Share

Bab 3

Melihat sang ayah tertunduk penuh penyesalan, Tiara benar-benar tidak tega.

Segera, ia beralih duduk di samping sang ayah.

"Tiara tahu … itu semua bapak lakukan karena Bapak juga menyayangi kak Mawar, sama seperti ibu yang tulus bahkan tidak pernah menganggap Tiara ini anak sambung," ujarnya, "apapun yang terjadi, kalian tetap orang terbaik untuk Tiara, pak, buk."

Mendengar itu, bahu pasangan paruh baya itu seketika bergetar hebat.

Bahkan, Wisnu–sosok yang terkenal garang–pun tidak mampu menyembunyikan rasa haru melihat kebesaran hati darah gadingnya. Padahal, dia dulu tega memaksa sang anak menerima seluruh keputusan sepihaknya. Tapi, anaknya ….

"Jika saja dulu bapak tidak memaksamu untuk membatalkan pernikahan kalian, tuntutan nak Bram ini tidak akan pernah terjadi."

Wisnu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam Tiara yang tertunduk di sampingnya.

"Sekarang, wajar jika dia marah dan menganggap keluarga kita penipu. Mengingat kamu yang dulu meninggalkan dia tanpa pesan sebelum pernikahan kalian. Lalu, saat dia sudah kembali membuka hati pada wanita lain. Ternyata, wanita itu tak lain kakakmu sendiri," ujarnya menyadarkan Tiara.

Deg!

Hati Tiara tiba-tiba mencelos. Dia lupa akan fakta ini. Terlebih, saat ia mengingat tatapan penuh luka pria itu padanya.

‘Kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya? Astaga! Aku ternyata sangat jahat padanya dan sikapku tadi….’ batin Tiara semakin menyesali sikapnya pada Bram.

*******

Tiara buru-buru meninggalkan rumah orang tuanya begitu ingat harus ke suatu tempat.

Dengan mengendarai kendaraan roda duanya, ia tidak ragu membaur dengan kendaraan lain di jalan raya.

Bahkan saat mengingat waktu semakin mendesak, Tiara berani melewati beberapa pengendara lain.

Sesampainya di depan bangunan yang bertuliskan “Sanggar Lukis dan Kaligrafi", Tiara langsung memarkirkan kendaraannya dan bergegas masuk ke dalam dengan berlari kecil.

Begitu sampai di depan ruangan yang diperuntukkan untuk anak-anak, Tiara lantas tersenyum.

Pandangannya tertuju pada bocah perempuan yang duduk di urutan nomor tiga dari depan.

Walaupun posisi bocah itu memunggungi dirinya, tapi Tiara jelas tahu bahwa itu adalah gadis kecil kesayangannya.

Tiara pun memutuskan duduk di kursi panjang yang terdapat di dekat pintu–menunggu giliran sang putri.

"Hari ini, giliran Nana Cahya Savitri yang maju ke depan, ya. Sini, Sayang ....!"

Mendengar nama sang putri, seketika Tiara kembali berdiri didekat pintu.

"Mana hasil lukisan Nana, Sayang? Coba tunjukan pada teman-teman!"

Gadis kecil yang berdiri di depan tersenyum pada guru pembimbingnya, lalu mengangguk.

"Ini gambar keluarga Nana. Ada Nana dan Mama. Nana hanya punya mama karena papa Nana sudah di surga sejak Nana dalam kandungan," jelasnya dengan ceria tidak menyiratkan kesedihan sedikitpun.

Hati Tiara sontak berdenyut nyeri melihat keceriaan putri kecilnya.

"Maafkan mama, nak. Maafkan mama yang belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu," lirih Tiara pelan.

Tiara masih menyaksikan segala tingkah polos putrinya dengan hati hancur.

Ia tidak menyangka bahwa untuk pertama kalinya bisa mendengar pendapat sang putri tentang keluarganya.

Sebagai single mom yang selama ini selalu berusaha sendiri dalam membesarkan Nana, Tiara tidak pernah melihat tatapan penuh harap putrinya seperti yang saat ini ia saksikan.

"Apa Nana boleh meminta sesuatu, Bu Guru?" tanyanya yang kembali mendongak pada wanita dewasa yang masih setia berdiri di sampingnya.

"Silahkan sayang, Nana ingin apa dari Ibu?"

"Tolong bantu Nana minta sama Tuhan untuk hadirkan papa dalam mimpi Nana. Supaya, nanti pas hari father's day, Nana bisa melukis wajah papa."

Mendengar permintaan polos itu, Guru Nana sontak menoleh ke arah pintu–menatap Tiara yang sedang terisak di sana.

Begitu melihat Tiara mengangguk samar, wanita itu pun segera merundukkan tubuhnya hingga sejajar dengan Nana.

"Baiklah anak-anak …" ucapnya sambil merangkul bahu Nana, "mari, kita menundukan kepala sejenak untuk mendoakan papa Nana yang sudah tenang di surga. Semoga Tuhan mendengar doa-doa Nana untuk bertemu papanya di dalam mimpi."

Serentak semua murid mengikuti perintah guru pembimbing mereka, termasuk Nana.

Hati Tiara kian berdesir hebat, sebab faktanya sangat berbeda.

Nana masih memiliki ayah dan pria itu hidup dengan layak. Namun, untuk mencegah “doa tulus” itu pun tidak mungkin.

Suara Tiara justru berakhir tertahan di tenggorokan.

"Ini tidak benar, tapi bagaimana caraku menjelaskannya?" batin Tiara menjerit pilu, "kenapa aku tidak pernah memprediksi ini bisa saja terjadi? Selama ini, aku terlalu percaya diri jika Nana hanya cukup memiliki diriku. Tapi ternyata, dia juga menginginkan figur ayah. Apa aku sudah terlalu egois padanya?"

"Mama!!!"

Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Tiara sampai tidak menyadari Nana sudah di hadapannya. Gadis cantik itu bahkan menggenggam tangan Tiara erat.

"Mama, ayo kita pulang! Kelasnya sudah selesai."

"Ah! iya sayang, sebentar mama ambil tas dulu ya."

Setelah menghapus jejak kesedihan di wajahnya, Tiara segera berjalan bersama Nana.

Sepasang ibu dan anak itu pun berjalan bersisian menuju pintu keluar.

Pemandangan yang mungkin tampak biasa terlihat bagi sebagian orang, tapi tidak berlaku pada sosok yang tengah menatap penuh arti keduanya dari dalam mobil.

Bram mengerutkan dahinya.

Kondisi kaca mobil yang gelap memudahkan melihat apa saja yang ada di luar, termasuk Tiara yang

kini mengenakan helm di kepala bocah cantik itu.

"Cari tahu di mana Tiara tinggal dan identitas gadis kecil itu."

Suara berat itu mendominasi mobil, hingga pria di balik kemudi mengangguk cepat. "Baik, tuan."

Bram berdehem puas sampai akhirnya dia memerintahkan mobil untuk bergerak maju.

Meski demikian, tatapan pria itu masih saja tertuju pada objek yang sama.

Setelah mobil melewati “wanitanya”, barulah Bram menyandarkan kepala di bangku mobil.

"Jadi, benar kau memilih pergi meninggalkanku demi fotografer sialan itu Tiara," gumamnya dengan menutup kedua mata, “bahkan, kau memiliki anak dengannya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status