"Kasihani kakakmu, Ara. Apa susahnya kamu melepaskan Bram. Toh, kamu masih muda, bapak yakin, kamu pasti bisa dengan cepat mendapat pengganti pemuda itu," terang Wisnu."Tapi, pak," sela Tiara."Setidaknya kamu lebih beruntung daripada Mawar. Kamu punya tubuh yang sehat, dan kekebalan tubuh yang baik. Sementara dia?" imbuh Wisnu yang sengaja menjeda kalimatnya."Tapi Ara mencintai Bram, pak. Dan rasanya, mustahil Ara sanggup melakukan itu," ungkap Tiara dengan suara berubah parau. Wisnu berang, pria itu sampai menajamkan pandangan.Sementara Tiara, tertunduk semakin dalam, saat tahu tatapan sang ayah mengintimidasi padanya. Ia yang duduk di ranjang sementara-Wisnu berada di kursi dan menghadapnya. Membuat Tiara tidak berani mengangkat kepala, barang sebentar saja. Sebab, wajah garang Wisnu, selalu berhasil membuat Tiara takut.Setelah ketegangan yang terjadi di ruang tengah, Wisnu membawa Tiara memasuki kamar gadis itu, untuk bicara berdua. Karena menurut Wisnu, dengan begitu, ia bis
Tak terasa fajar menyingsing, dan Tiara belum terpejam sedetikpun. Wanita itu tetap terjaga, karena terlalu sibuk menyiapkan diri, sampai tak terasa sang surya sudah mulai menampakkan pesonanya.Dret dretTiara menoleh kesamping, dimana ponselnya bergetar di atas nakas. Ia pun menegakkan tubuh lalu meraih benda pipih tersebut.[Kita akan menikah jam delapan pagi, persiapan dirimu, dan kenakan pakaian yang ada di paper bag yang aku berikan semalam.]Helaan nafas kasar terdengar jelas, begitu Tiara membuka pesan yang diyakini dari Bram. Lalu, pandangannya beralih pada benda yang terletak di atas meja. Untung saja semalam saat ia membawa paper bag itu, Sari tidak bertanya apapun.[Baiklah, aku akan bersiap dengan cepat.] Balas Tiara.[Jangan berpikir akan ada pesta ataupun perayaan, ingat! Kamu aku peristri hanya untuk ganti rugi uang resepsi, yang sudah aku keluarkan sebelumnya. Selain harus melahirkan anak sebanyak mungkin untukku, jangan pernah berharap sesuatu yang lebih dariku.]Tiar
Bulir bening akhirnya lolos dari sudut mata Tiara, tatkala, sang ayah-Wisnu, berjalan menghampirinya. Pria paruh baya itu, tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna putih. Wajahnya masih saja garang, tapi dari sorot matanya, Tiara tahu, ada tangis yang berusaha pria itu tahan."Bapak," ucap Tiara pelan begitu sang ayah sudah mendekat."Terima kasih sudah mau hadir," imbuhnya dengan suara bergetar."Ara, maafkan bapak, nak. Bapak sudah membuatmu berada di situasi ini," ungkap Wisnu dengan suara yang juga bergetar."Bapak," ucap Tiara yang langsung menghambur ke dalam pelukan sang ayah.Pelukan hangat yang hampir Tiara lupa, kapan terakhir kali merasakannya. Wisnu bukan sosok orang tua hangat, tapi juga tidak kejam. Pria itu hanya tegas pada Tiara, dan terbukti. Dari cara didik Wisnu yang demikian, Tiara bisa tumbuh menjadi wanita yang mandiri, serta tidak mudah mengeluh.Awalnya, Tiara memang sempat marah, ketika sang ayah memaksa dirinya membatalkan pernikahan dan mengakhiri hubung
"Ikut aku," tegas Bram.Tanpa babibu, pria itu langsung menarik Tiara. Mengabaikan tatapan heran semua orang, termasuk Wisnu dan juga Suti.Acara memang sudah selesai, tamu undangan-pun bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi, melihat sang pengantin pria dengan kasar menarik tangan istrinya, membuat semua orang bertanya-tanya.Mungkinkah sang pengantin pria sudah tidak sabar?"Ish, kenapa tidak sabaran sekali. Kalau sudah seperti ini saja aku di abaikan, tidak ingat apa, siapa yang menyiapkan acara semua ini," gerutu Thomas melihat Bram melewati dirinya begitu saja."Cih, benar-benar mirip remaja labil," sambungnya.Bram terus menarik Tiara, sampai mendekati mobilnya yang terparkir di bagian depan bangunan."Masuk!"Tiara menurut, dan tidak bertanya apapun. Wanita itu benar-benar telah menyiapkan diri atas segala kemungkinan yang bisa saja Bram lakukan padanya.Pasrah.Hanya itu yang bisa Tiara lakukan, setidaknya mengalah sementara waktu, agar bisa meraup keberhasil dikemudian hari.'Ak
Tiara menatap ragu tangga menuju lantai dua rumah itu, sebab ia yakin, Bram sudah menunggunya di atas sana. Sembari mengangkat bagian bawah gaunnya, Tiara masih saja menimang, apakah dirinya benar-benar harus naik."Jangan pernah ragu jika kamu ingin melakukan kebaikan, apapun itu. Baik dengan dirimu sendiri, ataupun orang lain. Dan, jangan pernah katakan aku tidak bisa, jika kamu belum pernah mencoba."Mendadak, Tiara teringat nasehat yang dulu sering ia dengar dari Ziyan, satu-satunya orang yang selalu ada disaat dirinya terpuruk.Pria, yang bahkan rela mengabaikan kebahagiaannya sendiri, hanya demi menjaga kehormatan Tiara yang saat itu mendapat cemoohan banyak orang.Sampai akhirnya, pernikahan yang semua orang ketahui sebagai bentuk pengkhianatan, terjadi. Ziyan menikahi Tiara karena tidak mau wanita itu dianggap hamil diluar nikah."Zi, apa kamu tahu aku sudah menikah dengannya, hari ini? akhirnya, aku bisa bersama ayah dari putriku. Seharusnya ini menjadi hal yang membahagiakan
Tiara menatap ngilu pintu masuk yang berhiasan bunga di depannya. Di dekat pintu juga, terdapat foto prewedding pasangan yang tengah tersenyum menghadap kamera. Senyum keduanya seolah menunjukkan kebahagian yang benar-benar lahir dari hati.Setelah pergulatan batin selama dua hari terakhir, akhirnya hari itu Tiara memutuskan hadir diacara pernikahan Mawar dengan Bram. Tiara hanya ingin memastikan, jika pria yang dulu pernah dia tinggalkan itu, bisa melanjutkan hidup dengan baik, bersama wanita yang menggilainya."Bapak, ibu," gumam Tiara.Beberapa meter setelah melewati pintu masuk, langkah Tiara terhenti, begitu melihat Wisnu beserta Suti duduk di antara tamu undangan."Kenapa mereka duduk disana? Seharusnya mereka mendampingi pengantin, di pelaminan," ucapnya sedikit heran. Pasalnya kedua orang tuanya justru bersikap seperti tamu undangan."Apa ini juga keinginan kak Mawar? Seandainya benar, keterlaluan sekali dia," gerutunya.Mengingat hubungannya dengan sang ayah memburuk, sejak ia
"Tidak Bram! kamu tidak bisa menceraikan aku sekarang. Aku bahkan sedang mengandung anakmu," tolak Mawar.Melihat suasana memanas, Wisnu bersama Suti mendekat."Kita buktikan saja besok, itu benar anakku atau bukan," lirih Bram."Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu, Bram. ini anakmu," sentak Mawar.Tiara merasa tidak enak hati, melihat pertengkaran di depannya. Menganggap, ucapannya-lah yang mematik amarah Bram, hingga berbuntut kekacauan."Ara!" Tiara terkejut, mendengar Wisnu memanggilnya. Sementara Suti, tengah berusaha memenangkan Mawar yang terisak, sambil menahan Bram agar tidak pergi, dengan merangkul erat tangan pria itu.Keadaan benar-benar kacau, Bram semakin murka, manakala tanpa sadar Mawar mengadu pada Suti. Dan, itu semakin meyakinkam Bram, bahwa sebenarnya mereka memang memiliki hubungan yang tidak ia ketahui.'Keluarga penipu,' geram Bram dalam hati."Tiara," ulang Wisnu pelan.Sejujurnya, Tiara sangat merindukan sosok yang kini tengah menatap dirnya penuh arti. I
"Aku tidak suka diabaikan, pusatkan pandanganmu hanya padaku. Lihat betapa kuat pria yang pernah kau tinggalkan ini, Tiara," tekan Bram.Terdengar jerit tertahan saat Bram mulai memasuki tubuh kecil Tiara. Meski rasa aneh, malu, gugup serta takut terus saja membayangi pikiran wanita itu. Namun, Tiara sekuat hati berusaha menahan apa yang Bram lakukan pada tubuhnya.Berharap, jika hal itu bisa meredam marah Bram. Tapi ternyata?Tidak semudah yang Tiara pikirkan. Bram berlaku buas, sama sekali tidak menaruh iba. Walaupun dengan jelas ia mendengar, Tiara sering berdesis menahan sakit. Pria itu seolah menulikan pendengaran dan membutakan pandangan."Bram," gumam Tiara.Bram tetap acuh. 'Tahan Tiara, kamu harus menahannya,' tekad wanita dalam hati.Ia berusaha bertahan, meski sadar permainan Bram begitu kasar padanya."Kamu harus melahirkan anak sebanyak mungkin untukku, Ara," rancau pria itu tanpa peduli dengan apa yang Tiara rasakan."Bram," panggil Tiara terbata.Tiara tak henti-hent