Share

Bab 3

Author: April
Saat Felix kembali ke ruang rawatku, aku baru saja menutup telepon.

Melihat senyuman yang masih menggantung di bibirku, dia tampak terdiam sejenak.

…sudah berapa lama sejak terakhir kali Nana tersenyum tulus di hadapannya?

Felix menatap senyumku dengan rakus, ingin bertanya siapa yang meneleponku tadi.

Namun, Felix sendiri tahu dirinya tak boleh, bahkan seharusnya tak lagi mendekatiku. Dia seharusnya menyanyikan lagu nina bobo untuk bayi Celine.

Dia menebak orang yang menelepon tadi pasti adalah salah satu kerabatku.

Dia mengambil berkas yang dibutuhkan, lalu berkata tanpa menoleh,

“Nana, aku ada urusan internal. Aku bakal datang lagi besok.”

Namun besok, lusa dan hari-hari berikutnya, Felix tak pernah muncul.

Yang kudapat hanyalah kiriman video dari orang-orang keluarga yang gemar menggosip, video Felix bersama Celine.

Seolah ingin membalas dendam, dia membawa Celine ke berbagai acara elit.

Bahkan memperkenalkannya secara resmi pada semua orang, sementara Celine tersenyum manis, menautkan lengannya mesra di lengan Felix, seolah dirinya adalah istri sahnya.

Di hari aku keluar dari rumah sakit, Felix mengunggah sembilan foto di instagram. Semuanya tampak dirancang sempurna.

Mereka berdua berada di atas balon udara di bawah sinar matahari senja, saling bergandengan tangan sambil menatap ke bawah.

Felix terlihat bahagia dan bebas.

Aku meninggalkan komentar,

[Semoga kalian segera dikaruniai sepasang anak, langgeng dan bahagia selamanya.]

Sepuluh menit kemudian, Felix meneleponku berkali-kali.

Aku tak mengangkat satu pun.

Setengah jam setelah itu, aku mengurus sendiri semua proses keluar dari rumah sakit. Di depan ruang poli obgyn, aku melihat Felix dan Celine.

Aku sempat mendengar seorang perawat berkata pada Celine,

“Bu Celine, kamu benar-benar bahagia sekali. Suamimu sangat perhatian. Dia selalu menemanimu cek kehamilan dari awal sampai akhir.”

“Waktu USG, dia bahkan menyuruh staf menggelar selimut di ranjang agar kamu nggak kedinginan, menutupi semua sudut tajam agar kamu nggak tersandung… bahkan tak membiarkanmu melangkah sedikit pun, selalu menggendongmu.”

Mendengar perkataan perawat itu, semua ibu hamil di sekitar langsung menatap iri.

Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk menjelaskan semuanya. Aku hanya ingin mempertahankan sisa harga diriku dan pergi.

Aku mencoba menghindari mereka pelan-pelan, berusaha berjalan melewati mereka tanpa suara dan setenang mungkin.

Namun, tiba-tiba Felix berbalik dan menyipitkan matanya.

“Nana? Kok kamu di sini?”

Sebenarnya dia lebih ingin bertanya, kenapa kamu nggak angkat teleponku? Apa maksud komentar itu?

Belum sempat dia berbicara lagi, aku sudah menunduk seperti biasa dan menjawab pelan,

“Aku nggak mengikuti kalian, ini hanya kebetulan. Maaf kalau mengganggu, aku pergi sekarang juga.”

“Tunggu.”

Panggil Felix sambil mengernyit, aku pun melihat kilatan cemburu di tatapan Celine.

Celine menggenggam lengan Felix lebih erat, meski wajahnya tetap tersenyum manis.

“Nana, aku benar-benar berterima kasih karena sudah mendonorkan darah untukku. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih pusing sekarang.”

“Felix, tolong biarkan Nana ikut pulang dengan kita, ya?”

Nadanya terdengar lugu.

Namun, tatapannya tidak.

Aku melihat Felix memandangiku tanpa berkedip, entah ada apa yang salah. Dia lalu berkata, “Terserah kamu saja, Celine.”

Karena memang berniat pulang untuk mengambil koper, aku pun tak menolak ‘tawaran baik’ dari Celine.

Aku duduk di kursi belakang ferrari hitam yang bersinar, memalingkan wajah menatap keluar jendela. Pemandangan kota melintas kabur di mataku.

Lalu, aku melihat sesuatu yang tersembunyi di bawah kursi.

Sepotong lingerie renda basah yang telah terbelah menjadi dua.

Celine menutup mulutnya, seolah terkejut.

“Aah! Kenapa ini masih di mobil, sih?”

“Felix, bukannya kamu bilang sudah dibuang?”

Aku menarik napas dalam, sementara kukuku mencengkeram telapak tangan hingga nyaris menembus kulitnya.

Celine menggigit bibir, lalu meringkuk di dada Felix. Berpura-pura malu, sambil memukuli dadanya pelan.

Felix tertawa kecil, mengaku semua salahnya, sambil terus mencuri pandang ke arahku, seolah menunggu reaksiku.

Dan kebetulan, tatapan kami saling bertemu. Wajahku tampak datar dan tanpa ekspresi.

Felix pun kesal dan mengalihkan pandangannya. Sikapnya terhadap Celine pun ikut menjadi setengah hati.

Seolah semua ini hanyalah sandiwara yang sengaja dimainkan untuk memancing reaksiku. Tapi, karena satu-satunya penonton hanya diam, sang aktor pun kehilangan semangat untuk terus berakting.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar suara Felix,

“Nana, sejak naik mobil kamu terus melihat ponsel.”

Dari kaca spion, matanya tampak menyipit. Nada suaranya pun terdengar tidak ramah,

“Sedang ngobrol dengan kerabat yang mana? Atau dengan orang yang tidak kukenal?”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diriku Seutuhnya   Bab 11

    Mendengar teriakan histeris dan tangisan memilukan Celine, Felix tak mengernyit sedikit pun. Dia pun menjawab dengan begitu dingin, “Celine, aku hanya membiarkanmu merasakan apa yang telah kamu lakukan pada Anna. Itu nggak keterlaluan, ‘kan?”“Oh iya, nanti juga nggak akan ada anestesi atau obat penghilang rasa sakit. Mulai sekarang, kamu juga nggak akan pernah bisa punya anak lagi. Bersiaplah.”Telepon di seberang sunyi senyap beberapa detik, lalu tiba-tiba Celine mulai memohon dengan panik,“Felix… Felix! Kamu nggak boleh melakukan itu padaku! Tolong lepaskan anak kita! Aaa….!”Mendengar jeritan tajam Celine yang tiba-tiba, tubuhku langsung gemetar.Felix menutup telepon, wajahnya masih tersenyum penuh harap padaku.Wajah Felix yang pucat luar biasa, menggenggam tanganku dan menempelkannya ke pipinya.“Anna, nanti mereka akan kirimkan rekaman video operasi itu padaku. Kalau kamu mau, aku juga bisa menyuruh mereka mengirimkan janin yang sudah mati itu ke sini. Setelah melihat dengan

  • Diriku Seutuhnya   Bab 10

    Dalam perang tanpa senjata yang terpaksa dimulai ini, orang pertama yang kehilangan kendali adalah Justin.Malam itu, sepulang dari pesta, aku dan Justin melihat Felix dari kejauhan sedang berdiri di bawah lampu gerbang, sambil memeluk biola di pelukannya.Jalan kecil menuju rumah dipenuhi taburan kelopak mawar.Begitu turun dari mobil, langit malam di belakangku tiba-tiba meledakkan puluhan ribu kembang api yang menyala bersamaan.Dalam dentuman kembang api itu, Felix memainkan lagu [Pujaan Hati] dengan biolanya.Justin pernah menyiksa dirinya sendiri dengan menonton berkali-kali rekaman saat Felix melamarku.Waktu itu, aku masih muda dan polos, mudah luluh oleh pertunjukkan kembang api yang memukau dan pertunjukkannya yang penuh perasaan.Di atas hamparan kelopak mawar yang membentuk karpet, aku pun menerima lamarannya.Kini, saat melihatku menoleh karena tertarik perhatian kembang api, akhirnya Justin tak tahan lagi dan langsung melayangkan pukulan ke wajah Felix.“Brengsek! Kenapa

  • Diriku Seutuhnya   Bab 9

    Saat Felix terbangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas.Di nakas samping ranjang ada segelas air hangat. Felix meminum habis air itu dengan penuh suka cita, lalu berjalan keluar kamar dengan gembira, berusaha menahan rasa tidak nyaman di tubuhnya, demi bisa bertemu istrinya dan berbicara lagi dengannya.Namun, saat menaiki tangga spiral dengan keringat membasahi wajahnya dan sampai di atap.Yang dia lihat adalah istrinya tengah berciuman dengan pria bernama Justin.Seketika, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk.Felix menekan bibir pucatnya, melangkah maju dan mencengkeram kerah baju Justin, sambil menggertak, “Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan pada Anna?!”Sampai di titik ini, Felix sudah tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri dengan mengira Anna hanya sekadar tertipu Justin.“Siapa yang mengizinkan kamu menyentuh Anna?!”Justin tersenyum mengejek.“Cih, kamu yakin sudah memperlakukan Anna dengan layak sebagai seorang istri?”Belum sempat Justin melanjutkan lagi,

  • Diriku Seutuhnya   Bab 8

    Merasa tubuhku menegang, Justin memelukku lebih erat.“Felix, aku tahu kamu. Kamu suaminya Nana.”Justin menatapku sambil tersenyum, “Apa yang membuatmu tertarik padanya dulu? Dari penampilannya jelas dia nggak sekeren aku.”Felix langsung merasa agak sesak napas, seolah dadanya terpukul dengan keras beberapa kali. Tatapannya terpaku pada tangan Justin yang melingkari pinggangku. Kalau ini terjadi di wilayah kekuasaannya sendiri, mungkin detik berikutnya dia sudah mengeluarkan pistol dan menembak tangan itu.Justin melepaskan tangannya dari pinggangku dan berkata, “Jangan lihat tanganku seperti itu, nggak sopan. Tapi, aku juga harus sopan dan memperkenalkan diri. Perkenalkan, namaku Justin.”Felix mengenakan setelan jas rapi, kini tampak malang dan kehilangan wibawa, “Kamu anak yatim yang diadopsi keluarga Nana, ‘kan? Hanya anak angkat saja, memangnya pantas mendekati Nana?”Justin hanya mengangkat bahunya santai, tampak tak peduli.Namun, aku mulai mengernyit, “Felix, jangan asal bica

  • Diriku Seutuhnya   Bab 7

    “Sayang, dengarkan aku dulu.”Celine memohon dengan panik, “Aku dan anak kita nggak bisa hidup tanpamu. Meskipun marah padaku, kamu nggak seharusnya membenci anak kita!”“Kalau Nana benar-benar mencintaimu, seharusnya dia bisa menerima anak ini seperti anaknya sendiri! Dia sendiri nggak bisa hamil, kamu lupa?! Lagipula, dia juga yang merusak pesta ulang tahun Harris, membuat kamu dan dia dipermalukan di depan banyak orang! Dia sudah sejahat itu, kamu masih….”Melihat wajah Felix yang membeku seperti es, suara Celine semakin lama semakin pelan.“Aku rasa kamu sudah lupa diri.”Felix merapikan lengan bajunya. Hari ini, dia sengaja memakai manset kemeja pemberian Nana, bukan dari Celine. Seolah sedang menyiratkan sesuatu. “Celine, dulu aku mengira kamu hanya agak manja, jadi aku selalu membiarkan apa pun yang kamu lakukan, pura-pura nggak lihat.”“Benar yang kamu bilang. Nana memang nggak bisa hamil, itu sebabnya aku mencari kamu. Karena anak dalam kandunganmu yang aku inginkan. Tapi, ka

  • Diriku Seutuhnya   Bab 6

    Menghadapi pertanyaan tajam Harris, Felix menekan bibirnya, lalu menjelaskan,“Belakangan ini Nana sibuk menyiapkan sesuatu, sampai kecapekan dan membuat asmanya kambuh. Dia benar-benar kecapekan, jadi aku menyuruhnya untuk istirahat dulu.”Harris menoleh ke arah Celine yang sedang berbincang dengan orang lain tak jauh dari sana. Tatapannya tajam, seolah peka dengan segalanya.Dua jam pun berlalu.Para anggota keluarga sudah selesai memberi salam dan hadiah. Felix menatap layar ponselnya yang penuh pesan belum terbaca dan semakin kuat rasa gelisah di hatinya.Dengan alasan keluar untuk merokok, Felix berjalan ke balkon dan mencoba menelepon Nana. Namun, yang dia dapat hanyalah suara operator berulang kali.Jantungnya mencelos. Dia mencoba menelepon lagi, tetap mendapat jawaban dingin yang sama.Dirinya diblokir.“Sialan!” Felix meninju dinding dengan keras.Sementara itu, di dalam aula pesta yang mewah, seorang anak buah datang menyerahkan tiga buah hadiah.Di bawah tatapan penasaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status