Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video?
“Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejenak setelah mengiyakan perintah Mama. Setelah itu, aku membalas pesan Barra, tak lama kemudian ponselku berdering. “Halo, maaf mengganggu waktu istirahat Dokter Rumi,” ucap Barra saat aku sudah mengangkat telepon. “Iya, ngak papa. Ada apa ya?” “Zain sejak tadi nangis terus, kata suster tadi siang dia mau diam waktu sama Dokter. Apa sekarang saya bisa bertemu?” Mama dengan rasa penasarannya sudah di ubun-ubun, akhirnya ikut bergabung dalam panggilan video ini. Barra menyapa Mama dengan sopan dan meminta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat kami. “Sekarang Zain-nya di mana, Nak?” tanya Mama saat mendengar suara tangisan bayi. Barra mengarahkan kamera pada Zain yang sedang menangis dalam gendongan suster. Aku saling pandang dengan Mama seolah berkata ‘kasihan sekali, anak sekecil itu pasti butuh dekap hangat seorang ibu.’ “Bisa antar Zain kemari, Nak? Biar Rumi yang menenangkannya. Tante ngak tega lihat dia nangis kayak gitu,” ujar Mama dengan wajah sedihnya. Mama ini sangat sensitif sekali hatinya. Barra mengangguk cepat dan mengiyakan perintah Mama. Dia bergegas berangkat ke sini setelah aku mengirim alamat rumahku. “Kok Mama malah nyuruh Barra datang ke sini sih?” Mama mengelap matanya yang sudah mengembun. “Mama sedih, gak tega lihat Zain kayak gitu.”“Terus nanti gimana?” “Gimana apanya?” “Ya, gimana kalau Zain sudah sampai sini?” “Mama bakal timang-timang lah!” jawab Mama dengan santai. Beliau pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi sebelum Barra dan Zain datang. Mama juga menyuruh ku melakukan hal yang sama. Oh tidak! Padahal aku sudah memakai skincare malam! Kenapa pula harus cuci muka dan gosok gigi lagi? Bibik mengetuk pintu kamar, mengatakan jika ada tamu yang datang ingin bertemu denganku. Sudah bisa dipastikan itu Barra. “Ma ...” panggilku pada Mama yang masih di dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja perut beliau mules katanya. “Iya, bentar!” “Rumi ke bawah dulu ya? Kayaknya Barra sudah datang.” “Iya, nanti Mama nyusul,” ucap beliau dengan berteriak agar aku dapat mendengarnya. Aku langsung turun ke bawah. Ketika sampai di ujung tangga sudah terdengar tangisan bayi. Aku mempercepat langkah agar segera bertemu dengan Zain. “Sayang, kenapa?” Aku mengambilnya dari gendongan suster. Hatiku sangat sakit ketika melihat wajah Zain yang sangat merah. Pasti karena terlalu lama menangis. “Anak pintar. Kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku pada Zain. Meskipun dia belum bisa mengerti apa yag aku katakan. Aku tetap berusaha berinteraksi dengannya. “Sudah ya nangisnya.” Aku mengusap air matanggunakan tisu yang ada di meja. Dan, alangkah takjubnya aku ketika Zain berhenti menangis. Padahal belum aku apa-apakan. Aku mendaratkan bokong di sofa single sebelah tempat duduk Barra. Sejak tadi dia hanya diam memperhatikanku ketika mengajak bicara Zain. “Susunya mana sus?” Dengan cekatannya suster memberikan botol susu Zain padaku. “Loh ada tamu?” ucap Mama. Barra berdiri menyalami Mama. “Barra, Tante. Maaf sudah larut malam datang bertamu.” “Iya gak papa,” jawab Mama dengan wajah penuh antusias. Kedua matanya berbinar saat melihat bayi mungil dipangkuanku. “Ganteng banget!” seru Mama dengan menjawil pipi Zain. Zain membalas dengan senyuman, matanya mengerjap lucu. Membuat aku dan Mama terkekeh pelan. “Eh, senyum-senyum si adek,” ucap Mama dengan menggenggam tangan mungil Zain. “Sejak kapan nangisnya ini, Nak?” tanya Mama pada Barra. “Sejak sore tadi, Tan. Setelah bangun tidur Zain menangis sampai sekarang baru berhenti,” jawab Barra dengan wajah lelahnya. Mama menghela nafas. “Jangan di biasakan ya! Badannya ngak anget tapi kenapa nangis terus?” kali ini suster Zain yang menjadi sasaran Mama. Suster Zain menggeleng dengan wajah tak kalah lelahnya. “Saya juga tidak tau, Bu. Sejak Zain umur sebulan sudah sering menangis. Tapi baru beberapa hari ini kalau nangis susah berhenti,” terang suster pada Mama. Karena asik menyimak obrolan Mama dengan Barra dan Suster. Aku tidak sadar Zain telah terlelap. “Eh, bobok?” Semua orang melihat ke arahku. “Gampang begini boboknya?” tanya Mama sambil mengelus pipi Zain. “Terus ini gimana?” aku melihat ke arah Mama. Dengan mengulum senyum Mama menatap Barra. “Nak Barra, bagaimana kalau malam ini Zain menginap di sini?” “Ma ...” tegurku lirih. Namun, diabaikan begitu saja oleh Mama. Sedangkan Barra masih terlihat bimbang dengan permintaan Mama. “Apa tidak merepotkan Tante dan Dokter Rumi?” Mama menggeleng kemudian menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja tidak!” Mama melihatku. “Benarkan, Sayang?” tanyanya dengan mengedipkan sebelah matanya. Dasar Mama! “Iya, ngak papa. Takutnya nanti kalau Zain tiba-tiba bangun nangis lagi,” jawabku pasrah. Dengan senyum cerah-ceria Mama mengambil Zain dari pangkuanku. Beliau mengatakan jika akan membawa Zain ke kamar. Padahal Barra saja belum mengiyakan permintaannya. “Ma ...” Tegur ku lagi pada Mama. “Bolehkan, Nak Barra?” Dengan senyum kikuk Barra mengangguk. “Boleh, Tante. Maaf saya merepotkan lagi.” “Gak repot kok,” jawab Mama cepat. “Kalau begitu, saya bawa Zain naik ke atas ya?” Setelah kepergian Mama dan Zain, entah kenapa suasana menjadi sangat canggung. Bingung mau bicara apa. “Anda dan Suster mau menginap juga?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. “Oh, sebaiknya saya pulang saja. Biar suster yang menginap.” Aku mengangguk. “Baiklah, kalau begitu saya pamit sebentar mau minta tolong bibik buat siapin kamar tamu.” “Dok ...” panggil Barra sebelum aku pergi ke belakang. “Iya?” “Saya pamit dulu ini sudah sangat malam. Dokter Rumi juga butuh istirahat, saya titip Zain ya. Nanti semua keperluannya langsung minta sama suster.” “Iya, mari saya antar ke depan,” ucapku dengan sopan. “Oh, iya Sus. Tunggu sebentar ya. Nanti saya tunjukkan kamar buat sus.” Suster mengangguk dan tersenyum. Aku mengantar Barra sampai ke teras rumah. Aku memanggil satpam agar membantu membuka gerbang. “Saya pamit dulu, Dok. Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan Dokter dan Tante.” “Iya, ngak papa. Mama juga antusias banget tadi ‘kan?” Barra tersenyum. Entah kenapa senyumannya terlihat sangat manis. Apakah efek mengantuk membuat penglihatanku berkurang? “Udah pengen Cucu. Pasti senang karena dapat kiriman Cucu” “Hah?”Aku berdiri di ambang pintu dapur, mengamati keramaian di halaman belakang rumah. Aroma sate kambing dan nasi kebuli sudah memenuhi udara. Suara tawa dan obrolan para tamu bercampur dengan suara anak-anak yang berlarian. Hari ini adalah aqiqah Zivanya. Seharusnya aku merasa bahagia—dan memang begitu. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mataku mencari sosok Zain. Dia duduk di kursi kecil di sudut halaman, memeluk boneka dinosaurusnya erat-erat. Wajahnya... tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang paling antusias saat ada tamu, berlarian kesana kemari, bercerita tentang dinosaurus kesukaannya pada siapa saja yang mau mendengar. Tapi hari ini berbeda. Aku melihat bagaimana Zivanya berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain. Para tamu antri untuk menggendongnya, mencium punggung tangannya, berkata betapa lucunya si bungsu ini. Dan aku melihat bagaimana pandangan Zain mengikuti setiap gerakan adiknya—pandangan yang perlahan berubah dari kebanggaan menjadi... kesedihan. "Zain
Langit pagi ini mendung, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berjalan perlahan menuju taman belakang rumah, merasakan beban di perutku yang semakin berat. Minggu ke-38. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan putri kecilku. Taman masih basah oleh embun, dan bunga-bunga lavender kesayanganku bermekaran seperti biasa. Aku mengusap perutku sambil tersenyum kecil. Damai. Inilah yang kurasakan—kedamaian sebelum badai. Aku meraih ember kecil untuk menyiram bunga lavender. Tapi entah mengapa, langkah kakiku tergelincir. Seketika dunia terasa jungkir balik. Ember terlempar, air menyiprat kemana-mana dan tubuhku terhempas ke tanah dengan keras. Nafasku tertahan, rasa sakit menjalar dari pinggang hingga ke seluruh tubuh. Tanganku reflek memegang perutku yang kini terasa sangat tegang. "Mas Barra—" suaraku lemah. Panik menyelimuti diriku. Napasku mulai pendek. Aku tahu ada yang tidak beres dengan bayiku. Dari dalam rumah, kudengar langkah kaki berlari. Barra berlari keluar dengan mata
Acara ulang tahun Zain berjalan dengan lancar. Sepanjang acara wajahnya berseri-seri penuh binar bahagia. Belum pernah dia sebahagia ini— semua itu karena diulang tahunnya kali ini mendapatkan kado istimewa. Aku sempat turun sebentar saat acara tiup lilin dan potong kue. Meski kepala rasanya berputar-putar dan tubuh terasa lemas. Semua yang aku lakukan ini demi melihat Zain tersenyum lebar. Dia mulai sekolah dan kini memiliki banyak teman. Dengan bangganya aku mengatakan jika dia putraku pada semua tamu undangan. Saat itu, dia langsung memelukku erat. Usianya memang baru 4 tahun— namun Zain sangat peka dengan perasaan orang disekelilingnya. Dia paham jika aku butuh pelukan karena terbawa suasana haru. “Rum, aku titip Adek ya. Ada masalah di butik jadi aku harus segera ke sana. Gak mungkin aku bawa Letta karena dia sedang demam,” ujar Gista setelah masuk ke dalam kamarku. “Iya, bawa sini si cantik. Jangan diajak keliling dunia dulu. Kasihan masih kecil,” jawabku. Oh, iya— setelah
Ulang tahun Zain yang ke empat dirayakan sangat meriah karena dia sudah mulai sekolah. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan penyayang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan besar dari anak seusianya— hingga banyak yang mengira dia sudah berusia 6 tahun.Di sekolah banyak sekali teman perempuan yang sengaja mendekatinya. Ada yang membawakannya bekal, bunga segar dan mainan. Namun, Zain tak mau menerimanya. Menolak dengan nada halus dan alasannya Maminya melarangnya menerima hadiah jika bukan hari ulang tahunnya.Zain itu ibarat calon pria soft spoken. Tak hanya teman kelasnya— anak perempuan yang tinggal di komplek perumahan saja sering datang untuk mengungkapkan cinta. Padahal mereka sudah duduk dibangku SD.Sungguh pesona Mas Barra menurun pada putranya. Tidak hanya wajah yang mirip tapi sifat dan kelakuan pun sama persis. “Sayang, kok kelihatan makin pucat ya,” ujar Mas Barra setelah selesai memakai pakaian. Kami sedang bersiap untuk menyambut para tamu undangan. “Kayaknya b
Zain senang sekali bermain bersama anak-anak seusianya. Meski keringat telah membasahi sekujur tubuhnya— dia tidak mau berhenti barang sejenak.Untungnya aku sudah menyuapinya lebih dulu. Jadi aku bisa tenang saat dia aktif bermain di Playground.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Selama aku di sini cuaca memang kurang bersahabat. Pagi cerah, siang panas, pas sore hari hujan turun beserta angin.Mas Barra mencari cafe yang sangat nyaman. Meski guntur terdengar bersahutan tak membuat Zain ketakutan. Dia tetap asik bermain dengan teman-teman barunya."Kalau hujannya tidak reda Pak supir akan menjemput kita," ujar Mas Barra ketika aku sedang memperhatikan Zain."Kayaknya sih gak bakal reda sampai malam. Langitnya tambah gelap. Entah ini karena sudah petang atau memang mendung," balasku. "Keduanya benar. Sudah petang dan langit sedang mendung. Nanti malam bakal tidur nyenyak. Karena cuaca sangat dingin," lanjut Mas Barra.Ngomong-ngomong soal cuaca dingin mengingatkanku pada kelakuan Si
Seperti yang aku katakan pada Kevin saat sarapan tadi— seharian ini aku menghabiskan waktu dengan suami dan anakku di dalam kamar hotel. Aku dan Mas Barra ingin quality time dengan anak ganteng karena sering meninggalkannya bekerja. Meski hanya bermain di dalam ruangan— Zain terlihat sangat bahagia sekali. Dia bahkan tak mau tidur siang karena takut ditinggal Papinya. Kebiasaan Mas Barra jika anaknya sedang mode manja. Padahal aku sudah menjelaskan pada Zain jika Papi dan Maminya tidak akan pergi. Kami akan ikut tidur dan memeluknya sepanjang waktu.Sayangnya Zain sudah tidak percaya. Karena aku dan Mas Barra sering membohonginya. Berkata jika akan menemaninya tidur nyatanya meninggalkannya untuk bekerja.Akhirnya, Mas Barra menggendongnya. Menimang-nimang sambil membacakan sebuah dongeng. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Rasanya aku ingin memperpanjang liburan supaya memiliki waktu berkualitas dengan keluarga kecilku. “Aku tinggal berkemas gapapa ‘kan, Mas?”“Buat apa b