Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.
Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun harus kembali bekerja. "Terima kasih, Ai." Aku mengerjap saat sebuah kecupan tiba-tiba mendarat di keningku. Saat ini aku sedang memasangkan dasi untuk Mas Damian. "Karena sudah dipasangkan dasi?" Mas Damian mendengus geli. "Bukan hanya itu. Terima kasih untuk semuanya. Segalanya." Aku sedikit tersipu mendengarnya. Ah, sudah kubilang, kan? Mas Damian itu sebenarnya sangatlah manis. "Dan juga maaf ...," lanjutnya tiba-tiba, membuatku mengerutkan kening. "Maaf untuk apa, Mas?" "Maaf karena sudah membuatmu berada di posisi ini." Ia menghela napas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "maaf karena kamu harus menggantikan Mas. Padahal yang sakit itu Mas. Tapi malah kamu yang mengakuinya." "Mas ... aku sudah bilang, bukan? Tidak apa-apa. Aku tidak mempermasalahkannya. Jangan membahas itu lagi, Mas," balasku seraya mengusap pipi kanannya lembut. Diriku juga memberikan senyum manis. Berusaha meyakinkannya kalau aku sungguh baik-baik saja. "Kamu mungkin akan dipermalukan nanti, Ai," sanggahnya tampak masih tak enak hati. "Asalkan ada Mas Damian, aku tidak apa-apa. Yang terpenting Mas tetap berada di sisiku." Mendengarnya, pria itu lantas kembali menarik pinggulku kemudian mendekap tubuhku. Aku membalas pelukannya dan mengusap punggung lebarnya itu. Aku tahu Mas Damian masih merasa bersalah sekarang. Sepertinya, aku harus melakukan sesuatu untuk membangkitkan kembali kepercayaan diri suamiku ini. "Mas bersyukur memilikimu, Ai. Hanya kamu yang bisa mengerti dan menyayangi Mas sepenuh hati. Terima kasih banyak," ungkapnya penuh afeksi. "Aku juga menyayangimu, Mas. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu. Jadi tolong jangan berpikir untuk berpisah dariku. Aku ingin selalu menemanimu bagaimanapun keadaannya," cetusku yang langsung dibalas anggukannya. "Mas berjanji tidak akan meminta berpisah darimu, Ai. Mas akan selalu berusaha mempertahankan kamu." Sungguh, ini saja sudah cukup bagiku. Aku sudah sangat bahagia di sini. Bahkan meski hanya ditakdirkan untuk hidup berdua, aku tak masalah. Kuharap Allah pun terus memberi restu pada kami agar tetap berjodoh hingga akhir hayat. ... "Bu Guru!" Seruan anak-anak langsung terdengar bersahutan saat aku masuk ke dalam kelas. Mereka semua tergesa-gesa bangkit dan berlarian ke arahku lalu berebut hanya untuk memeluk kakiku. Semula diriku terkejut, tak menyangka akan disambut begitu hebohnya. Kemudian diriku tertawa dan berjongkok untuk memudahkan anak-anak manis ini memelukku. Sungguh, momen ini membuatku merasa sangat bahagia sekaligus haru. "Bu Guru! Aira kangen Bu Guru! Kenapa semalam tidak datang?" Anak dengan rambut dikuncir kuda itu lebih dulu berbicara. Aira namanya, gadis kecil manis yang memiliki lesung pipit. Belum sempat aku menjawab, anak lain sudah menyeletuk, "Dani juga kangen Ibu! Kami pikir Bu Guru tidak akan masuk lagi. Eca sampai menangis semalam." Anak lelaki bernama Dani itu menunjuk temannya; anak perempuan yang bertubuh paling mungil di antara anak-anak yang lain. Gadis kecil berponi itu berdiri paling belakang, menatapku dengan kedua mata berkaca-kaca. Sepertinya ia benar-benar mengira aku berhenti menjadi guru mereka dan akan pergi. Ia pasti sedih karena tak ada yang mengajaknya berbicara lagi nanti, karena Eca adalah anak yang sangat pendiam dan selalu menyendiri di pojok kelas. Biasanya aku lah yang mengajaknya bicara dan melakukan berbagai cara agar ia mau bergaul dengan teman-temannya. "Eca, sini, Nak ...," panggilku seraya melambaikan tangan. Kuberikan senyum termanis untuknya, agar ia mau mendekat padaku meski tampak malu-malu. "Ibu Guru tidak pergi, Eca. Ibu hanya mengambil cuti beberapa hari karena tidak bisa mengajar." "Ibu sakit?" tanyanya kemudian dengan suara bergetar. Aku berusaha menahan diri untuk tidak terkekeh geli dan mencubit pipi gembulnya itu. Astaga, anak ini manis sekali. "Tidak, bukan Ibu. Tapi suami Ibu yang sakit. Ibu harus menjaganya," jawabku sekenanya. Kurasa anak-anak itu cukup mengerti. Mereka bersamaan ber-oh ria dengan wajah polos mereka itu. "Selama Ibu Guru tidak ada, siapa yang mengajari kalian?" "Ibu besar," jawab Dani. Sebenarnya maksudnya adalah Bu Darmi, kepala sekolah yang kebetulan bertubuh agak gemuk. Persis seperi cekgu besar di kartun Upin & Ipin. Ah, anak-anak memanggil begitu juga pasti mencontoh dari kartun itu. "Ya sudah, sekarang kembali ke bangkunya masing-masing, ya? Kita mulai dengan berdoa, bernyanyi, lalu belajar bersama-sama. Setuju, anak-anak?" "Setuju, Bu Guru!" jawab mereka serempak dengan penuh semangat. Ah, begini saja sudah begitu membahagiakan bagiku. Aku pun sudah menganggap anak muridku ini seperti anakku sendiri. Jadi, aku tidak terlalu merasa kesepian. ... Pukul 10.45 adalah waktu anak-anak TK ini pulang. Mereka sudah dijemput orang tua masing-masing seperti biasa. Aku pun sudah bersiap-siap untuk pulang—setelah dengan sopan menolak tawaran Bu Darmi untuk makan siang bersama nanti. Aku ingin cepat pulang karena ingin memasak sendiri di rumah untuk Mas Damian. Ia tadi mengirim pesan dan mengatakan akan pulang saat jam makan siang. Saat diriku ingin memesan ojek online sambil berjalan ke arah gerbang, tak sengaja diriku melihat Eca yang masih berdiri di depan gerbang dengan tatapan bingung. Aku menunda memesan ojek online dan memasukkan kembali handphoneku ke dalam tas. Lantas diriku segera menghampiri anak didikku itu yang wajahnya mulai berubah murung. "Eca, belum pulang, Nak?" panggilku setelah berada di sampingnya. Gadis kecil itu menoleh dan mendongak untuk menatapku, lalu menggelengkan kepala. "Papa belum jemput Eca, Bu Guru." Aku menghela napas pelan. Sepertinya, ayah anak ini lagi-lagi terlambat menjemput. Entah lupa atau karena sedang banyak pekerjaan. Tidak sekali dua kali begini, aku sering menemani Eca menunggu jemputan ayahnya yang kadang bisa tembus satu jam lebih. Sudah kuhubungi, tapi pria itu biasanya hanya berkata maaf dan meminta kami menunggu sebentar lagi. Ah, menyebalkan sebenarnya. Bukan karena aku merasa waktuku ikut terbuang percuma, tapi aku kasihan dengan Eca yang harus menunggu selama itu. Ia selalu tampak sedih setiap kali ayahnya terlambat menjemput. Aku takut ia berpikir ayahnya melupakannya atau malah malas menjemputnya. "Eca, boleh Bu Guru bertanya sesuatu?" Aku berinisiatif mengajaknya mengobrol agar anak itu tak terlalu bosan. "Apa Eca punya adik bayi di rumah?" Aku bertanya seperti ini karena beberapa kali merasa heran, mengapa ibunya Eca tidak pernah datang menggantikan suaminya untuk menjemput anak mereka? Maksudku, jika ayahnya sibuk, setidaknya ibunya bisa mengusahakan untuk menjemput, bukan? "Adik bayi? Tidak punya, Bu Guru. Eca tidak punya adik. Tidak punya mama juga." Aku seketika bungkam mendengar jawaban polosnya. Astaga, kenapa aku tidak mengira-ngira akan hal ini? Bisa-bisanya aku bertanya seperti itu tanpa memikirkan kemungkinannya. Meskipun Eca tampak biasa-biasa saja, aku tetap merasa sangat bersalah karena menanyakan itu padanya. Seharusnya aku mencari tahu sendiri, bukannya langsung bertanya pada anak ini. Ah, aku bodoh sekali. Diriku kemudian berjongkok lalu menarik tubuh mungil Eca ke dalam pelukanku. Bisa ku tebak, anak itu pasti merasa bingung. "Bu Guru?" "Bu Guru ingin peluk Eca, boleh?" "Boleh. Tapi kenapa, Bu Guru? Apa Ibu sedang sedih?" "Iya. Ibu merasa sedih." Anak ini malah menepuk-nepuk punggungku dengan tangan mungilnya. Seolah sedang menenangkan diriku. Ah, harusnya kamu yang diperlakukan seperti itu, Nak. "Natasha?" Suara baritone tiba-tiba menginterupsi, membuat kami segera melepaskan pelukan ini. Aku pun segera bangkit berdiri setelah tahu siapa yang datang; ayahnya Eca. Pria bertubuh tegap itu berpakaian seperti orang-orang kantoran. Kemeja putih, dasi rapi, dan jas hitam sekaligus celana hitam membalut tubuhnya. Wajahnya terbilang tampan dengan sorot mata tajam mengintimidasi dan alis tebal. Tapi menurutku masih lebih tampan Mas Damian, sih. Menurutku, ya. Tunggu ... kenapa aku malah memperhatikan penampilannya dan membandingkan dengan suamiku? Oh, Airin, lihatlah, pria ini tampak bingung karena melihat kau memeluk anaknya. "Papa!" Sementara itu Eca yang bernama asli Natasha ini langsung tersenyum sumringah dan menghampiri ayahnya. Tentang nama, aku juga bingung kenapa Natasha nama panggilannya malah Eca. Tapi menurutku itu cocok untuknya yang menggemaskan. "Pak," sapaku dengan kikuk. "Saya tadi menemani Eca menunggu jemputan Anda," jelasku sebelum ia bertanya. "Lalu tentang pelukan tadi ...." Aku bingung harus menjelaskan seperti apa untuk yang ini. "Eca memeluk Bu Guru karena Bu Guru sedang sedih!" sahut Eca dengan riangnya. Aku merasa semakin canggung. Kuharap Pak Daniel—ayahnya Eca, tak berpikir aneh-aneh tentangku karena sudah memeluk anaknya seenaknya. Tapi ternyata Pak Daniel hanya menganggukkan kepala lalu kembali fokus ke anaknya. "Sayang, ucapkan terima kasih pada Bu Guru." "Terima kasih, Bu Guru! Besok ketemu lagi, ya! Jangan hilang lagi seperti kemarin!" Aku tertawa mendengarnya. "Sama-sama, Eca. Siap, Ibu tidak akan cuti lagi besok. Sampai ketemu dan hati-hati di jalan, ya." Aku saling memberikan anggukan kepala dengan Pak Daniel sebelum pria itu membawa Eca pulang dengan sedan hitamnya. Setelah itu, aku kembali merogoh handphone di dalam tas. "Astaga, sudah jam 12 ternyata. Aku harus segera pulang," gumamku seraya langsung memesan ojek online. Kuharap aku datang lebih awal dari Mas Damian agar aku sempat memasak untuknya. ... Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan mobil berwarna merah menyala yang terparkir di halaman rumah kami. Aku kenal betul itu mobil Mira. Itu artinya, ibu ada di dalam sekarang. Aku menghela napas berat dan berusaha menyiapkan hati sebelum masuk ke dalam rumahku sendiri. Sejujurnya aku sedikit takut karena khawatir ibu akan marah lagi seperti semalam. "Assalamualaikum," salamku saat memasuki rumah. Kulihat Mas Damian, ibu dan Mira berkumpul di ruang tamu seperti semalam. Mereka tampak sangat serius. Bahkan Mas Damian terlihat tegang. "Waalaikumsalam," balas ibu ketus. Aku tersenyum getir melihatnya. Sikap ibu berubah drastis sejak semalam. Lebih tepatnya sejak ia menyangka diriku mandul. "Duduk di samping Mas, Ai," ujar Mas Damian yang langsung kuturuti. Aku duduk di sampingnya, menghadap ibu yang menatap kami berdua tajam. "Ada apa ini, Mas?" Aku berbisik pada Mas Damian, tapi yang menjawab malah ibu, "Ibu sedang mengenalkan beberapa gadis pada Damian," sahutnya, mengundang kernyitan bingung di keningku. "Untuk apa, Bu?" "Untuk apa? Tentu saja untuk dijadikan istri kedua Damian!" Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga. Napasku tercekat dan kedua mataku membola. Aku begitu syok mendengar perkataan ibu. Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku langsung menoleh padanya dengan masih memasang ekspresi terkejut. "Mas?" panggilku dengan suara bergetar. Ya Allah ... apalagi ini? Setelah berhasil keluar dari ancaman perceraian, sebagai gantinya aku harus menerima dimadu? "Maafkan Mas, Ai. Mas sudah berusaha menolaknya. Tapi Ibu terus memaksa," lirih Mas Damian dengan kepala tertunduk. "Mas!" Jangan begini, Mas ... tolong lebih tegas lah sedikit. Jangan pasrah pada kemauan ibumu. "Airin, kamu itu seharusnya sadar diri!" Ibu kembali menghardik diriku, "kamu itu mandul! Tidak bisa memberikan anak pada Damian! Bagaimana masa depan Damian jika ia tidak punya keturunan?!" "Bu, jangan marah-marah begini," sela Mira. "Diam kamu, Mira. Jangan ikut campur. Ibu sedang berusaha menyelamatkan hidup mas-mu dari wanita mandul ini." hatiku sungguh sakit mendengarnya. Ibu benar-benar mencerca diriku terang-terangan. "Dan kamu, Airin. Apa kamu tidak kasihan pada Damian? Dia tidak akan bisa memiliki keturunan karena kamu! Oleh sebab itu, kamu seharusnya tidak boleh melarang Damian mencari wanita lain yang bisa mengandung anaknya!" "Tapi, Bu ...." "Jika tidak bisa hamil dan memberikan anak pada Damian, setidaknya bantulah dia mencari pengganti dirimu! Kamu itu sudah mandul, Airin! Tidak ada yang bisa diharapkan dari rahim tidak sehatmu itu!" Aku benar-benar merasa terhina di posisi ini. Tapi aku tetap berusaha untuk bertahan demi Mas Damian. Namun, Mas Damian yang hanya bungkam dengan kepala tertunduk tanpa ada niatan membela diriku itu sungguh membuat diriku semakin kecewa. Aku tahu Mas Damian memang lemah di hadapan ibunya. Dari dulu ia selalu menuruti perkataan ibu dan tidak pernah berani melawan. Aku tahu Mas Damian sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Tapi, melihat istrinya sendiri dihina di depannya dan hanya diam saja, itu sungguh keterlaluan. "Pilihannya hanya ada dua, Airin." Ibu kembali berujar, "rela Damian berpoligami atau bercerai. Keputusannya ada di tangan kamu," imbuh ibu memberikan dua pilihan yang mustahil bisa kuterima. Di satu sisi aku sangat mencintai Mas Damian. Aku tidak bisa dan tidak akan rela berpisah dengan suamiku itu. Dan di sisi lain, aku tidak sanggup jika melihat Mas Damian bersama dengan wanita lain. Aku tidak terima jika kasih sayang Mas Damian terbagi dengan istri keduanya nanti. Aku benar-benar terjebak di situasi ini. Apa yang harus kulakukan?"Dengan pria ini lagi, huh? Sebenarnya, apa hubunganmu dengannya? Dia ini benar-benar wali muridmu atau malah selingkuhanmu?"Panik. Itulah yang kurasakan sekarang. Mas Damian yang tiba-tiba berdiri di samping meja kami dengan ekspresi menahan emosi sudah berhasil membuatku menahan napas. Belum lagi pertanyaan menusuknya itu.Namun, belum lagi aku membuka mulut untuk menangkis tuduhannya itu, pak Daniel lebih dulu menyahut, "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Anda salah paham."Pak Daniel tidak akan asal-asalan berbicara seperti waktu itu, 'kan?"Salah paham, huh? Dulu kalian menginap bersama di hotel. Sekarang makan berduaan di sini. Kalian ingin mengelak bagaimana lagi?" Mas Damian tampak geram. Sebelum amarah suamiku itu meledak di tempat umum, aku segera bangkit dari tempat duduk dan ingin meraih tangannya. Namun, tangannya yang satunya lebih dulu diraih Anita. Ah, aku bahkan baru menyadari Anita ada di belakang Mas Damian."Mas, sudahlah. Ayo pergi saja. Kita di sini ingin
Jam baru menunjukkan pukul lima subuh ketika aku berdiri di balkon kamar menatap awan dan alam saling menyentuh. Kabut cukup tebal karena tadi malam hujan deras dan baru reda satu jam yang lalu. Udara begitu dingin. Aku memeluk tubuh yang hanya memakai gaun tidur berbahan satin tanpa lengan. Aku sedikit menggigil, namun ketenangan yang kudapatkan membuatku tetap bertahan di sana.Belakangan ini pikiranku begitu kacau. Aku sering merasa aneh pada perasaanku sendiri yang tak bisa konsisten. Sering kali aku juga meragukan keputusan besar yang kuambil belakangan ini. Ya, apalagi kalau bukan tentang tetap bertahan dengan Mas Damian.Ah, baru saja memikirkannya, suamiku itu tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Lengan kekarnya yang memelukku membuatku merasakan kehangatan. Tubuhku perlahan berhenti menggigil kedinginan."Ai, kenapa berdiri di sini? Udaranya dingin, Sayang," bisiknya lirih. Suaranya terdengar serak dan sepertinya ia masih setengah mengantuk. "Mas lanjut tidur saja. A
"Eca?" panggilku kala melihat seorang anak dengan rambut dikuncir kuda tengah berjongkok di depan gerbang TK. Ia tak menoleh karena sibuk melamun dengan menatap tanah. Aku pun segera menghampiri dan menyentuh pundaknya."Eca, kenapa jongkok di sini, Sayang?" Anak itu akhirnya mendongak dan menatapku. Aku pun segera membantunya bangun. "Ayo duduk di bangku sana saja," ajakku, menariknya lembut ke arah bangku yang disediakan. Aku tak perlu lagi bertanya alasan anak itu masih belum pulang. Wajah mendungnya sudah menjelaskan bahwa ayahnya lagi-lagi telat menjemput. "Sebentar, ya ... mungkin papanya Eca masih di jalan," hiburku sambil merapikan poni anak didikku itu. "Bu Guru akan temani sampai papanya Eca datang. Sekarang Eca lapar tidak? Mau makan dulu?" Anak itu hanya menggeleng sebagai jawaban."Umm ... atau Eca haus? Mau Bu Guru belikan minuman?" pertanyaanku itu lagi-lagi hanya dibalas gelengan kepala olehnya. Merasa Eca sedang tak ingin diajak bicara, akhirnya aku pun memilih bun
Setelah kejadian tadi, aku tak kunjung bangun dari ranjang. Aku memilih berdiam diri di dalam selimut. Berpura-pura tidur setiap kali Mas Damian memanggil dan membujuk agar aku berhenti merajuk.Bagaimanapun juga, perlakuannya tadi sudah sangat keterlaluan. Leherku bahkan masih terasa perih. Aku yakin akan ada jejak kemerahan bekas cekikannya di sana. Belum lagi, aku masih merasa sangat ngilu. Apa ini sudah bisa kusebut tindak kekerasan dalam rumah tangga? Ia seolah ingin membunuhku tadi. Jujur saja, aku bahkan masih sedikit takut padanya. Baru kali ini Mas Damian mengamuk sampai menyakitiku."Airin." Mas Damian memanggil lagi setelah sebelumnya pergi ke kamar mandi. Sepertinya ia sudah selesai membersihkan diri.Merasakan guncangan di ranjang, aku pun semakin mengeratkan peganganku pada selimut. Saat Mas Damian mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajahku, aku lantas segera menutup kedua mata rapat-rapat."Ai ...."Tubuhku menegang saat ia berbisik tepat di depan telingaku. Jantungku
"Mas." Anita menyambut Damian yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu tersenyum manis melihat tubuh kekar suaminya yang masih basah karena bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambutnya. "Mau aku bantu keringkan rambut Mas Mian?""Tidak perlu," tolak Damian begitu saja. Pria itu juga langsung berjalan melewati Anita dan mengambil baju di lemari. Tampak tak mempedulikan keberadaan Anita."Tapi rambut kamu masih basah, Mas. Ayo, biar ku bantu keringkan." Anita kembali menawarkan bantuan. Tapi, Damian malah bertanya hal lain, "Airin sudah pulang?"Ekspresi Anita berubah, namun ia berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. "Tidak tahu, Mas. Tapi sepertinya belum.""Ah, dia pasti sangat marah hingga bermalam di hotel. Aku harus segera menjemputnya," gumam Damian penuh keresahan. Pria itu memilih asal pakaiannya dan segera dibawa menuju kamar mandi."Kenapa masuk ke kamar mandi lagi, Mas?""Kamu tidak lihat? Aku ingin mengenakan pakaian.""Astaga, di sini saja, Mas. Kita 'kan sudah me
Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil