Share

Bab 3.

Penulis: Syamwiek
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-02 18:53:07

Gista menunjuk Zain sebagai jawaban. Terpaksa aku memiringkan tubuh kecil Zain agar pria itu dapat melihat wajah anaknya.

Barra menghembuskan nafas lega. Wajah panik sekaligus khawatir kini sudah tidak terlihat lagi.

“Suster Zain kemana, Dok?” tanyanya dengan mendekat ke arahku.

“Suster Zain, saya suruh pergi makan siang, Pak. Mumpung Zainnya tenang digendong sama Dokter Narumi,” jawab Gista.

“Nama saya Barra Dayyan jauhar. Panggil saja Barra.” Dia mengulurkan tangannya pada Gista.

“Saya, Gista. Dokter anak yang menangani Zain.” Barra melihat ke arahku. “Kalau ini Dokter Narumi. Dia Dokter kandungan. Kebetulan lagi main ke ruangan saya. Sekalian bantuin jaga Zain,” terang sahabatku.

Barra berjongkok di hadapanku. Dia mengelus pipi Zain lalu menciumnya. “Terima kasih sudah mau menjaga Zain,” ucapnya lirih.

Aku mengangguk. Mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak sangat cepat. “Sama-sama, Pak.”

“Boleh, kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Dokter Narumi.”

“Apa?”

“Saya ingin meminta maaf karena telah salang sangka dengan Dokter.”

“Bapak ingat saya?” Aku tidak menyangka jika Barra masih ingat denganku.

“Tentu saja. Bagaimana?”

Aku melihat ke arah Gista. Dia mengangguk. “Baiklah, tapi setelah pulang kerja.”

Barra tersenyum membuatku semakin tak nyaman berada di dekatnya.

Aku bergegas pamit kembali ke ruangan ketika suster Zain sudah datang.

***

“Jangan lupa titipan Rumi. Gak mau tau pokoknya harus dibelikan!” ucapku saat mengakhiri telepon dari Kak Ravi.

Sudah satu minggu Kak Ravi dan Papa mengunjungi proyek yang ada di Papua. Aku minta oleh-oleh tas noken dalam jumlah banyak.

Rencananya aku akan membagikan tas itu pada anak-anak panti dan pengurusnya. Setiap akhir pekan aku akan berkunjung ke panti asuhan milik keluargaku. Disana aku bisa berbagi canda dan tawa dengan anak-anak kecil yang sangat lucu.

“Maaf telat. Sudah nunggu lama ya?” ucap Barra dengan wajah sungkan. Aku sudah menunggunya lebih dari satu jam.

“Lumayan.” Awalnya aku ingin mengomel. Dia yang mengajak bertemu malah datang telat. Namun, setelah melihat wajah lelahnya aku mengurungkan niatku.

“Sekali lagi saya minta maaf. Ada sedikit masalah di kantor. Saya harus menyelesaikannya lebih dulu,” ujarnya lagi sambil mengatur nafas.

“Iya, Gapapa. Mau pesan minum dan makanan?” aku menawarinya terlebih dahulu. Sepertinya selain lelah dia juga lapar. Kebiasaan pengusaha sukses ya gitu. Pekerjaan lebih penting dari makan. Kalau belum masuk rumah sakit pasti tidak akan ada waktu untuk istirahat.

“Minuman yang segar. Gerah banget!”

“Ngak, makan?”

“Tidak usah. Saya masih kenyang.”

Aku mengangguk. Lalu pergi menuju kasir untuk memesankan minuman. Di cafe ini mempunyai sistem pesan langsung bayar.

“Mau bicara apa?” tanyaku setelah kembali duduk.

“Sebelumnya saya ingin meminta maaf atas tindakan kasar yang saya lakukan di hari kematian Divya. Waktu itu, pikiranku sedang kacau dan …”

Ucapan Barra terjeda saat pelayan mengantarkan pesanan. Sebelum dia melanjutkan obrolan aku memintanya minum lebih dulu.

“Bukannya saat itu kita belum pernah bertemu?”

“Sebenarnya saya sudah tahu mengenai kehamilan Divya. Karena dia tidak mau jujur terpaksa saya membayar orang untuk mengikutinya,” Barra menjeda kalimatnya untuk menarik nafas. Sepertinya kenangan buruk soal adiknya belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. “Waktu Divya pergi kerumah sakit saya kira sedang cek kandungan. Tapi orang suruhan saya mengatakan jika dia menemui seorang Dokter yang merebut kekasihnya. Itu informasi yang saya terima. Lalu saya menyuruh orang untuk mencarikan semua informasi mengenai anda.”

“Langsung percaya begitu saja tanpa mengkonfirmasi kebenarannya? Sekelas pengusaha sukses seperti Pak Barra bertindak seperti itu sungguh miris sekali. Untung saja saya tidak melapor pada pihak berwajib.”

Barra menghela nafas panjang. Pasti dia malu karena berbuat kasar pada orang yang sudah membantu adiknya. Aku tidak dendam padanya hanya sedikit kecewa dengan sikap tledornya.

“Ternyata saya salah besar. Informasi yang saya dapatkan justru berbanding terbalik dengan fakta yang sebenarnya. Seharusnya saya meminta maaf pada Dokter Rumi atas kesalahan Divya.”

Karena masalah telah berlalu dan akupun sudah move on dari Daffa tidak ada alasan untuk tidak memaafkan Barra. “Iya, saya sudah memaafkan anda sejak lama.”

Dia tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya dengan tulus.

“Kalau begitu sudah selesai ‘kan masalahnya? Saya boleh pamit pulang?”

Barra seperti ingin menyampaikan sesuatu lagi. Namun dia mengurungkan niatnya. Mungkin karena aku sudah terlanjur pamit. “Iya, sudah. Maaf mengganggu waktu istirahat Dokter Rumi dan terima kasih untuk semuanya.”

Saat di perjalanan pulang tiba-tiba aku teringat dengan Zain. Bayi mungil itu seperti kurang kasih sayang hingga rewel terus.

Kenapa dia diasuh oleh Babysitter? Lalu kemana Kakek dan Neneknya?’

Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi memikirkan hal itu?

***

Toktoktok!

“Rumi ...”

Suara mama terdengar begitu aku selesai mandi dan bersiap tidur.

“Iya, Ma. Masuk aja ngak dikunci!” 

“Belum tidur, Sayang?” tanya Mama begitu masuk.

“Belum, Ma. Masih nonton film. Nanggung tinggal dikit.”

Mama naik ke atas ranjang lalu berbaring di sebelahku. Tujuannya kemari pasti karena takut tidur sendirian.

“Malam ini Mama bobok di sini ya?” ucapnya dengan memeluk guling.

Aku melihat ke arah Mama dengan kedua alis terangkat ke atas. “Tumben, ada apa Ma?”

“Mama takut tidur sendirian?”

“Ha?” Tuh ‘kan bener dugaanku. Pasti Mama habis dapat cerita seram dari tetangga. Sudah tahu penakut masih suka dengerin cerita horor.

“Tadi Bu RT cerita sama Ibu-Ibu waktu belanja. Katanya di dapur rumahnya ada bayangan aneh.”

“Iya, itu ‘kan di rumah Bu RT. Kalau di rumah kita aman. Gak ada yang namanya hantu. Hantunya udah Rumi usir semua.”

“Bisa saja hantunya main ke rumah kita. Tinggal nyebrang jalan langsung sampai.”

“Mana ada sih hantu main ke rumah tetangga? Yang ada Mama yang suka main ke rumah tetangga. Malah nyalahin hantu!”

“Pokoknya malam ini Mama mau bobok sama kamu!” seru Mama sambil menekuk wajahnya.

Aku tertawa melihat ekspresi memelas Mama. Tadi, aku hanya bercanda saja. Tidak mungkin aku tega mengusir beliau dari kamarku. Bisa di pecat aku sebagai anak. “Iya, Mama sayang. Boleh kok bobok di sini.”

Mama tersenyum. Jenis senyuman yang menjadi favorit suami dan kedua anaknya. “Makasih, sayangnya Mama.”

Aku mematikan televisi setelah film yang kutonton selesai. Lalu, berbaring dan memeluk Mama. Selalu nyaman dan membuat hati tenang jika berada di dekat malaikat tak bersayapku.

“Ma, Rumi mau cerita.”

“Cerita apa Sayang? Apakah Mama akan segera punya calon menantu?”

“Idih ...” aku mencebikkan bibir. Mama kalau diajak serius ujung-ujungnya pasti minta mantu. “Serius dong, Ma!”

“Iya, iya. Jadi mau cerita apa?” tanya Mama. Tangan halus beliau membelai lembut kepalaku.

“Tadi siang Rumi ketemu sama anaknya Daffa.”

“Kok bisa?”

“Waktu Rumi main ke ruangan Gista ada bayi mungil sedang demam tinggi ...”

Aku menceritakan pertemuan tak terduga dengan Zain dan Barra. Tak hanya itu saja, aku pun menceritakan soal permintaan maaf Barra. Semua yang terjadi dalam hidupku Mama pasti tahu. Karena aku tidak bisa menyimpan rahasia dari beliau. Sedekat itu hubungan kami.

“Anak Daffa namanya Zain?”

“Iya, Ma. Ganteng banget anaknya. Tapi kasian, Ma. Tubuhnya kurus dan sering menangis. Gista bilang sudah diberi vitamin tapi masih gak nambah beratnya badannya.”

“Memang dia punya suster yang tulus menyayanginya. Tapi, kasih sayang keluarga beda dengan orang lain. Mungkin Zain bisa merasakan perbedaan itu meski masih bayi.”

Aku mengeratkan pelukanku pada Mama. “Makasih ya, Ma.”

Mama mengernyitkan kening. Pasti beliau bingung dengan ucapan random ku. “Untuk apa?”

“Semuanya. Meski sudah besar Mama masih suka manjain Rumi, masakin makanan enak, peluk saat bobok dan masih banyak lainnya. Pokoknya terima kasih aja deh ...”

Saking gemesnya dengan ku Mama sampai menarik hidung ku cukup kencang. “Iya, sayang. Kembali kasih. Mama sayang sama kalian semua,” ucapnya sambil mencium kedua pipiku.

Aku dan Mama membicarakan hal random karena belum mengantuk. Meski sudah berumur beliau selalu asik diajak membicarakan artis-artis korea. Setiap kali ada drakor baru pasti aku mengajaknya menonton bersama. Jadi, selalu nyambung saat aku mereview drakor yang masih on going.

Oh, iya. Ngomong-ngomong soal Kak Ravi. Dia menggerutu karena setiap jam aku mengingatkannya soal oleh-oleh. Aku sampai tak kuasa menahan tawa ketika membayangkan wajah kesal Kak Ravi saat membeli tas dalam jumlah banyak.

“Kenapa senyum-senyum sendiri?”

“Ingat Kakak.”

“Kamu jahil sekali. Besok kalau di balas Kakak jangan nangis.”

“Gak janji kalau itu, Ma.”

Ting ... terdengar pesan masuk di ponselku.

“Dokter Rumi. Apa saya bisa video call sekarang?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
siapa yg ngajak vc
goodnovel comment avatar
Dilla dilawan
melow bgt ga sih rum...
goodnovel comment avatar
Ovy Azza
hei... spa tuh yg ngajak vc, Barra kah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Ekstra Part 4

    Aku berdiri di ambang pintu dapur, mengamati keramaian di halaman belakang rumah. Aroma sate kambing dan nasi kebuli sudah memenuhi udara. Suara tawa dan obrolan para tamu bercampur dengan suara anak-anak yang berlarian. Hari ini adalah aqiqah Zivanya. Seharusnya aku merasa bahagia—dan memang begitu. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mataku mencari sosok Zain. Dia duduk di kursi kecil di sudut halaman, memeluk boneka dinosaurusnya erat-erat. Wajahnya... tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang paling antusias saat ada tamu, berlarian kesana kemari, bercerita tentang dinosaurus kesukaannya pada siapa saja yang mau mendengar. Tapi hari ini berbeda. Aku melihat bagaimana Zivanya berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain. Para tamu antri untuk menggendongnya, mencium punggung tangannya, berkata betapa lucunya si bungsu ini. Dan aku melihat bagaimana pandangan Zain mengikuti setiap gerakan adiknya—pandangan yang perlahan berubah dari kebanggaan menjadi... kesedihan. "Zain

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Ekstra Part 3

    Langit pagi ini mendung, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berjalan perlahan menuju taman belakang rumah, merasakan beban di perutku yang semakin berat. Minggu ke-38. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan putri kecilku. Taman masih basah oleh embun, dan bunga-bunga lavender kesayanganku bermekaran seperti biasa. Aku mengusap perutku sambil tersenyum kecil. Damai. Inilah yang kurasakan—kedamaian sebelum badai. Aku meraih ember kecil untuk menyiram bunga lavender. Tapi entah mengapa, langkah kakiku tergelincir. Seketika dunia terasa jungkir balik. Ember terlempar, air menyiprat kemana-mana dan tubuhku terhempas ke tanah dengan keras. Nafasku tertahan, rasa sakit menjalar dari pinggang hingga ke seluruh tubuh. Tanganku reflek memegang perutku yang kini terasa sangat tegang. "Mas Barra—" suaraku lemah. Panik menyelimuti diriku. Napasku mulai pendek. Aku tahu ada yang tidak beres dengan bayiku. Dari dalam rumah, kudengar langkah kaki berlari. Barra berlari keluar dengan mata

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Ekstra Part 2

    Acara ulang tahun Zain berjalan dengan lancar. Sepanjang acara wajahnya berseri-seri penuh binar bahagia. Belum pernah dia sebahagia ini— semua itu karena diulang tahunnya kali ini mendapatkan kado istimewa. Aku sempat turun sebentar saat acara tiup lilin dan potong kue. Meski kepala rasanya berputar-putar dan tubuh terasa lemas. Semua yang aku lakukan ini demi melihat Zain tersenyum lebar. Dia mulai sekolah dan kini memiliki banyak teman. Dengan bangganya aku mengatakan jika dia putraku pada semua tamu undangan. Saat itu, dia langsung memelukku erat. Usianya memang baru 4 tahun— namun Zain sangat peka dengan perasaan orang disekelilingnya. Dia paham jika aku butuh pelukan karena terbawa suasana haru. “Rum, aku titip Adek ya. Ada masalah di butik jadi aku harus segera ke sana. Gak mungkin aku bawa Letta karena dia sedang demam,” ujar Gista setelah masuk ke dalam kamarku. “Iya, bawa sini si cantik. Jangan diajak keliling dunia dulu. Kasihan masih kecil,” jawabku. Oh, iya— setelah

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Ekstra Part 1

    Ulang tahun Zain yang ke empat dirayakan sangat meriah karena dia sudah mulai sekolah. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan penyayang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan besar dari anak seusianya— hingga banyak yang mengira dia sudah berusia 6 tahun.Di sekolah banyak sekali teman perempuan yang sengaja mendekatinya. Ada yang membawakannya bekal, bunga segar dan mainan. Namun, Zain tak mau menerimanya. Menolak dengan nada halus dan alasannya Maminya melarangnya menerima hadiah jika bukan hari ulang tahunnya.Zain itu ibarat calon pria soft spoken. Tak hanya teman kelasnya— anak perempuan yang tinggal di komplek perumahan saja sering datang untuk mengungkapkan cinta. Padahal mereka sudah duduk dibangku SD.Sungguh pesona Mas Barra menurun pada putranya. Tidak hanya wajah yang mirip tapi sifat dan kelakuan pun sama persis. “Sayang, kok kelihatan makin pucat ya,” ujar Mas Barra setelah selesai memakai pakaian. Kami sedang bersiap untuk menyambut para tamu undangan. “Kayaknya b

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 55

    Zain senang sekali bermain bersama anak-anak seusianya. Meski keringat telah membasahi sekujur tubuhnya— dia tidak mau berhenti barang sejenak.Untungnya aku sudah menyuapinya lebih dulu. Jadi aku bisa tenang saat dia aktif bermain di Playground.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Selama aku di sini cuaca memang kurang bersahabat. Pagi cerah, siang panas, pas sore hari hujan turun beserta angin.Mas Barra mencari cafe yang sangat nyaman. Meski guntur terdengar bersahutan tak membuat Zain ketakutan. Dia tetap asik bermain dengan teman-teman barunya."Kalau hujannya tidak reda Pak supir akan menjemput kita," ujar Mas Barra ketika aku sedang memperhatikan Zain."Kayaknya sih gak bakal reda sampai malam. Langitnya tambah gelap. Entah ini karena sudah petang atau memang mendung," balasku. "Keduanya benar. Sudah petang dan langit sedang mendung. Nanti malam bakal tidur nyenyak. Karena cuaca sangat dingin," lanjut Mas Barra.Ngomong-ngomong soal cuaca dingin mengingatkanku pada kelakuan Si

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 54

    Seperti yang aku katakan pada Kevin saat sarapan tadi— seharian ini aku menghabiskan waktu dengan suami dan anakku di dalam kamar hotel. Aku dan Mas Barra ingin quality time dengan anak ganteng karena sering meninggalkannya bekerja. Meski hanya bermain di dalam ruangan— Zain terlihat sangat bahagia sekali. Dia bahkan tak mau tidur siang karena takut ditinggal Papinya. Kebiasaan Mas Barra jika anaknya sedang mode manja. Padahal aku sudah menjelaskan pada Zain jika Papi dan Maminya tidak akan pergi. Kami akan ikut tidur dan memeluknya sepanjang waktu.Sayangnya Zain sudah tidak percaya. Karena aku dan Mas Barra sering membohonginya. Berkata jika akan menemaninya tidur nyatanya meninggalkannya untuk bekerja.Akhirnya, Mas Barra menggendongnya. Menimang-nimang sambil membacakan sebuah dongeng. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Rasanya aku ingin memperpanjang liburan supaya memiliki waktu berkualitas dengan keluarga kecilku. “Aku tinggal berkemas gapapa ‘kan, Mas?”“Buat apa b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status