Melihat sang ayah tertunduk penuh penyesalan, Tiara benar-benar tidak tega.
Segera, ia beralih duduk di samping sang ayah."Tiara tahu … itu semua bapak lakukan karena Bapak juga menyayangi kak Mawar, sama seperti ibu yang tulus bahkan tidak pernah menganggap Tiara ini anak sambung," ujarnya, "apapun yang terjadi, kalian tetap orang terbaik untuk Tiara, pak, buk."Mendengar itu, bahu pasangan paruh baya itu seketika bergetar hebat.Bahkan, Wisnu–sosok yang terkenal garang–pun tidak mampu menyembunyikan rasa haru melihat kebesaran hati darah gadingnya. Padahal, dia dulu tega memaksa sang anak menerima seluruh keputusan sepihaknya. Tapi, anaknya …."Jika saja dulu bapak tidak memaksamu untuk membatalkan pernikahan kalian, tuntutan nak Bram ini tidak akan pernah terjadi."Wisnu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam Tiara yang tertunduk di sampingnya."Sekarang, wajar jika dia marah dan menganggap keluarga kita penipu. Mengingat kamu yang dulu meninggalkan dia tanpa pesan sebelum pernikahan kalian. Lalu, saat dia sudah kembali membuka hati pada wanita lain. Ternyata, wanita itu tak lain kakakmu sendiri," ujarnya menyadarkan Tiara.Deg!Hati Tiara tiba-tiba mencelos. Dia lupa akan fakta ini. Terlebih, saat ia mengingat tatapan penuh luka pria itu padanya.‘Kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya? Astaga! Aku ternyata sangat jahat padanya dan sikapku tadi….’ batin Tiara semakin menyesali sikapnya pada Bram.*******Tiara buru-buru meninggalkan rumah orang tuanya begitu ingat harus ke suatu tempat.Dengan mengendarai kendaraan roda duanya, ia tidak ragu membaur dengan kendaraan lain di jalan raya.Bahkan saat mengingat waktu semakin mendesak, Tiara berani melewati beberapa pengendara lain.Sesampainya di depan bangunan yang bertuliskan “Sanggar Lukis dan Kaligrafi", Tiara langsung memarkirkan kendaraannya dan bergegas masuk ke dalam dengan berlari kecil.Begitu sampai di depan ruangan yang diperuntukkan untuk anak-anak, Tiara lantas tersenyum.Pandangannya tertuju pada bocah perempuan yang duduk di urutan nomor tiga dari depan.Walaupun posisi bocah itu memunggungi dirinya, tapi Tiara jelas tahu bahwa itu adalah gadis kecil kesayangannya.Tiara pun memutuskan duduk di kursi panjang yang terdapat di dekat pintu–menunggu giliran sang putri."Hari ini, giliran Nana Cahya Savitri yang maju ke depan, ya. Sini, Sayang ....!"Mendengar nama sang putri, seketika Tiara kembali berdiri didekat pintu."Mana hasil lukisan Nana, Sayang? Coba tunjukan pada teman-teman!"Gadis kecil yang berdiri di depan tersenyum pada guru pembimbingnya, lalu mengangguk."Ini gambar keluarga Nana. Ada Nana dan Mama. Nana hanya punya mama karena papa Nana sudah di surga sejak Nana dalam kandungan," jelasnya dengan ceria tidak menyiratkan kesedihan sedikitpun.Hati Tiara sontak berdenyut nyeri melihat keceriaan putri kecilnya."Maafkan mama, nak. Maafkan mama yang belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu," lirih Tiara pelan.Tiara masih menyaksikan segala tingkah polos putrinya dengan hati hancur.Ia tidak menyangka bahwa untuk pertama kalinya bisa mendengar pendapat sang putri tentang keluarganya.Sebagai single mom yang selama ini selalu berusaha sendiri dalam membesarkan Nana, Tiara tidak pernah melihat tatapan penuh harap putrinya seperti yang saat ini ia saksikan."Apa Nana boleh meminta sesuatu, Bu Guru?" tanyanya yang kembali mendongak pada wanita dewasa yang masih setia berdiri di sampingnya."Silahkan sayang, Nana ingin apa dari Ibu?""Tolong bantu Nana minta sama Tuhan untuk hadirkan papa dalam mimpi Nana. Supaya, nanti pas hari father's day, Nana bisa melukis wajah papa."Mendengar permintaan polos itu, Guru Nana sontak menoleh ke arah pintu–menatap Tiara yang sedang terisak di sana.Begitu melihat Tiara mengangguk samar, wanita itu pun segera merundukkan tubuhnya hingga sejajar dengan Nana."Baiklah anak-anak …" ucapnya sambil merangkul bahu Nana, "mari, kita menundukan kepala sejenak untuk mendoakan papa Nana yang sudah tenang di surga. Semoga Tuhan mendengar doa-doa Nana untuk bertemu papanya di dalam mimpi."Serentak semua murid mengikuti perintah guru pembimbing mereka, termasuk Nana.Hati Tiara kian berdesir hebat, sebab faktanya sangat berbeda.Nana masih memiliki ayah dan pria itu hidup dengan layak. Namun, untuk mencegah “doa tulus” itu pun tidak mungkin.Suara Tiara justru berakhir tertahan di tenggorokan."Ini tidak benar, tapi bagaimana caraku menjelaskannya?" batin Tiara menjerit pilu, "kenapa aku tidak pernah memprediksi ini bisa saja terjadi? Selama ini, aku terlalu percaya diri jika Nana hanya cukup memiliki diriku. Tapi ternyata, dia juga menginginkan figur ayah. Apa aku sudah terlalu egois padanya?""Mama!!!"Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Tiara sampai tidak menyadari Nana sudah di hadapannya. Gadis cantik itu bahkan menggenggam tangan Tiara erat."Mama, ayo kita pulang! Kelasnya sudah selesai.""Ah! iya sayang, sebentar mama ambil tas dulu ya."Setelah menghapus jejak kesedihan di wajahnya, Tiara segera berjalan bersama Nana.Sepasang ibu dan anak itu pun berjalan bersisian menuju pintu keluar.Pemandangan yang mungkin tampak biasa terlihat bagi sebagian orang, tapi tidak berlaku pada sosok yang tengah menatap penuh arti keduanya dari dalam mobil.Bram mengerutkan dahinya.Kondisi kaca mobil yang gelap memudahkan melihat apa saja yang ada di luar, termasuk Tiara yangkini mengenakan helm di kepala bocah cantik itu."Cari tahu di mana Tiara tinggal dan identitas gadis kecil itu."Suara berat itu mendominasi mobil, hingga pria di balik kemudi mengangguk cepat. "Baik, tuan."Bram berdehem puas sampai akhirnya dia memerintahkan mobil untuk bergerak maju.Meski demikian, tatapan pria itu masih saja tertuju pada objek yang sama.Setelah mobil melewati “wanitanya”, barulah Bram menyandarkan kepala di bangku mobil."Jadi, benar kau memilih pergi meninggalkanku demi fotografer sialan itu Tiara," gumamnya dengan menutup kedua mata, “bahkan, kau memiliki anak dengannya?”"Ma ….""Iya, Sayang?" Tiara yang hendak melangkahkan kaki sontak menoleh ke Nana."Kata Remon, kalau orang sudah di surga itu berarti sudah meninggal. Apa benar?" tanya Nana ragu.Mata Tiara sontak membola. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya dengan cepat."Iya, benar," jawab Tiara akhirnya meski dengan berat hati."Lalu … kalau sudah meninggal, berarti ada kuburannya? Apa itu benar juga ma?"Tiara menelan ludah susah payah sembari membuang pandangan ke arah lain. Sejujurnya, hal itu ia lakukan agar cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mata tidak sampai jatuh menerjang pipi. Dia tak ingin Nana melihatnya. Dengan suara parau, Tiara kembali menjawab sang putri, "Iya, Sayang.""Jadi, kapan mama mau mengajak Nana mengunjungi kuburan papa?"DEG!Kini, jantung Tiara berpacu lebih cepat dari biasanya. Cairan bening yang ditahan, akhirnya luruh tanpa bisa lagi ia cegah. Sayangnya, Nana menangkap pergerakan Tiara tengah mengusap pipi. "Loh, kenapa mama menangis? Apa mam
"Tuntutan itu …," ucap Tiara gelisah. Perempuan itu jalan bolak-balik mengitari kamarnya, seperti kesetanan. Bahkan, ia mengabaikan rambut panjangnya yang terlepas dari gulungan. Sejak tadi, dia memikirkan segala kemungkinan. Jika bapak yang mengajukan, pasti tak diterima. Selain faktor usia, beliau sendiri hanya mengandalkan pensiunan untuk bertahan hidup. Sang ayah sudah tidak lagi mengajar seperti beberapa tahun lalu saat dirinya memutuskan pergi. Ibu sambungnya juga hanya buruh setrika biasa. Apakah kedua orang tuanya akan berakhir di dalam penjara?"Jika aku mengajukan pinjaman ke Bank dengan jumlah sebanyak itu, berapa tahun aku bisa melunasinya? Belum lagi, statusku sebagai wanita tanpa suami,” gumamnya semakin panik. Tiara merasa berada di posisi yang sulit. Meski kini hubungannya dengan sang ayah membaik pasca meninggalkan Mawar, tetapi masalah belum juga berakhir. Jikapun mereka berusaha semaksimal mungkin dan menggunakan uang pensiunan sang ayah dalam waktu dua bulan
Tanpa sadar, Tiara sampai mundur satu langkah, berpikir untuk lari. Namun itu bukanlah tindakan yang etis. Hingga sejurus kemudian, ia mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Bram. 'Persetan, dengan tuntutan itu,' pikirnya.Bram menarik sudut bibirnya—-melihat ketegangan di wajah Tiara yang berusaha wanita itu lawan. " Kau disini? apa yang kamu lakukan?"Bram sempat menoleh kiri-kanan, memastikan ada sosok lain yang mungkin bersama wanita itu. Namun sayang, yang ia lihat hanya gapura bertuliskan 'TPU UMUM' tepat di belakang Tiara.Sadar pandangan Bram mengarah kemana, Tiara berniat menjawab pertanyaannya. Tetapi, begitu mengetahui pandangan pria dibelakang Bram tertuju padanya dan penuh selidik. Kegugupan tidak bisa lagi teratasi dengan baik. Ia pun merutuki keputusannya karena sudah menampakkan diri di depan orang-orang itu.Mungkin, Bram menyebutnya pucung dicinta ulampun tiba."Kamu tidak mendengarku?" Tiara terjingkat, terlebih menyadari Bram semakin mengikis jarak diantara merek
"Turun!" Tiara terhenyak, dan yang membuatnya semakin kebingungan, dimana mereka sekarang?'Dimana ini?' batinnya bertanya-tanya.Ia berusaha mengingat apakah pernah mendatangi tempat itu. Namun naasnya sudah seperkian detik ia mencoba. Hasilnya tetap nihil. Tempat itu benar-benar asing baginya. menyadari itu, muncul rasa khawatir. Untuk apa Bram membawanya kesana, terlebih begitu ia menoleh ke samping kiri, bangunan menjulang itu seperti tempat ibadah. Kegelisahan semakin membumbung tinggi, Namun Tiara enggan untuk bertanya.Di saat Tiara masih berpikir keras, tiba-tiba ia terkejut mendapati Bram sudah membuka pintu yang ada di sampingnya. "Cepat turun! sebelum aku menyeretmu keluar dari mobilku." Tidak ingin hal itu sampai terjadi. Tiara buru-buru melangkahkan kaki dan bergerak turun.Meski masih diselimuti rasa penasaran, setidaknya Tiara bersyukur masih bisa berdiri menggunakan kedua kakinya. "Kita dima—" Namun, belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bram sudah lebih dulu menarik
Mobil Bram berhenti di depan sebuah hotel mewah. Begitu mematikan mesin, ia bergegas keluar. "Parkirkan mobil saya." Melempar kunci pada seorang pria yang langsung siap menangkap."Baik, Tuan," jawab pria itu.Bram tidak lagi menjawab, langkahnya semakin lebar memasuki lobby menuju suite room hotel. Tidak ada senyum ramah ataupun tatapan teduh yang nampak di wajah tegasnya. Pria berperawakan tinggi tegap itu berjalan dengan mata tajamnya lurus kedepan. Amarah dalam dirinya masih berkobar. Selain keputusan Tiara, yang ingin menjadi pengganti Mawar, sikap wanita itu juga benar-benar membuatnya muak. Sehingga nyaris hilang kesabaran kalau saja, Bram tidak segera menjauh. Sisi baik dalam dirinya masih mengingatkan, untuk tidak berlaku kasar pada wanita. Tapi, mengingat wanita itu adalah Tiara, seolah ada pertarungan batin yang akhirnya berakhir dilema.'Perempuan sialan. Berani sekali dia membuatku sekacau ini,' geramnya dalam hati.Sesampainya didepan kamar suite room, Bram menghubungi s
"Ya Tuhan, sudah jam berapa sekarang?"Tiara terjingkat bangun, menyadari kebodohannya yang bisa-bisanya tertidur karena lelah menangis. Setelah melihat benda bulat berukuran besar yang terpajang di dinding, Tiara terkesiap. "Astaga! Nana," gusarnya terjingkat bangun.Brak!!! Brak!!!"Bram! buka pintunya! aku harus pulang sekarang, Bram. Buka pintunya!" Berulang kali menggedor hingga tanganya terasa sakit, tetapi tetap tidak ada jawaban. "Aku harus pulang Bram! kasian Nana pasti sudah menangis mencariku. Buka Bram! kenapa kamu setega ini pada putrimu sendiri!" Merasa putus asa, dan kesal tidak mendapat jawaban, Tiara kembali terisak. Ia cemas memikirkan putrinya yang mungkin saja tengah menangis, menunggu dirinya yang tak kunjung pulang. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam."Aku tidak bisa terus seperti ini, aku harus mencari cara agar bisa keluar dari tempat ini." Menegakan tubuh, sambil mengusap kasar pipinya, Tiara menatap lurus kedepan. "Tolong beritahu aku dimana j
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun dua orang dewasa yang mengurung diri didalam sebuah tempat ibadah, masih betah diam dengan posisi duduk berjauhan. Situasi macam apa itu?Siapa sangka, jika dulu, keduanya merupakan sepasang kekasih yang saling mencintai. Bahkan, nyaris melangsungkan pernikahan, jika saja mendiang Mawar tidak hadir mengacaukan. Kini, setelah enam tahun berlalu, meninggalkan penyesalan dalam hati Tiara. Andai saja, malam itu ia tidak memilih pergi, mungkin kondisi sekaku itu tidak akan terjadi.'Kita seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal, Bram.''Jangan harap, aku bisa seperti dulu, Tiara. Sekarang aku hanya ingin membencimu seumur hidupku.''Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu."Keduanya seolah berkomunikasi lewat suara hati. Tanpa ada yang bergerak sedikitpun dari tempatnya, kecuali tangan Tiara yang saling meremas di atas pangkuan. Penyesalan memang selalu muncul di ak
"Kau benar-benar percaya dia sudah mati?""Jadi kamu berpikir aku berbohong? atau justru menganggap aku yang telah dibodohi?" Bram menatap datar Tiara, merasa tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, buang-buang waktu. "Dia kecelakaan saat ingin mengunjungiku ke rumah sakit setelah melahirkan Nana. Walaupun aku tidak sempat melihat jasadnya, tapi Sari juga mengatakan jika hari itu adalah hari kematian Ziyan ""Setidaknya itu hukuman yang pantas untuknya." Merasa tidak perlu lagi mendengar omong kosong Tiara, Bram memilih menghidupkan musik dan kembali berkonsentrasi mengemudi. 'Pantaskah peristiwa naas itu kamu sebut sebagai hukuman untuk pria sebaik Ziyan? lantas, hukuman apa yang pantas untuk wanita sepertiku?' Tiara memilih kembali memandang keluar, musik bergenre Slow yang Bram pilih setidaknya bisa mempengaruhi suasana hatinya agar lebih cepat membaik. Ia benar-benar butuh hiburan, rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari dua bulan terakhir, benar-benar telah meng