnya?"

"Kamu bukannya cerewet?" Ulangnya lagi. 

"Hah?! Cerewet?!" Suaraku mulai nyaring, "Enak aja... cewe cantik dibilang cerewet. Aku tu.. Talk active, dan memang itu jurusanku yang harus aktif publik speaking." Aku menyerocos sambil mendelik kesal. Ben tertawa kencang. 

"That's more like you!"

"Kamu bukannya pendiam? Dingin? Sok cool... kenapa jadi banyak omong kaya sekarang?" Balasku bertanya. 

"Oo... " wajahnya dibuat jenaka, kalau aku tidak jaim.. Sudah kucium her lips yang mencucu itu. Eh.. 

"Jadi aku.. Cool, pendiam, keren?

"Emang aku tadi bilang keren ya? Kayaknya engga ih..." Timpalku kesal. 

Ben tertawa lebih nyaring, rahangnya yang terbuka memperlihatkan deretan gigi rapi putihnya. Dalam sedetik ia mendekat ke arahku dan menempelkan her lips pada my lipsku. 

"Kita lanjutkan nanti, Wife!" Bisiknya setelah mengecupku, membuatku membatu saat ia berjalan santai ke kamar mandi.

 

Sepuluh menit Ben memakai kamar mandi, saat ia keluar hanya memakai celana kaos berwarna hitam tanpa baju menutupi tubuh bagian atasnya.

 

Aku menyesal saat mataku tak sengaja menoleh ke arah bagian depannya yang polos. Kok jadi aku yamg deg-degan? Dulu aku sering melihat cowok cowok nude dada... model pula! 

Aku pura -pura sibuk dengan ponselku, berusaha acuh dengan pria bertelanjang dada yang berjalan mendekat ke arahku. Ia duduk dan membereskan laptop, kertas dan pulpennya yang berserakan. 

"Sleep! Besok sehabis subuh kita ada flight ke Seoul!" ulUcapnya berbaring dan menarik selimut. 

"Flight? Seoul?" Aku bertanya kaget dengan statementnya barusan. Apa bulan madu? Aku sudah berharap senang bisa liburan.

"Ya.. besok aku ada meeting dengan pemilik agensi. Kamu tau kan pekerjaanku?"

Aku menggeleng polos. Karena memang sungguh-sungguh tidak tahu. 

"Seriously? Masa gak penasaran browsing-browsing tentang suami?"

"Beh... ke pe-dean, kaya gak ada kerjaan aja." Jawabku jutek. Sorry sorry deh yee... Dikira kite antusias dengan die, diih. 

Ben tertawa kecil, seakan tahu dengan hatiku yang ngedumel. 

"Aku tahu tentang kamu. Kuliah, jurusan, temanmu... Masa kamu ga tau tentang aku sih?!"

"Dih... Itu mah kamu emang dasaran stalker kali..!"

"Ha.. Ha.. ya deh emang stalker. Aku kerja di agensi YG, aku produser dan pencipta lagu untuk agensi itu." Jelasnya santai. Saat seperti ini, ia terlihat seperti pria seumurku yang playful, tak terlihat guratan kaku di wajahnya yang membuat Ben terlihat lebih tua. 

"YG? Bigbang dong?!" Jawabku histeris. 

"Iya kenapa?" Tanyanya jutek, "kenapa rmang Bigbang?"

"Ya GD lah... my idol... aku mau dong ketemuan, boleh yaa?" Ku keluarkan jurus manis manja. Ku gelandoti lengannya, ku elus-elus punggung tangannya, kutatap wajahnya dengan wajahku yang paling imut. 

"NO. NEVER!"

"Iih... Ben maah..." Ini jurus centilku, dengan suara mendengau kucubiti perutnya yang rata. Si target hanya melirik heran padaku. 

"NOPE! Masa di depan suami sendiri ngomongin cowok lain..! Dosa tu!"

"Kan my Idol, " jawabku polos, "Ya... Ya... Ya... Ben ganteng deh... jadi sayang sama Ben." Ku tempelkan pipiku ke punggung tangannya. 

"Gak dari hati... keliatan fake- nya!" Jawabnya ngambek. Deh.. Bisa gitu orang udah berumur ngambek model gini.


Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Lee
saya suka ceritanya thor..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status