"Kamu gila, Bram! Bahkan kakakku saja baru dimakamkan kemarin, dan kamu sudah menuntut keluargaku," sembur Tiara begitu tiba di tempat yang dianggap aman.
Tidak ingin kedua orang tuanya mendengar pembicaraan mereka, Tiara telah membawa pria itu keluar rumah.Anehnya, Bram justru menatap datar dirinya dan menanti ucapan perempuan itu selanjutnya.“Jika pun bisa menawar, pasti kak Mawar tidak akan mau nyawanya diambil tepat di hari pernikahan kalian. Sekarang aku juga yakin, dia pasti menangis di atas sana melihat kelakuan laki-laki yang sangat dicintainya, ternyata tak lebih dari seorang rentenir!" Tiara nyaris kehilangan kendali. Namun, begitu tahu tatapan Bram padanya tidak bisa diartikan, ia memilih mengurungkan niatnya untuk kembali meledak."Nominal itu tidak sebanding dengan sakit hatiku dulu, Ara." Seketika tubuh Tiara menegang.Amarah yang tadinya sudah berada di puncak kepala, seolah meredam begitu saja saat mendengar pria itu memanggil singkat namanya."Ara…"Jantung Tiara berdegup kencang begitu mendengar nama kecilnya disebut Bram. Terakhir kali pria itu memanggilnya dengan nama itu, sudah enam tahun yang lalu.Perlahan, kepala yang sebelumnya terdongak, bergerak turun tidak lagi berani menantang Bram yang menjulang di hadapannya."Kau tidak akan pernah tau apa yang aku rasakan, Ara. Karena baik kau ataupun Mawar, kalian sama saja–lebih mementingkan uang daripada perasaan," tegas Bram.Sejurus kemudian, ia memilih pergi meninggalkan Tiara yang terpaku di tempat."Aku tidak seperti itu Bram," gumamnya menatap getir punggung pria itu yang semakin menjauh."Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku memang membawa semua harta berharga yang telah kamu berikan dulu, tapi itu aku lakukan untuk menjamin satu kehidupan yang lain.""Anakmu…," ucap Tiara lirih. Sayangnya, Bram telah pergi dari sana. Pria itu tidak melihat bahwa Tiara pun sama terlukanya dengan pria itu.********Tiara berjalan gontai saat hendak kembali ke dalam rumah.Ia juga, menghela nafas pelan begitu menoleh ke samping kiri dan tidak mendapati mobil Bram beserta antek-anteknya ada lagi di tempat sebelumnya."Syukurlah dia sudah pergi," gumamnya seraya kembali melangkah, "Tenang, Tiara! Bukan saatnya kamu terlena memikirkan nama panggilan sederhana itu."Namun, surat gugatan tadi tiba-tiba kembali mengganggu pikirannya.Ke mana dia harus mencari uang sebanyak itu?Tabungannya tidak seberapa dan itu juga sudah didepositkan atas nama Nana–sang anak.Jika menjual toko, hasilnya pasti lumayan. Tapi, bagaimana dengan sekolah Nana, serta kebutuhan sehari-hari?"Ibu!" pekik Tiara sambil berlari begitu mendengar suara tangis ibunya dari ruang tamu."Astaga pak! Kenapa Bram begitu tega pada kita? Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"Tiara sontak mematung di ambang pintu saat tahu Suti-ibu sambungnya histeris setelah membaca isi surat di dalam map yang sialnya, tadi ia tinggalkan diatas meja."Buk, yang tenang ya .. kita pasti mendapatkan jalan keluarnya. Bapak akan usahakan secepat mungkin mencari pinjaman," ucap Wisnu menenangkan sang istri."Ini juga salah bapak! Kenapa dulu terlalu egois pada Tiara," sentak Suti, membuat Wisnu langsung mengatupkan mulut. Merasa apa yang istrinya lontarkan memang benar adanya."Buk.."Mendengar suara Tiara yang ternyata berdiri di dekat pintu, pasangan paruh baya itu seketika menegang."Tiara!" seru keduanya serentak."Sayang hiks… hiks .." Tiara melebarkan langkahnya begitu melihat Suti terisak, tanpa babibu ia langsung membawa tubuh bergetar ibu sambungnya itu kedalam pelukannya."Maafkan semua kesalahan Mawar ya, nak," ucap Suti di sela tangisnya, "Mungkin, ini hukuman untuk dia karena dulu pernah merebut kebahagiaanmu."Tiara memejamkan mata saat bayangan mendiang Mawar-kakak tirinya itu dulu dengan terang-terangan meminta Bram darinya.Bahkan, wanita itu juga nekat mengancam akan mengakhiri hidupnya jika saja Tiara tidak membatalkan pernikahannya dengan Bram."Aku sudah memaafkan kak Mawar jauh sebelum ini, buk," ucap Tiara seraya melepaskan dekapannya."Untuk itu, aku datang di hari bahagianya tanpa pernah berpikir jika hal ini akan terjadi."Tiara sengaja menjeda kalimatnya, saat rasa sesak terasa semakin menghimpit dada, "Dan sekarang, lebih baik kita jangan mengungkit ataupun mengingat keburukan kak Mawar semasa hidupnya, ingat saja yang baik-baik. Supaya dia bisa menemukan jalan terang menuju keabadian."Kalimat itu akhirnya terurai tulus dari hati. Meski awalnya sempat tidak terima dengan permintaan Mawar dan menganggap mustahil bisa melanjutkan hidup tanpa Bram. Tapi, seiring berjalannya waktu, Tiara bisa berdamai dengan keadaan.Mungkin, ia memang ditakdirkan untuk tidak berjodoh dengan Bram–pria dewasa yang bahkan rela menunggu dirinya sejak duduk di bangku SMA.Pria yang juga ia terpaksa tinggalkan tepat di malam sebelum pernikahan mereka.Namun, suka-duka hidup seorang diri justru membuatnya meraup banyak pembelajaran.Bahwa, tidak semua yang diinginkan dalam hidup bisa tercapai tanpa perjuangan.Enam tahun berlalu, ia memberanikan diri muncul di tengah-tengah keluarganya lagi dengan harapan bisa melihat kebahagiaan sang kakak tiri bersanding dengan pria yang dulu ia relakan.Tapi, ternyata lagi-lagi takdir membuatnya berada di posisi yang sulit.Mawar dinyatakan meninggal beberapa jam setelah statusnya berubah menjadi seorang istri. Dan hal itu memaksa Tiara harus kembali berurusan dengan pria yang sama, Bramantyo Wijaya. Satu-satunya pria yang hingga kini memberinya banyak cerita."Sayang … hatimu sungguh mulia nak. Kenapa selama ini Mawar tidak pernah melihat ketulusanmu, terima kasih sayang. Terima kasih untuk kebesaran hatimu.""Aku juga terima kasih ibu mau merawat bapak dengan baik selama aku tidak ada." Tiara melirik ragu pada sosok yang duduk di sisi kanan Suti."Itu sudah kewajiban ibu sebagai istri, nak." Sambil menghapus air mata yang membasahi pipi, Suti juga ikut melirik sinis suaminya yang masih bergeming sedikitpun."Sayang, beritahu ibu. Di mana kamu tinggal sekarang? ke mana saja kamu selama ini, nak? apa kamu tidak merindukan ibu juga bapakmu? kami memang pernah egois, tapi kenapa kamu langsung pergi tanpa sekalipun memberi kami kabar."Mendengar pertanyaan beruntun Suti, Tiara memilih menampilkan senyum kaku."Maaf, jika aku sempat membuat ibu khawatir, tapi saat itu aku merasa memang harus pergi, buk. Selain memberi ruang kak Mawar untuk mendekati Bram, aku juga butuh menata hati untuk memulai hidup baru," ucapnya disertai helaan nafas pelan."Jadi sekarang ibu jangan khawatirkan bagaimana aku hidup," sambungnya.‘Karena sekarang aku sudah cukup bahagia, dengan memiliki dia dalam hidupku,’ Batin Tiara saat mengingat sosok yang mungkin sekarang sedang menunggu kepulangannya."Semua memang salah bapak," sela Wisnu tiba-tiba yang langsung mengalihkan pandangan Tiara juga Suti."Bapak memang bukan sosok pengayom yang baik untukmu, Ara. Dan mungkin hanya bapak satu-satu orang tua kejam yang tega memaksa putrinya berpisah dengan orang yang dicintai."Deg!“Bapak…”Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar