Share

7 - GULAT

Bagai mendapat oase di padang pasir, Banyu merasa lega melihat Saimah dan Marno kini tengah memakan singkong goreng di pos jaga. Pria itu merasa terselamatkan karena ada orang lain yang bisa membuatnya mengalihkan perhatian dari suara desahan yang sudah mengkontaminasi otaknya.

Mereka terlihat bercengkrama hangat sambil tertawa-tawa kecil. Entah obrolan apa yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka, tapi renyah tawa Saimah dan Marno membuat Banyu ingin ikut mengobrol dengan para pekerja vilanya yang diketahui Banyu baru bekerja tiga tahun di vila miliknya.

“Mbok, Pak,” sapa Banyu yang selanjutnya duduk di samping Saimah tanpa ragu.

“Lho, Mas banyu. Ada apa? Butuh Apa?” tanya Mbok Saimah sigap.

“Butuh temen ngobrol, Mbok. Di dalem panas,” ucap Banyu dengan tangan yang sudah mencomot sepotong singkong goreng di tangannya.

“Panas? Kenapa Mas? Ooh.. do berantem yo, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengerlingkan mata malas.

“Gulat, Mbok.”

Lho! Kok gak dipisah toh? Piye sih, Mas Banyu!”

“Gak bisa di pisah Mbok,” ucap Banyu sambil melanjutkan misinya mengunyah singkong goreng demi menahan perih lambung karena lapar. Setidaknya ia harus menahan rasa lapar itu sampai satu jam ke depan.

“Gak bisa di pisah piye toh, Mas!” ucap Mbok Saimah yang dengan tergesa segera masuk ke dalam rumah.

Marno yang sudah panik dan akan ikut menyusul Saimah ditahan oleh Banyu.

“Gulat di ranjang, Pak. Gak bisa di pisah. Nanti ngamuk,” ucap Banyu sambil mengunyah singkong goreng yang ternyata masih panas. Sesekali ia membuka mulutnya dan mengeluarkan uap-uap panas dari mulutnya.

“Ealah, Mas..” hanya itu yang diucapkan Pak Marno. Selanjutnya pria berkumis itu kembali duduk dan meminum kopinya untuk menenangkan jantungnya yang tadi sempat kacau mendengar kata Lila bergulat dengan suaminya.

Saat keduanya sedang bersantai, Mbok Saimah berjalan cepat dengan wajah jengkel.

“Oalah, Mas! Tak kira gulat tenanan lho! Aduh, jantungku wes meh copot rasane,” dumel Saimah yang membuat Marno dan Banyu jadi terkekeh geli karena wajah jengkel dan tak habis pikir atas kelakuan Lila dan Dimas.

“Sering gitu ya, Mbok?” tanya Banyu.

“Apa? Bergulat toh, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengejek.

Banyu hampir saja menyemburkan minuman kopi yang ia teguk. Mbok Saimah benar-benar sangat frontal pikir Banyu.

Melihat sikap Banyu, kini giliran Saimah dan Marno yang terkekeh geli.

“Ya kalau sering apa enggak, ya gak tahu Mas. Kalau bersuara ya– baru kali ini. Ya kan, No?” ucap Saimah masih dengan senyuman geli di wajahnya.

Marno hanya mengangguk saja tanda menyetujui ucapan Saimah.

“Syukur kalau mereka akur,” ucap Banyu lirih, namun tetap bisa didengar oleh Saimah dan Marno.

Senyuman menggoda dari Saimah dan Marno seketika luntur. Rasa syukur seolah juga mereka aminkan. Saat Lila dan Dimas akur seperti ini. Keduanya berharap tidak ada lagi pertengkaran seperti tadi pagi diantara dua anak muda yang sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri.

“Mas Banyu pasti kaget lihat yang tadi pagi ya?” tanya Saimah memastikan.

Banyu mengangguk. “Kaget, Mbok. Kaget Lila nikah, kaget Lila hamil, dan kaget suaminya ternyata gak seperti yang ada di bayanganku,” jelas Banyu.

“Pasti Mas Banyu sudah kenal Dimas sama Lila dengan baik ya? Sudah sepuluh tahun ikut keluarga Bapak Ibu lho,” selidik Saimah.

“Saya cuma tahu Lila, Mbok. Dia teman kecil saya yang menyenangkan. Saya gak pernah lihat Lila nangis. Bahkan saat jatuh, dia bisa berdiri sendiri dan gak nangis. Ternyata waktu merubah segala ya, Mbok”

“Yo jelas, Mas. Namanya juga hidup. Tiga tahun ini gak ketemu Mas Banyu aja, Buanyak bianget yang terjadi sama Lila. Lila itu hebat banget, sopan, santun, bisa menempatkan diri, pinter lho, Mas. Hitung-hitungannya bagus. Mirip kalkulator berjalan,” cerita Saimah dengan menggebu-gebu.

“Iya, Mbok. Lila ini pinter banget. Sayang banget dia gak mau nerusin sekolahnya. Aku yakin Lila bisa jadi orang hebat kalau dia mau mengembangkan dirinya,” ucap Banyu dengan sendu.

“Iya, sebenarnya sayang banget, Mas. Cuma Mbok bisa ngerti. Untuk Lila, dunia yang kecil ini sudah cukup, Mas. Rasa syukurnya yang berlimpah membuat dia mencukupkan diri untuk berbakti dengan Bapak Ibu. Sampai waktu nikah, dia minta restu Bapak Ibu lho, Mas. Bapak Ibu sampai nangis. Lila bener-bener dianggap anaknya sendiri. Kayak nggak rela Lila nikah. Padahal ya bukan orang tuanya. Tapi ya suasananya bener-bener, haduh. Piye ya nyeritainnya,” ucap Saimah dengan bahasa Indonesia dan Jawa yang tercampur.

Banyu mengangguk mengerti. Ia bisa memahami perasaan Ibu dan Papanya. Lila memang terlalu sayang untuk dilepaskan, apalagi dengan pria yang tak bisa bertanggung jawab untuk Lila. Ia yakin Ibu dan Papanya akan jadi garda terdepan untuk memisahkan Lila jika melihat kejadian tadi pagi.

“Dulu Ibu waktu nikahannya Lila bilang lho, Mas. Mau dijodohin sama anaknya. Biar Lila jadi anaknya,” ucap Saimah mantap diakhiri dengan mengunyah singkong di hadapannya.

“Ibu, bilang gitu?” tanya Banyu tak percaya.

“Lho, iyo! Beneran Mas,” ucap Saimah menggebu-gebu.

Banyu tersenyum melihat tingkah Saimah yang benar-benar jenaka.

“Menurut Mbok, Lila mau di jodohin sama siapa?” tanya Banyu meminta pendapat.

“Anak Ibu ada tiga kan, Mas?”

Banyu mengangguk.

“Mas Kai, masih kecil. Mas Sagara, Mbok belum pernah lihat. Mungkin Mas Banyu. Lah, Mas Banyu mau sama Lila?” tanya Saimah yang membuat Banyu tergelak.

“Kenapa gak mau, Mbok?”

“Oh, mau. Kayak di sinetron loh. Nanti judulnya Pembantuku, cintaku.”

Banyu makin tergelak mendengar penuturan Saimah.

Mereka pun banyak bertukar cerita tentang bagaimana kehidupan Saimah dan Marno. Saimah adalah perempuan berusia lima puluh lima tahun yang sudah ditinggal suaminya.Ia tak memiliki anak. Sedangkan Marno adalah seorang Ayah dua anak yang berumur lebih muda, yaitu empat puluh sembilan tahun. Ia asli orang desa sekitar yang akan pulang ke rumah jika Dimas sudah kembali dari bengkel. Namun karena saat ini bos besarnya ada di rumah, biasanya ia berjaga dan pulang saat tengah malam. Marno akan kembali keesokan paginya untuk membantu Saimah dan Lila.

Saat mereka sedang asyik bercengkrama, nampak Dimas berjalan dengan tergesa keluar rumah. Wajahnya nampak panik dan ia tak sepertinya tak memperhatikan sekitarnya. Dia tak melihat Banyu, Saimah, dan Marno yang memandangi Dimas dengan tatapan bertanya. Kenapa pria itu tergesa meninggalkan rumah?

Sampai mobil itu menghilang dari pandangan ketiganya, akhirnya Banyu beranjak dari duduknya. Banyu mempersilahkan Marno jika pria itu ingin kembali ke rumahnya. Banyu bisa menjaga vilanya. Namun Marno menolak, ia akan tetap berjaga sampai malam. Banyu tak menolak keinginan Marno, ia pun akhirnya pamit ke dalam untuk makan.Karena ternyata singkong dan kopi tidak cukup untuk mengganjal perutnya.

Banyu berjalan menuju dapur, mengambil piring dan sendok yang tertata rapi di laci. Baru saja Banyu akan menyendokkan nasi ke piringnya, ia mendengar suara pintu kamar dekat dapur yang pasti milik Lila dan Dimas terbuka.

Banyu yang melihat ke asal suara itu tertegun sejenak saat melihat wanita dengan perut membuncit itu memakai baju tipis dengan wajah pucat.

“La–” ucap Banyu gugup.

“Mas– to–” belum sempat Lila menyelesaikan kalimatnya, ia sudah ambruk. 

Beruntung Banyu dengan cepat berlari, sehingga ia bisa menangkap Lila tepat waktu. Jika tidak wanita itu pasti sudah jatuh keras ke lantai dengan bayi dalam kandungannya. Walaupun Banyu perlu melemparkan piring di tangannya, hingga piring itu pecah. Setidaknya ia bisa menangkap Lila.

“La! Lila!” panggil Banyu sambil menepuk-nepuk pipi Lila dengan panik.

“Mas, ada apa– Lila!” teriak Saimah yang melihat Lila berada di dekapan Banyu dengan mata terpejam. Saat Saimah melihat ke bawah kaki, ternyata darah sudah tercecer dari dalam kamar Lila.

“Mas, darah, Mas!” teriak Saimah yang membuat Banyu melirik ke arah bawah kaki Lila.

Dengan sigap banyu menggendong Lila dan Marno yang melihat kejadian itu mengambil kunci mobil. Mereka bergerak secepat mungkin untuk bisa ke rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari vila mereka.

Tak ada kata yang keluar dari mulut Banyu. Hanya rapalan doa dan tangannya yang mengusap lembut wajah Lila yang begitu pucat. Pikirannya kusut. Jantungnya berdegup sangat keras, hingga ia tak sadar bahwa satu tangannya lagi sudah mengusap lembut perut Lila yang benar-benar menegang.

"Kamu harus kuat, La!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status