Share

Bab 2

"Kamu gila, Bram! Bahkan kakakku saja baru dimakamkan kemarin, dan kamu sudah menuntut keluargaku," sembur Tiara begitu tiba di tempat yang dianggap aman.

Tidak ingin kedua orang tuanya mendengar pembicaraan mereka, Tiara telah membawa pria itu keluar rumah.

Anehnya, Bram justru menatap datar dirinya dan menanti ucapan perempuan itu selanjutnya.

“Jika pun bisa menawar, pasti kak Mawar tidak akan mau nyawanya diambil tepat di hari pernikahan kalian. Sekarang aku juga yakin, dia pasti menangis di atas sana melihat kelakuan laki-laki yang sangat dicintainya, ternyata tak lebih dari seorang rentenir!" Tiara nyaris kehilangan kendali. Namun, begitu tahu tatapan Bram padanya tidak bisa diartikan, ia memilih mengurungkan niatnya untuk kembali meledak.

"Nominal itu tidak sebanding dengan sakit hatiku dulu, Ara." Seketika tubuh Tiara menegang.

Amarah yang tadinya sudah berada di puncak kepala, seolah meredam begitu saja saat mendengar pria itu memanggil singkat namanya.

"Ara…"

Jantung Tiara berdegup kencang begitu mendengar nama kecilnya disebut Bram. Terakhir kali pria itu memanggilnya dengan nama itu, sudah enam tahun yang lalu.

Perlahan, kepala yang sebelumnya terdongak, bergerak turun tidak lagi berani menantang Bram yang menjulang di hadapannya.

"Kau tidak akan pernah tau apa yang aku rasakan, Ara. Karena baik kau ataupun Mawar, kalian sama saja–lebih mementingkan uang daripada perasaan," tegas Bram.

Sejurus kemudian, ia memilih pergi meninggalkan Tiara yang terpaku di tempat.

"Aku tidak seperti itu Bram," gumamnya menatap getir punggung pria itu yang semakin menjauh.

"Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku memang membawa semua harta berharga yang telah kamu berikan dulu, tapi itu aku lakukan untuk menjamin satu kehidupan yang lain."

"Anakmu…," ucap Tiara lirih. Sayangnya, Bram telah pergi dari sana. Pria itu tidak melihat bahwa Tiara pun sama terlukanya dengan pria itu.

********

Tiara berjalan gontai saat hendak kembali ke dalam rumah.

Ia juga, menghela nafas pelan begitu menoleh ke samping kiri dan tidak mendapati mobil Bram beserta antek-anteknya ada lagi di tempat sebelumnya.

"Syukurlah dia sudah pergi," gumamnya seraya kembali melangkah, "Tenang, Tiara! Bukan saatnya kamu terlena memikirkan nama panggilan sederhana itu."

Namun, surat gugatan tadi tiba-tiba kembali mengganggu pikirannya.

Ke mana dia harus mencari uang sebanyak itu?

Tabungannya tidak seberapa dan itu juga sudah didepositkan atas nama Nana–sang anak.

Jika menjual toko, hasilnya pasti lumayan. Tapi, bagaimana dengan sekolah Nana, serta kebutuhan sehari-hari?

"Ibu!" pekik Tiara sambil berlari begitu mendengar suara tangis ibunya dari ruang tamu.

"Astaga pak! Kenapa Bram begitu tega pada kita? Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"

Tiara sontak mematung di ambang pintu saat tahu Suti-ibu sambungnya histeris setelah membaca isi surat di dalam map yang sialnya, tadi ia tinggalkan diatas meja.

"Buk, yang tenang ya .. kita pasti mendapatkan jalan keluarnya. Bapak akan usahakan secepat mungkin mencari pinjaman," ucap Wisnu menenangkan sang istri.

"Ini juga salah bapak! Kenapa dulu terlalu egois pada Tiara," sentak Suti, membuat Wisnu langsung mengatupkan mulut. Merasa apa yang istrinya lontarkan memang benar adanya.

"Buk.."

Mendengar suara Tiara yang ternyata berdiri di dekat pintu, pasangan paruh baya itu seketika menegang.

"Tiara!" seru keduanya serentak.

"Sayang hiks… hiks .." Tiara melebarkan langkahnya begitu melihat Suti terisak, tanpa babibu ia langsung membawa tubuh bergetar ibu sambungnya itu kedalam pelukannya.

"Maafkan semua kesalahan Mawar ya, nak," ucap Suti di sela tangisnya, "Mungkin, ini hukuman untuk dia karena dulu pernah merebut kebahagiaanmu."

Tiara memejamkan mata saat bayangan mendiang Mawar-kakak tirinya itu dulu dengan terang-terangan meminta Bram darinya.

Bahkan, wanita itu juga nekat mengancam akan mengakhiri hidupnya jika saja Tiara tidak membatalkan pernikahannya dengan Bram.

"Aku sudah memaafkan kak Mawar jauh sebelum ini, buk," ucap Tiara seraya melepaskan dekapannya.

"Untuk itu, aku datang di hari bahagianya tanpa pernah berpikir jika hal ini akan terjadi."

Tiara sengaja menjeda kalimatnya, saat rasa sesak terasa semakin menghimpit dada, "Dan sekarang, lebih baik kita jangan mengungkit ataupun mengingat keburukan kak Mawar semasa hidupnya, ingat saja yang baik-baik. Supaya dia bisa menemukan jalan terang menuju keabadian."

Kalimat itu akhirnya terurai tulus dari hati.

Meski awalnya sempat tidak terima dengan permintaan Mawar dan menganggap mustahil bisa melanjutkan hidup tanpa Bram. Tapi, seiring berjalannya waktu, Tiara bisa berdamai dengan keadaan.

Mungkin, ia memang ditakdirkan untuk tidak berjodoh dengan Bram–pria dewasa yang bahkan rela menunggu dirinya sejak duduk di bangku SMA.

Pria yang juga ia terpaksa tinggalkan tepat di malam sebelum pernikahan mereka.

Namun, suka-duka hidup seorang diri justru membuatnya meraup banyak pembelajaran.

Bahwa, tidak semua yang diinginkan dalam hidup bisa tercapai tanpa perjuangan.

Enam tahun berlalu, ia memberanikan diri muncul di tengah-tengah keluarganya lagi dengan harapan bisa melihat kebahagiaan sang kakak tiri bersanding dengan pria yang dulu ia relakan.

Tapi, ternyata lagi-lagi takdir membuatnya berada di posisi yang sulit.

Mawar dinyatakan meninggal beberapa jam setelah statusnya berubah menjadi seorang istri. Dan hal itu memaksa Tiara harus kembali berurusan dengan pria yang sama, Bramantyo Wijaya. Satu-satunya pria yang hingga kini memberinya banyak cerita.

"Sayang … hatimu sungguh mulia nak. Kenapa selama ini Mawar tidak pernah melihat ketulusanmu, terima kasih sayang. Terima kasih untuk kebesaran hatimu."

"Aku juga terima kasih ibu mau merawat bapak dengan baik selama aku tidak ada." Tiara melirik ragu pada sosok yang duduk di sisi kanan Suti.

"Itu sudah kewajiban ibu sebagai istri, nak." Sambil menghapus air mata yang membasahi pipi, Suti juga ikut melirik sinis suaminya yang masih bergeming sedikitpun.

"Sayang, beritahu ibu. Di mana kamu tinggal sekarang? ke mana saja kamu selama ini, nak? apa kamu tidak merindukan ibu juga bapakmu? kami memang pernah egois, tapi kenapa kamu langsung pergi tanpa sekalipun memberi kami kabar."

Mendengar pertanyaan beruntun Suti, Tiara memilih menampilkan senyum kaku.

"Maaf, jika aku sempat membuat ibu khawatir, tapi saat itu aku merasa memang harus pergi, buk. Selain memberi ruang kak Mawar untuk mendekati Bram, aku juga butuh menata hati untuk memulai hidup baru," ucapnya disertai helaan nafas pelan.

"Jadi sekarang ibu jangan khawatirkan bagaimana aku hidup," sambungnya.

‘Karena sekarang aku sudah cukup bahagia, dengan memiliki dia dalam hidupku,’ Batin Tiara saat mengingat sosok yang mungkin sekarang sedang menunggu kepulangannya.

"Semua memang salah bapak," sela Wisnu tiba-tiba yang langsung mengalihkan pandangan Tiara juga Suti.

"Bapak memang bukan sosok pengayom yang baik untukmu, Ara. Dan mungkin hanya bapak satu-satu orang tua kejam yang tega memaksa putrinya berpisah dengan orang yang dicintai."

Deg!

“Bapak…”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status