“Kami sudah memutuskan akan menikah bulan depan, Ma.”
“Apaa?!” Endah berdiri dan menatap tajam putranya. “Kamu gila, Gino?!”
Gino menatap Davita yang duduk di sampingnya. Ia meraih telapak tangan Davita, lalu mendongak menatap sang ibunda. “Aku ‘kan sudah memberitahu Mama minggu kemarin. Aku dan Davita sudah cocok, dan kami akan segera menikah.”
“Mama tidak setuju!” bantah Endah. Ia menatap Davita dengan mata tajam. “Dari awal Mama sudah bilang, tidak setuju kamu menikah dengan wanita ini, Gino!”
Gino menghembuskan napas panjang. “Aku dan Davita sudah berpacaran selama 5 tahun, Ma. Memang sudah seharusnya kami menikah, hubungan kami sudah sangat lama. Bahkan kami kenal sudah lebih dari 5 tahun.”
“Mama tidak se-tu-ju!” tekan Endah marah. “Apa yang kamu lihat dari wanita ini, Gino? Kamu karyawan kantor, sebentar lagi akan naik jabatan jadi asisten manager! Bagaimana bisa kamu menikahi wanita miskin yang pengangguran! Dia hanya tiduran dan bersenang-senang saja di kontrakan, tanpa melakukan apa pun. Apalagi dia tidak punya keluarga, anak yatim piatu! Mama malu punya menantu seperti dia, tidak ingin punya menantu seperti dia, Gino!”
Tangan Davita terkepal, meski sudah cukup biasa mendengar makian dari Endah untuknya. Tetap saja Davita sangat sakit hati setiap kali dicaci seperti itu.
Gino menghembuskan napas pelan. “Davita sedang berusaha mencari pekerjaan, kok, Ma. Dia itu dulunya mahasiswa berprestasi di kampus, jadi dia pasti tidak akan susah mencari pekerjaan.”
“Heh, mahasiswa berprestasi? Tapi kenapa sampai sekarang masih pengangguran? Intinya Mama tidak setuju, lebih baik kamu menikah dengan Hani. Dia lebih cocok dengan kamu, Hani cantik, berpendidikan, dari keluarga terpandang, keluarga kaya.”
Gino berdeham pelan, ia menatap Davita dengan wajah sedikit kaku. “B-bagaimana mungkin aku dengan Hani, Ma? Hani sahabat Davita, jadi aku dan Hani pun hanya teman biasa. Ha-ha, sudah ‘lah, aku harus pergi sekarang, Ma. Aku akan datang lagi ke sini besok.”
Gino langsung berdiri dan mengajak Davita pergi dari sana.
“Aku permisi, Tante,” pamit Davita sopan.
Endah memandang Davita dengan tatapan sinis. “Kampungan.”
Tangan Davita terkepal pelan, tetapi ia masih tersenyum. Davita berusaha sabar, bagaimanapun ia sudah cukup biasa menanggapi Endah yang selalu sinis padanya.
Sesampainya dalam mobil, Gino menatap Davita yang duduk di kursi samping. “Kamu harus lebih berusaha lagi buat cari kerja, biar Mama senang. Jadi dia mau terima kamu sebagai menantu. Kalau nanti kamu masih belum kerja saat kita sudah menikah, aku akan sulit menanggung beban. Aku juga masih harus terus kasih uang buat Mama, jadi kalau kamu tidak kerja, uang gaji aku tidak akan cukup buat ngasih kamu. Makanya kamu memang harus ikut kerja supaya bisa bantu aku, kita sama-sama kerja.”
Davita mengangguk. “Aku tahu, Mas. Kamu tidak usah khawatir, aku sudah berusaha, kok. Mudah-mudahan setelah menikah nanti aku diterima di salah satu tempat kerja, ya.”
Gino menghembuskan napas kasar. “Aku masih ada keperluan setelah ini, kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?”
Kening Davita berkerut. “Kamu mau ke mana? Apa tidak bisa antar aku dulu ke kontrakan?”
Gino menggeleng. “Tidak bisa, ini sudah mepet. Aku harus segera pergi, tidak sempat mengantar kamu.”
Davita menghembuskan napas panjang. “Baiklah, kalau begitu aku pesan taksi saja.”
“Maaf, ya. Aku buru-buru.”
Davita menggeleng sembari tersenyum. “Tidak masalah, aku paham, kok.”
Davita keluar dari mobil calon suaminya. “Kamu hati-hati, ya.”
“Iya, aku pergi. Besok pagi aku ke kontrakan kamu.”
Ia tersenyum sembari melambaikan tangan melihat mobil Gino pergi meninggalkannya di sana. Davita mengecek jam tangannya, hari sudah sore dan hampir gelap.
“Apa aku ke toko dulu, ya? Mau ngecek kondisi di toko,” gumam Davita.
Hubungan Davita dan Gino sudah berjalan 5 tahun lamanya. Selama itu, Davita selalu diremehkan oleh Endah—ibu kandung Gino. Endah tak pernah menyukai Davita karena berasal dari panti asuhan, dan setahu Endah, Davita pengangguran tidak memiliki pekerjaan apa pun.
Endah lebih menyukai Hani—sahabat Davita. Hani adalah sahabat Davita sedari kuliah, mereka sudah bersahabat selama 8 tahun. Endah lebih menyukai Hani karena Hani berasal dari keluarga ternama, salah keluarga yang cukup kaya di kota itu, apalagi Hani adalah seorang model.
“Permisi, Bu.”
Davita mengangkat kepalanya, seorang wanita mengetuk pintu ruangan tempatnya berada. “Masuk, Ni.”
“Saya mau mengantar laporan pemasukan kita hari ini, Bu.”
“Oh, baiklah. Taruh saja di atas meja, Ni. Ada hal lain?”
“Ada, Bu. Masalah kerja sama yang kita ajukan ke perusahaa Genting kemarin sudah diterima, Bu. Pihak perusahaan meminta pertemuan bersama Ibu.”
Davita tersenyum mendengar itu. “Syukur ‘lah, nanti saya cek juga. Kamu bisa keluar dulu, nanti saya panggil lagi.”
“Baik, saya permisi, Bu.”
Davita tersenyum, lalu meraih map yang tadi dibawa oleh asistennya. “Oh, aku hubungi Hani dulu, katanya tadi lagi sakit kepala. Apa sudah lebih baik, ya?”
Davita langsung menghubungi Hani melalui telepon genggamnya. Panggilan pertama ditolak, sehingga Davita cukup khawatir, takut sang sahabat kenapa-napa. Davita kembali menghubungi Hani, di penghujung dering, baru lah panggilan tersebut diangkat.
“Hani, kamu tidak kenapa-napa, ‘kan?” tanya Davita langsung.
“Ah, a-aku tidak kenapa-napa, kok.”
Kening Davita berkerut, suara Hani terdengar agak aneh. “Kamu yakin? Kenapa suara kamu seperti sesak napas? Aku ke sana, ya,” ucap Davita cemas.
“Ti-tidak usah, tidak usah! Aku tidak kenapa-napa, aku sudah sehat. Kamu tidak usah ke sini, aku hanya ingin tidur saja,” tukas Hani cepat.
Davita menghembuskan napas panjang. “Baik ‘lah, nanti kalau ada apa-apa beritahu aku, ya.”
“Iya, aku tutup dulu, ya.”
Davita menatap ponselnya, Hani langsung menutup sambungan telepon begitu saja. Davita tak tahu, jika Hani kini tengah bermain panas dengan seorang pria di atas ranjang.
“Dia selalu saja mengganggu, memuakkan sekali,” geram Hani di sela erangannya.
“Tidak usah dihiraukan dia, sekarang ayo kita lanjutkan. Aku sudah tidak tahan,” balas Gino dengan mata penuh gairah.
Hani tersenyum, ia mendekat ke arah Gino lalu memeluk tubuh pria itu. “Kenapa kamu mau menikahi wanita itu? Bukannya kamu sudah puas dengan aku saja?” bisik Hani manja.
“Karna aku yakin dia bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, Sayang. Dia memang bodoh karena berhasil kita kelabui selama bertahun-tahun, tapi dia cukup pintar dalam pekerjaan. Aku hanya ingin memanfaatkannya nanti saat dia sudah memiliki pekerjaan. Sudah ‘lah, ayo kita lanjutkan, aku sudah tidak tahan.”
“Tapi kamu harus berjanji padaku.”
“Apa?” tanya Gino tak sabar.
“Saat malam pertama kalian nanti, kamu harus bermain denganku dulu, baru setelah itu dengannya.” Hani tersenyum licik.
“Baiklah, aku berjanji.”
Tangan Hani terkepal melihat tangan Angga tengah menggenggm tangan Davita. Meski Angga sedang membawa mobil, pria itu masih begitu manis menggenggam tangan Davita. Situasi itu membuat Hani benar-benar seperti orang ketiga di antara mereka, padahal dirinya ‘lah calon istri sah Angga.Pasti Hani tak pernah menyangka dan tak pernah membayangkan jika dirinya akan pernah berada di posisi itu. Mungkin perlahan balasan dan karma mulai datang, karena dulu Hani sengaja menjadi orang ketiga dalam hubungan Davita dan Gino.Davita pun senang karena perlahan balas dendamnya semakin nyata. Ia melirik ekspresi Hani dari pantulan kaca depan mobil. Davita tampak sangat puas melihat wajah marah Hani.“Emm, Kak.”Angga langsung menoleh ketika Davita memanggilnya. “Kenapa?”“Perutku sedari tadi sedikit tidak enak. Aku ingin beli es krim dulu di depan.”Angga menatap Davita yang tersenyum manis kepadanya. “Perut tidak enak, kenapa malah minta es krim? Ini sudah malam, nanti perut kamu semakin tidak enak.
“Davita ini klien Tante, sekaligus temannya Angga. Davita orang yang bertanggung jawab untuk mengurus taman bunga mansion Naradipta. Tadi baru saja selesai survei akhir, sebelum tamannya digarap sesuai denah yang Tante minta. Karna tadi sudah terlalu sore, jadi Tante minta Davita istirahat dulu di sini.” Laili menjelaskan tentang Davita kepada Hani, ia hanya tak ingin Hani berpikiran lain.Meski begitu, Hani memang sudah terlanjur geram kepada Davita. Ia pun sudah tahu jika Davita sengaja mendekati Angga untuk balas dendam kepada dirinya. Davita sendiri sudah mengaku secara terang-terangan kala itu.Hani hanya bisa tersenyum kepada Laili, untuk menjaga image-nya. “Oh begitu, Tante. Ternyata Nona Davita ini karyawan toko bunga, ya?” Hani sengaja menekan kata karyawan toko bunga, demi merendahkan Davita.Davita tersenyum tenang. “Senang sekali bisa bertemu dan berkenalan dengan Nona Candra yang katanya salah satu model terbaik di kota kita.”Hani tersenyum sinis. “Iya, aku juga senang b
“Angga, Hani sudah datang. Ayo turun.”Angga berdecak, ia keluar dari kamarnya menemui sang ibu. “Aku akan ikut makan malam kalau Davita juga ikut.”“Iya, Mama tahu. Kamu turun saja duluan, Davita akan menyusul.”“Mama tidak akan membohongiku ‘kan?”Laili mengembuskan napas pelan. “Kamu tidak percaya sama Mama? Sudah, ke bawah saja. Mama akan panggil Davita.”“Biar aku saja.”Laili menahan lengan putranya. “Biar Mama saja. Kamu tidak ingin Kakek curiga, lalu tidak suka kepada Davita ‘kan?”Angga mengembuskan napas berat. “Aku akan tunggu di bawah. Kalau Davita masih tidak turun dalam beberapa menit, aku akan menjemputnya ke kamar.”“Iya-iya, Mama tahu. Pergi ‘lah dulu ke bawah. Kakek dan Hani sudah menunggu di meja makan.”Meski terpaksa, Angga masuk ke dalam lift, menuju ke lantai bawah. Setidaknya Angga masih beruntung Laili tak menentang perasaannya untuk Davita. Seperti yang disebutkan Davita, Laili saat ini berada di posisi serba salah.Laili juga tak enak serta kasihan kepada Ha
“Angga masih tidur?” Laili mengintip ke dalam kamar Davita.Davita tersenyum kikuk, ia merasa tak enak. “I-ya, Tante. Aku akan bangunkan sekarang.”“Tidak usah.” Laili menahan pergelangan tangan Davita. Ia tersenyum, lalu menepuk pelan lengan Davita. “Tante ke sini hanya ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar. Masih gerimis, biarkan saja Angga tidur. Jarang sekali dia bisa tidur nyenyak begitu. Biasanya hanya tidur sebentar, lalu fokus kerja lagi. Tante senang dia bisa tidur lebih lama.”Davita terdiam. Ia ikut menoleh ke dalam kamar, meski ranjang tak terlihat jelas dari sana. “Kalau begitu ayo kita jalan-jalan sebentar, Tante.”“Lebih baik pakai ini. Karna hujan, kondisi di luar lebih dingin. Takutnya kamu masuk angin, nanti malah demam. Kalau kamu demam, Tante bisa dimarahi Angga,” canda Laili.Davita terkekeh kecil. Ia masih merasa tak enak serta canggung mempublikasikan hubungannya dengan Angga, di depan Laili. Bagaimanapun Laili pun tahu jika Angga akan segera menikah, sehingg
“Eh, Davita.” Laili terkejut melihat Angga datang bersama Davita. Ia berdiri dari duduknya, lalu mendekat ke arah Davita. “Kamu datang, kenapa tidak bilang-bilang Tante? Tahu begitu Tante siapkan sesuatu buat kita makan-makan.”Davita terkekeh kecil menanggapi itu. “Tidak usah repot, Tante. Kebetulan hari ini pekerjaan di toko lebih cepat selesai, Tante. Jadi sekalian saja datang ke sini, melanjutkan pembahasan masalah pembangunan taman bunga.”“Oh, sudah bisa dilanjutkan, ya? Kerja kamu cepat sekali, ya? Baru beberapa hari sudah selesai dan langsung ke tahap selanjutnya. Tidak heran kamu bisa menjadi bos muda.” Laili tersenyum kagum kepada Davita.Davita tersenyum tak enak. “Biasa saja, Tante. Aku masih belum apa-apa dibandingkan Kak Angga.” Ia melirik Angga yang berdiri di sampingnya.Angga tersenyum, ia mengusap puncak kepala Davita singkat. Hal itu membuat Laili terkejut. Pasalnya Angga tak pernah berlaku begitu manis dan lembut kepada orang lain, apalagi perempuan.“Kamu jauh leb
“Tante, Tuan Muda Naradipta tidak bersedia ikut untuk fitting baju.” Hani memperlihatkan wajah sedihnya di depan Laili.“Kenapa kamu memanggilnya terlalu formal begitu? Kalian sebentar lagi akan menikah. Coba biasanya lagi memanggil dengan nama. Panggil saja dia Angga, jangan panggil terlalu normal,” balas Laili.Hani tersenyum senang, tetapi ia berdeham untuk terlihat tetap polos di depan calon mertuanya. “Aku takut dia tidak suka dan marah. Jadi aku ingin lebih sopan saja, Tante.”“Mulai sekarang biasakan panggil nama saja. Atau kalian sepakati panggilan masing-masing, entah itu panggilan romantis seperti apa. Tidak bagus memanggil tuan atau nona begitu.” Laili tersenyum sembari menepuk pelan punggung tangan Hani.“Baik, Tante. Aku akan coba biasakan memanggil namanya. Nanti aku akan komunikasikan sama dia, bagusnya panggilan seperti apa di antara kami.” Hani tersenyum kepada Laili. “Tapi, aku takut dia tidak suka, Tante. Sekarang saja, dia menolak untuk datang fitting baju,” imbuhn