Share

Bab 2

Penulis: April
Melihat rolls-royce hitam di luar pagar, aku otomatis mempercepat langkah.

Namun, belum sempat melewati gerbang, tiba-tiba dua anak buah muncul. Lalu memaksaku kembali ke dalam vila. Menyeretku dengan mencengkeram erat lenganku di kiri dan kanan.

Di dalam ruang kerja, Felix mengikatku dengan kuat, bahkan menyuruh orang menyumpal mulutku dengan kain.

Dokter keluarga datang. Dia menyuntikkan jarum besar ke lenganku. Suntikannya sebesar lengan bayi dan mulai mengambil darah.

Setelah satu tabung penuh, dokter berjalan ke pintu. Dari balik pintu yang setengah terbuka, aku mendengar dia berkata pada Felix,

“Pak Felix, meskipun Nana dan Celine sama-sama bergolongan darah langka, tapi Nana punya riwayat asma sejak kecil. Tindakan ini sangat resiko memicu syok….”

“Jangan buang waktuku dengan kemungkinan.”

Ujar Felix dengan dingin dan tanpa ragu melanjutkan,

“Kamu hanya perlu memastikan kondisi Celine stabil, aku tahu batas.”

Dokter pun mengangguk takut-takut.

Langkah kaki dokter terdengar pelan dan tenang. Dia berhenti di depanku, sepatu kulit mahalnya masih mengilap sempurna. Aku memejamkan mata, tak berani mendongak.

“Sangat sakit?” tanya Felix sambil mengangkat daguku pelan, jari-jarinya menyentuh bibirku yang pecah karena tergigit.

Nadanya terdengar sangat lembut, “Tahan sedikit lagi, sebentar lagi selesai.”

Terdengar tawa pahit keluar dari mulutku. Aku hanya menjawab pelan, “Ya sudahlah.”

Anggap saja darah ini sebagai balasan atas semua kasih sayangnya selama ini.

Setelah enam ratus mililiter darah diambil, bibirku mulai membiru, tubuh terasa dingin dan aku mulai terengah-engah.

Kupikir semuanya akan berakhir di sini, tapi pada saat bersamaan, dari kamar utama terdengar suara batuk Celine.

Felix yang awalnya ingin menggendongku, tiba-tiba berubah pikiran.

Dia langsung menahan tangan dokter yang hendak mencabut jarum dan memerintah untuk mengambil darah dua kali lipat banyaknya.

Dokter terlihat panik dan berkata pelan, “Pak Felix, ini bisa menyebabkan efek samping permanen.”

Suasana menjadi hening beberapa detik, lalu Felix hanya berkata,

“Celine sedang hamil sekarang, dia yang lebih penting.”

“Tapi….” Dokter masih ingin membantah.

Aku memotongnya dengan suara serak dan gemetar,

“Ambil saja, setelah itu biarkan aku pergi.”

Melihat wajahku yang pucat seperti secarik kertas, Felix menekan pelipisnya, lalu berkata tajam, “Sudah cukup dramanya?”

“Hanya karena hal sepele ini kamu mau pergi? Padahal saat kamu menipuku dulu, aku bahkan….”

Belum sempat aku menjawabnya, sudah terdengar suara manja Celine dari kamar sebelah, “Felix.”

Felix langsung melangkah cepat ke arah suara itu.

Kulihat kepergiannya dan teringat betapa kami sangat mencintai satu sama lain dulu.

Saat salju pertama turun tahun itu, aku demam tinggi hingga nyaris tak sadar. Felix mengemudi semalaman untuk menjemputku, menggendongku ke rumah sakit, menyuapi obat dan tak meninggalkanku sedetik pun.

Dia bilang, “Kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku.”

Dan aku percaya.

Dia pernah menciumku penuh hasrat, menekanku ke jendela besar dan berkata dengan suara serak, “Kita harus selalu bersama seperti ini, jangan pernah berpisah, ya?”

Namun sekarang, dia bahkan tidak menoleh.

Sejak kapan semuanya berubah?

Sejak dia tak sengaja melihat perjanjian itu?

Sebuah kontrak yang ditandatangani oleh keluargaku dan ketua Keluarga Tosa, yaitu Harris Tosa, ayahnya Felix.

Isinya jelas, Keluarga Tosa akan membantu keluargaku yang bangkrut, dengan syarat aku harus menikah dengan Felix.

Hari itu, dia berdiri membisu di ambang pintu ruang kerja, memegang dokumen itu dengan tangan bergetar, wajahnya dingin membeku.

Aku buru-buru menjelaskan, “Aku benar-benar nggak tahu soal kontrak itu! Aku menikahimu karena cinta! Aku tidak pernah menipumu!”

Felix hanya menatapku dengan dingin, tanpa emosi sedikit pun, “Ternyata, sejak awal kamu hanya barang tukaran yang dibungkus cantik.”

Saat itu juga, aku melihat dia membangun tembok di antara kami.

Sejak hari itu, dia tidak pernah memeluk dan menciumku lagi.

Tatapannya hanya penuh pengawasan dan begitu dingin.

Semua kelembutan dan semua janji ‘aku akan menjagamu seumur hidup’, berubah menjadi kalimat kejam ‘sudah cukup dramanya?’.

Aku ingin meluluhkan hatinya dengan cinta dan pengorbanan, agar kami bisa kembali seperti dulu.

Namun Felix, aku sudah terlalu lelah. Aku sudah tidak punya tenaga untuk mencintaimu lagi.

Aku memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelan kesadaranku.

….

Dua hari kemudian.

Setelah siuman dari syok dan dirawat di rumah sakit, aku baru membuka mata dan duduk, langsung melihat Felix sedang membaca dokumen.

Kami saling bertatapan cukup lama.

Felix membawa semangkuk bubur, meniup sendoknya dan berniat menyuapiku.

Namun, aku menggeleng dan berkata, “Aku bisa sendiri.”

Setelah diam mengamatiku menghabiskan setengah mangkuk, dia bertanya lembut,

“Ada nggak enak badan?”

Namun, aku malah mengalihkan topik,

“Tolong berikan ponselku.”

Mungkin karena nada suaraku terlalu dingin dan berjarak, Felix sempat tertegun beberapa detik dan barulah memberi isyarat menyuruh bawahannya menyerahkan ponselku.

Dia sempat melirik layar dan melihat puluhan panggilan tak terjawab. Alisnya mengerut dan bertanya,

“Siapa yang meneleponmu?”

Dia tak pernah bertanya begitu banyak padaku.

Aku pun menunduk dan menjawab singkat, “Orang yang tak kamu kenal.”

Tiba-tiba, Felix membentak dan menarik keras kancing teratas kemejaku. Lalu mencengkeram daguku kuat-kuat.

Mata keemasannya memancarkan amarah, seperti singa yang tiba-tiba menampakkan taringnya.

“Nana, sampai kapan kamu mau terus bersikap seperti putri manja?”

“Baru sedikit baik padamu, kamu sudah berani membangkangku?”

Dulu saat Felix marah, aku akan langsung introspeksi dan mencoba menenangkannya.

Namun, sekarang tidak lagi.

Aku terlalu capek.

Aku menunjuk ponselnya yang terus bergetar di atas meja dan berkata datar,

“Celine meneleponmu.”

Felix tercengang, amarahnya langsung mereda. Dia mundur selangkah, merapikan kerah bajunya, lalu keluar dari ruang rawat.

Begitu dia pergi, ponselku pun berdering.

Begitu kuangkat, belum sempat aku menjawab, langsung terdengar suara cemas dari balik telepon,

“Bukannya kamu mau datang mencariku? Nana, jangan bilang kamu berubah pikiran?”

“Bukan, tiba-tiba ada kecelakaan,” jawabku dengan pelan.

“Kecelakaan? Kamu kenapa? Nggak bisa, sepertinya aku harus menjemputmu langsung ke Etali….”

Aku memotong celotehan panjangnya dengan senyuman kecil dan berkata,

“Kasih aku beberapa hari lagi, sebentar lagi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diriku Seutuhnya   Bab 11

    Mendengar teriakan histeris dan tangisan memilukan Celine, Felix tak mengernyit sedikit pun. Dia pun menjawab dengan begitu dingin, “Celine, aku hanya membiarkanmu merasakan apa yang telah kamu lakukan pada Anna. Itu nggak keterlaluan, ‘kan?”“Oh iya, nanti juga nggak akan ada anestesi atau obat penghilang rasa sakit. Mulai sekarang, kamu juga nggak akan pernah bisa punya anak lagi. Bersiaplah.”Telepon di seberang sunyi senyap beberapa detik, lalu tiba-tiba Celine mulai memohon dengan panik,“Felix… Felix! Kamu nggak boleh melakukan itu padaku! Tolong lepaskan anak kita! Aaa….!”Mendengar jeritan tajam Celine yang tiba-tiba, tubuhku langsung gemetar.Felix menutup telepon, wajahnya masih tersenyum penuh harap padaku.Wajah Felix yang pucat luar biasa, menggenggam tanganku dan menempelkannya ke pipinya.“Anna, nanti mereka akan kirimkan rekaman video operasi itu padaku. Kalau kamu mau, aku juga bisa menyuruh mereka mengirimkan janin yang sudah mati itu ke sini. Setelah melihat dengan

  • Diriku Seutuhnya   Bab 10

    Dalam perang tanpa senjata yang terpaksa dimulai ini, orang pertama yang kehilangan kendali adalah Justin.Malam itu, sepulang dari pesta, aku dan Justin melihat Felix dari kejauhan sedang berdiri di bawah lampu gerbang, sambil memeluk biola di pelukannya.Jalan kecil menuju rumah dipenuhi taburan kelopak mawar.Begitu turun dari mobil, langit malam di belakangku tiba-tiba meledakkan puluhan ribu kembang api yang menyala bersamaan.Dalam dentuman kembang api itu, Felix memainkan lagu [Pujaan Hati] dengan biolanya.Justin pernah menyiksa dirinya sendiri dengan menonton berkali-kali rekaman saat Felix melamarku.Waktu itu, aku masih muda dan polos, mudah luluh oleh pertunjukkan kembang api yang memukau dan pertunjukkannya yang penuh perasaan.Di atas hamparan kelopak mawar yang membentuk karpet, aku pun menerima lamarannya.Kini, saat melihatku menoleh karena tertarik perhatian kembang api, akhirnya Justin tak tahan lagi dan langsung melayangkan pukulan ke wajah Felix.“Brengsek! Kenapa

  • Diriku Seutuhnya   Bab 9

    Saat Felix terbangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas.Di nakas samping ranjang ada segelas air hangat. Felix meminum habis air itu dengan penuh suka cita, lalu berjalan keluar kamar dengan gembira, berusaha menahan rasa tidak nyaman di tubuhnya, demi bisa bertemu istrinya dan berbicara lagi dengannya.Namun, saat menaiki tangga spiral dengan keringat membasahi wajahnya dan sampai di atap.Yang dia lihat adalah istrinya tengah berciuman dengan pria bernama Justin.Seketika, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk.Felix menekan bibir pucatnya, melangkah maju dan mencengkeram kerah baju Justin, sambil menggertak, “Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan pada Anna?!”Sampai di titik ini, Felix sudah tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri dengan mengira Anna hanya sekadar tertipu Justin.“Siapa yang mengizinkan kamu menyentuh Anna?!”Justin tersenyum mengejek.“Cih, kamu yakin sudah memperlakukan Anna dengan layak sebagai seorang istri?”Belum sempat Justin melanjutkan lagi,

  • Diriku Seutuhnya   Bab 8

    Merasa tubuhku menegang, Justin memelukku lebih erat.“Felix, aku tahu kamu. Kamu suaminya Nana.”Justin menatapku sambil tersenyum, “Apa yang membuatmu tertarik padanya dulu? Dari penampilannya jelas dia nggak sekeren aku.”Felix langsung merasa agak sesak napas, seolah dadanya terpukul dengan keras beberapa kali. Tatapannya terpaku pada tangan Justin yang melingkari pinggangku. Kalau ini terjadi di wilayah kekuasaannya sendiri, mungkin detik berikutnya dia sudah mengeluarkan pistol dan menembak tangan itu.Justin melepaskan tangannya dari pinggangku dan berkata, “Jangan lihat tanganku seperti itu, nggak sopan. Tapi, aku juga harus sopan dan memperkenalkan diri. Perkenalkan, namaku Justin.”Felix mengenakan setelan jas rapi, kini tampak malang dan kehilangan wibawa, “Kamu anak yatim yang diadopsi keluarga Nana, ‘kan? Hanya anak angkat saja, memangnya pantas mendekati Nana?”Justin hanya mengangkat bahunya santai, tampak tak peduli.Namun, aku mulai mengernyit, “Felix, jangan asal bica

  • Diriku Seutuhnya   Bab 7

    “Sayang, dengarkan aku dulu.”Celine memohon dengan panik, “Aku dan anak kita nggak bisa hidup tanpamu. Meskipun marah padaku, kamu nggak seharusnya membenci anak kita!”“Kalau Nana benar-benar mencintaimu, seharusnya dia bisa menerima anak ini seperti anaknya sendiri! Dia sendiri nggak bisa hamil, kamu lupa?! Lagipula, dia juga yang merusak pesta ulang tahun Harris, membuat kamu dan dia dipermalukan di depan banyak orang! Dia sudah sejahat itu, kamu masih….”Melihat wajah Felix yang membeku seperti es, suara Celine semakin lama semakin pelan.“Aku rasa kamu sudah lupa diri.”Felix merapikan lengan bajunya. Hari ini, dia sengaja memakai manset kemeja pemberian Nana, bukan dari Celine. Seolah sedang menyiratkan sesuatu. “Celine, dulu aku mengira kamu hanya agak manja, jadi aku selalu membiarkan apa pun yang kamu lakukan, pura-pura nggak lihat.”“Benar yang kamu bilang. Nana memang nggak bisa hamil, itu sebabnya aku mencari kamu. Karena anak dalam kandunganmu yang aku inginkan. Tapi, ka

  • Diriku Seutuhnya   Bab 6

    Menghadapi pertanyaan tajam Harris, Felix menekan bibirnya, lalu menjelaskan,“Belakangan ini Nana sibuk menyiapkan sesuatu, sampai kecapekan dan membuat asmanya kambuh. Dia benar-benar kecapekan, jadi aku menyuruhnya untuk istirahat dulu.”Harris menoleh ke arah Celine yang sedang berbincang dengan orang lain tak jauh dari sana. Tatapannya tajam, seolah peka dengan segalanya.Dua jam pun berlalu.Para anggota keluarga sudah selesai memberi salam dan hadiah. Felix menatap layar ponselnya yang penuh pesan belum terbaca dan semakin kuat rasa gelisah di hatinya.Dengan alasan keluar untuk merokok, Felix berjalan ke balkon dan mencoba menelepon Nana. Namun, yang dia dapat hanyalah suara operator berulang kali.Jantungnya mencelos. Dia mencoba menelepon lagi, tetap mendapat jawaban dingin yang sama.Dirinya diblokir.“Sialan!” Felix meninju dinding dengan keras.Sementara itu, di dalam aula pesta yang mewah, seorang anak buah datang menyerahkan tiga buah hadiah.Di bawah tatapan penasaran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status