Banyu masuk ke dalam rumah dengan memijat tengkuknya. Rasanya pegal menghampiri sekujur tubuhnya. Seharian ini, banyak sekali yang ia temukan di bengkel cabang yang baru berdiri kurang lebih satu tahun.
Selain menemukan benda terlarang di luar nalar saat membuka laci, Banyu juga menemukan banyak kejanggalan antara data gudang dan data yang dilaporkan padanya setiap bulannya. Banyu harus mengecek satu persatu data yang ada dan itu memakan banyak waktu. Terlalu sibuk membuatnya melupakan makan siang dan kini ia begitu lapar.
Baru saja Banyu akan melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua, namun langkahnya terhenti saat mendapati Lila sedang memasak sesuatu di dapur. Aroma masakan yang menggugah selera membuat perut banyu semakin keroncongan. Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba, Banyu merasa kerja kerasnya hari ini berbuah manis hanya dengan aroma masakan Lila yang menggugah selera.
Ia segera melangkah menghampiri Lila. Senyuman tersungging di wajahnya saat melihat Lila bersenandung kecil sambil mengaduk sesuatu di dalam panci.
“La? Masak apa?” tegur Banyu yang kini sudah berdiri tepat di belakang Lila.
Lila tentu saja berjengit kaget. Ia menatap kesal Banyu yang sudah berdiri di belakangnya. Wajahnya terlihat menggemaskan bagi Banyu karena bibirnya yang sudah mengerucut.
“Mas, Ngagetin!”
“Maaf,” ucap Banyu sambil tertawa geli tanpa rasa bersalah.
“Mas, butuh sesuatu? Biar aku bantu siapin,” ucap Lila yang kemudian segera mematikan kompor yang ada di hadapannya.
“Enggak, cuma mau nyamperin aja. Masak apa? Baunya harum,” ucap Banyu sambil menghirup dalam aroma masakan Lila.
“Soto ayam, Mas mau makan sekarang? Atau Mas Banyu makan yang lain? Mas mau kopi atau teh?” tanya Lila bersemangat.
“Aku makan yang ada aja, La. Aku mau mandi dulu, baru nanti makan. Kamu istirahat dulu deh, La. Dokter bilang kan jangan banyak beraktifitas kan? Temenin suamimu,” ucap Banyu.
“Mas Banyu pulang sama Mas Dimas ya?” tanya Lila dengan mata berbinar. Lila kira Banyu menyuruhnya menemani suaminya karena suaminya sudah pulang.
Lila segera melepaskan apronnya dan hendak menyambut suaminya. Senyuman merekah dari bibirnya. Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya suaminya bisa pulang ke rumah sebelum jam enam malam.
Banyu mengerutkan keningnya melihat ekspresi Lila. “Enggak, La. Aku di jemput Pak Marno. Aku gak bareng Dimas. Memang suamimu belum sampai ya?” tanya Banyu yang mengingat bahwa tadi Dimas sudah pergi lebih dulu saat Banyu akan menghampiri pria itu untuk menumpang pulang ke rumah.
Orang bengkel mengatakan bahwa Dimas sudah pulang lebih awal di jam tiga sore, tapi Dimas belum juga sampai. Dimas bahkan tidak pamit pada Banyu jika akan pulang terlebih dahulu. Ia kira Dimas pulang lebih awal karena akan menemani Lila.
Senyum Lila luntur. Pertanyaan Banyu tentu saja membuat Lila kecewa. Ia kira suaminya akan pulang bersama dengan Banyu.
“Memang waktu Mas Banyu pulang, Mas Dimas udah pulang ya? Kok Mas Dimas belum sampai ya?” tanya Lila dengan wajah kecewa yang tak bisa ia sembunyikan.
“Iya tapi gak usah khawatir. Mungkin dia perlu mampir dulu beli sesuatu atau ada urusan apa gitu. jangan terlalu dipikirin. Inget kata dokter. Kamu gak boleh banyak pikiran,” ucap Banyu sambil mengusap pundak Lila pelan.
“Pulangnya sudah dari tadi ya Mas?”
“Mm– barusan kok. Lebih cepat sedikit dari aku,” jawab Banyu mencoba menenangkan Lila.
Kata ‘mampir’ tak membuat Lila menjadi lega. Ia makin bertanya-tanya kemana suaminya pergi. Wajahnya kini menjadi murung.
“La–” panggil Banyu sambil meremas pelan pundak Lila. Matanya menatap iba Lila yang terlihat sedih.
Mendengar namanya dipanggil, Lila menatap Banyu tanpa suara.
“Aku ke kamar dulu ya, buat mandi. Sebentar. Habis ini aku langsung turun. Baunya harum banget, aku mau makan dulu tapi kotor dari luar. Bentar ya, La. Aku mau ngobrol banyak sama kamu,” ucap Banyu yang kemudian beranjak.
Lila hanya tersenyum saja menanggapi Banyu yang bersemangat entah untuk apa. Banyu tak pernah berubah. Setelah beberapa tahun tak bertemu dengannya. Banyu yang merupakan majikannya sejak berusia belia itu masih sama. Masih Banyu yang selalu ceria dan antusias jika mengobrol dengannya.
Jika bisa disebut teman, Banyu adalah teman satu-satunya yang ia miliki. Kemiskinan membuat Lila tak pernah berpikir untuk bisa berteman dengan orang lain. Hanya Banyu yang berteman dengannya dan menunjukkan banyak hal yang tidak ia ketahui. Sedangkan teman lain yang menganggap Lila tidak memiliki apa-apa memilih untuk tak berteman dengan Lila yang karena kemiskinannya, Lila bahkan tak tahu acara tontonan kartun di televisi. Bagaimana temannya mengobrol dengan Lila jika Lila saja tak tahu kabar apa yang terbaru.
“Jaga matamu itu! Sudah punya suami masih aja ngeliat laki-laki lain sampai seperti itu!” ucap Dimas ketus.
Lila beranjak dari duduknya. Senyuman mengembang dari bibirnya. Dia berpikir bahwa suaminya masih akan pulang larut malam. Lila tidak menyangka suaminya sudah sampai di hadapannya.
Begitu senangnya Lila sampai ia tak sadar kata-kata ketus suaminya.
“Mas, sudah pulang?” tanya Lila tak percaya karena begitu senang suaminya sudah ada dihadapannya.
“Menurutmu! Pria lain datang ditanya mau minum apa, mau makan apa, kenapa kamu malah tanya kayak gitu?! Nyindir kamu?” tanya Dimas dingin sambil membuka dua kancing atas kemejanya.
“Enggak, Mas! Mas mau makan? mau mandi? Aku siapin airnya, ya?” tawar Lila dengan semangat.
Dimas sendiri melihat istrinya penuh minat. Baju rumahan dengan potongan leher lebar itu hampir mengekspos kulit putih di pundak dan leher jenjang istrinya. Dimas mereguk ludahnya.
Pantas saja tadi bosnya menatap Lila dengan penuh minat. Dimas menjadi geram mengingat Banyu yang menyentuh pundak istrinya dengan sembarangan. Tanpa Kata, Dimas mencekal tangan Lila. Ia menyeret Lila menuju kamar dengan kasar.
“Mas, lepas! Pelan, Mas. Kenapa toh, Mas?” tanya Lila sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Dimas.
Sesampainya di kamar, Dimas menutup pintu kamar dengan kasar hingga pintu menimbulkan suara gema yang lumayan keras.
Saimah yang mendengarkan itu hanya bisa menggeleng pelan. Dia yang baru saja selesai beribadah dan akan membantu Lila mengurungkan niatnya. Saimah memilih untuk pergi ke halaman depan rumah dan bergabung dengan Marno yang sedang meminum kopinya.
Sementara itu di dalam kamar. Lila sudah di dorong keras ke kasur oleh Dimas.
“Aw! Pelan, Mas!” ucap Lila dengan pandangan takut-takut pada suaminya.
Dimas tidak mengatakan apapun. Dia membuka baju dan celananya dengan tergesa. Menyisakan pakaian dalamnya saja. Ia kemudian memegang dagu Lila dengan erat.
“Siapa bilang kamu bisa disentuh orang lain, La?!” ucap Dimas dengan penuh penekanan.
“Maksud Mas, apa?!” tanya Lila dengan berani. Ia tak memahami pertanyaan Dimas.
Dimas tak mengatakan apapun. Ia mencium pundak Lila dengan rakus. Ia juga mencium bibir dan leher jenjang Lila dengan penuh nafsu. Beberapa waktu kemudian, Dimas merobek pakaian rumah milik Lila. Pakaian itu memang tidak tembus pandang tapi cukup tipis karena mudah di robek. Entah apa yang ada di pikiran Dimas. Tapi gerakannya makin tak terkontrol.
“Mas, pelan-pelan! Aku hamil, Mas. Ada anak kita,” ucap Lila yang kini bukannya merasa senang dengan gerakan penuh nafsu suaminya. Ia malah ketakutan dan hampir saja menangis.
Satu tamparan mampir di pipi milik Lila dengan cukup keras Tentu saja itu membekas berwarna merah di pipi Lila yang berwarna putih bersih.
“Mas!” pekik Lila saat milik suaminya melesak masuk tanpa permisi.
***
Banyu tengah berkaca sambil mengamati penampilannya. Banyu yang biasanya yang cuek dengan penampilannya ketika dirumah, kini sedikit memperhatikan setelan baju yang ia pakai. Parfum yang hanya dipakai saat ia keluar rumah pun kini ia gunakan, padahal tidak ada agenda keluar rumah.
Aroma lemon dan melati yang bercampur, menguar dan menciptakan wangi yang segar dari tubuh Banyu. Kaos hitam dan celana pendek selutut yang ia pakai juga sukses memperlihatkan kaki panjangnya dan dada bidang, serta otot lengannya yang kekar.
Banyu yang puas dengan penampilannya keluar dari kamarnya sambil bersenandung kecil. Ia tak sabar untuk mencicipi masakan Lila. Banyu juga tak sabar untuk mengobrol lebih banyak dengan Lila. Kemarin ia ketiduran dan tadi ia harus berbagi ruang dengan Mbok Saimah dan Pak Marno, dimana Mbok Saimah yang suka berceloteh itu lebih banyak mendominasi percakapan diantara keempatnya.
Banyu menuruni tangga dengan berbagai pertanyaan di otaknya dan berbagai topik obrolan yang akan ia bahas dengan Lila. Bibir yang semula bersenandung dengan riang, makin lama makin terkatup. Dapur sepi dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Lila disana.
Ah, mungkin Dimas sudah sampai. Pikir Banyu sambil melihat ke kamar yang persis bersebelahan dengan dapur.
Saat Banyu memutuskan untuk makan dan mengambil sendiri makanan yang masih ada di atas kompor, Banyu menghentikan langkahnya. Suara decitan dan erangan bersahutan samar terdengar di telinga Banyu.
Banyu melirik ke arah kamar Lila dan Dimas. Ia sengaja tak bergerak dan hening tak bersuara. Benar saja, suara itu berasal dari kamar Lila.
Banyu menggaruk dahinya yang tak gatal dan segera berbalik arah.
“Astaga ya Tuhan, dosa apa yang sudah aku perbuat! Apa memang ini saat yang tepat untuk aku nikah ya! Setelah nemu kancut sekarang ngedenger live action! Kampret!” rapal Banyu kesal sambil keluar dari area dapur.
***
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih