Share

Kehadiran Risa

Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya.

"Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya.

"Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri.

"Wah, aku bikin kenyang, ya?"

Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya.

"Seminggu nggak makan aku, Lika."

Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur.

"Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap.

"Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir semalaman dia menangis, menumpahkan kesedihan yang begitu menyesakkan dada.

"Matamu bengkak."

"Oh, kurang tidur kali. Aku bawa kerjaan ke rumah soalnya, terus baru selesai lewat tengah malem ngerjainnya."

Dave tersenyum tipis. Dia tahu Alika sedang berbohong. Jelas-jelas mata bengkak seperti itu pasti karena habis menangis. Dave menjadi semakin penasaran apa yang telah terjadi pada Alika.

"Oh, gitu?" Dave mengangguk-angguk. "Lain kali nggak usah lah bawa kerjaan ke rumah. Biar istirahat kamu cukup."

Alika mengerutkan kening. "Kamu emang kaya bos aja, deh, Dave," kekehnya.

Dave mengedikkan bahu. Memang dia calon bos, batinnya. "Anggap aja aku bos kamu yang lagi kasih perhatian," ujarnya.

Alika tergelak. "Kamu terobsesi jadi bos, ya, Dave?" guraunya.

"Nggak juga, sih."

"Aku heran loh, Dave ... kamu kan karyawan baru, tapi, rasanya kamu kaya udah kenal dengan petinggi-petinggi perusahaan ini."

"Itu karena aku orangnya easy going, Lika."

Alika mengangguk-angguk sambil mencebikkan bibir. Perempuan itu lalu menghabiskan sisa gado-gado di piringnya.

"Nanti sore pulang bareng aku lagi, ya?" tawar Dave. Bukan tawaran sebenarnya. Dia sedikit memaksa.

"Nggak usah, Dave. Aku naik ojek aja."

Lalu, keduanya sedikit berdebat tentang antar mengantar pulang dan diakhiri dengan Dave yang pasrah karena tawarannya ditolak oleh Alika.

Alika bukan tidak mau. Tetapi, dia tidak ingin mencari masalah lagi dengan Raka. Siapa tahu nanti ada kenalan suaminya yang melihat dirinya pulang dengan Dave, akan semakin runyam. Bisa-bisa pipinya menjadi sasaran tamparan Raka lagi.

***

Pulang kantor, Alika mendapati Marini sedang menerima tamu. Dia terkejut saat melihat siapa yang sedang berbincang dengan sang ibu mertua di ruang keluarga. Perempuan yang dilihatnya di cafe bersama Raka. Seketika dadanya bergemuruh menahan marah.

Apa-apaan ini? Marini menerima perempuan itu begitu hangat. Apa ibu mertuanya itu tidak tahu siapa dia.

"Kenapa kamu berdiri di situ? Menguping pembicaraan kami?" sentak Marini sembari melempar tatapan sinis pada Alika.

"Ma, dia ...," tunjuk Alika pada perempuan di samping Marini yang tengah tersenyum miring padanya.

"Namanya Risa. Rekan bisnis Raka. Cantik, kan?" Marini tersenyum sinis. Sementara jantung Alika berdetak kencang. Memang benar dugaannya. Perempuan ini adalah Risa. Yang dia lihat di cafe bersama Raka, dan yang mengirim pesan mesra pada suaminya itu. Lalu, berani sekali Risa datang kemari.

"Mama, ini siapa?" tanya Risa pada Marini, pura-pura bodoh. Padahal, tentu dia bisa menebak dengan mudah siapa perempuan yang berdiri di dekat tangga menuju lantai dua itu.

"Aku istri Mas Raka," jawab Alika. Dia sedikit terkejut saat mendengar perempuan itu memanggil Marini dengan sebutan mama. Sudah seakrab itukah mereka.

Marini mendecih mendengar pernyataan Alika. "Sudah, nggak usah dipedulikan, Ris. Sampai di mana tadi ceritanya?" Kedua perempuan itu tidak mengacuhkan Alika dan melanjutkan obrolan mereka.

Dengan hati yang perih, Alika menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus meminta penjelasan pada Raka kenapa membawa Risa kemari. Saat masuk ke dalam kamar, dilihatnya Raka baru saja selesai mandi.

"Mas, kamu bawa perempuan ke sini, apa nggak peduli sama perasaanku, istrimu?!"

Raka mendecak. "Apa, sih? Nggak usah berlebihan kamu," sahutnya seraya mengenakan pakaian rumahan.

"Itu Risa, kan? Yang kirim pesan mesra ke ponselmu? Dan ... yang aku lihat di cafe, bermesraan sama kamu?"

Raka sedikit terkejut mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Alika. "Nggak usah bawel kamu!" sentaknya seraya berlalu meninggalkan kamar.

Alika mengelus dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Luar biasa perlakuan Raka terhadapnya. Lelaki itu seakan-akan tidak ingin berhenti menyakitinya.

Dengan gontai dia melangkah ke kamar mandi. Hatinya sungguh kacau. Dia cepat-cepat menyelesaikan mandinya dan memakai pakaian rumahan kemudian turun ke ruang makan di mana suaminya, Marini dan perempuan itu berada. Terlihat ketiganya begitu akrab. Marini bersikap sangat manis pada Risa, begitupun Raka.

Seharusnya, Alikalah yang berada di tengah Marini dan Raka. Seharusnya dialah yang diperlakukan manis oleh kedua orang itu.

"Siapa yang suruh kamu ikut makan di sini?" ucap Marini tatkala Alika menarik kursi dan berniat mendudukinya.

"Aku bagian dari keluarga ini, Ma." Alika melirik pada Risa, bermaksud menyindir perempuan itu. Namun, sepertinya Risa memang tipe orang yang tidak tahu malu. Dia malah menyuapi Raka dengan santainya. Dada Alika bergemuruh.

"Maaf, Mbak. Ini suamiku. Aku yang seharusnya melayani dia," ucap Alika, tidak terima dengan perlakuan Risa pada Raka. Entah apapun hubungan keduanya, yang jelas, Alika hanya ingin mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

"Apaan sih kamu, Lika? Reseh banget. Mendingan kamu makan sama pembantu sana!" sahut Raka sambil menatap Alika sinis. Kemudian fokusnya kembali pada Risa yang duduk di sampingnya.

"Mas Raka!" seru Alika. Dia tidak mampu menahan luapan cemburu yang memenuhi relung hatinya. Diraihnya lengan Raka, namun lelaki itu malah menepis dengan keras, kemudian berdiri dan mendorong bahu Alika hingga perempuan itu mundur beberapa langkah.

Marini tidak tinggal diam. Perempuan paruh baya itu ikut berdiri dan menyeret Alika keluar dari ruang makan. "Kamu malu-maluin Raka di depan rekan bisnisnya. Sudah sana makan sama pembantu! Dari pada kamu bikin onar di ruang makan."

"Ma, apa perlakuan rekan bisnis sampai semesra itu? Kenapa mama malah mendukung mereka?" protes Alika.

"Ngelawan kamu, ya? Raka mau memperlakukan rekan bisnis seperti apapun, bukan urusanmu!"

"Sana!" Marini mendorong kembali Alika sebelum dia kembali ke ruang makan dan terdengar perempuan itu meminta maaf pada sang tamu.

"Sabar, Non Alika," ucap Mbok Ratmi yang entah datang dari mana sambil merangkul perempuan itu dan membawanya ke ruang makan pembantu.

"Ini, makan dulu, Non. Baru pulang kerja pasti lapar." Mbok Ratmi menyodorkan sepiring nasi bersama lauknya.

"Aku nggak lapar, Mbok," ucap Alika sambil menahan rasa sesak di dada.

"Ndak boleh gitu, Non. Harus makan walaupun sedikit. Nanti non sakit, loh," bujuk Mbok Ratmi, prihatin dengan apa yang dialami oleh majikannya itu. Suami Alika dan mertuanya memang sungguh keterlaluan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status