Share

Pendekatan Dave

Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.

Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.

Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.

Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.

Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan waktu dengan perempuan lain di luar sana.

"Alika!" Seruan keras Marini disertai dengan pintu kamarnya yang dibuka dengan kasar membuat Alika terperanjat. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan.

"Kamu emang perempuan nggak tau diri, ya? Sudah dipungut sama anakku, sekarang malah mencemarkan nama baiknya."

Alika yang terkejut mengerti arah pembicaraan Marini. Sepertinya Raka sudah mengadu pada ibunya itu.

"Aku nggak melakukan yang dituduhkan Mas Raka, Ma. Aku cuma makan siang dengan seorang rekan kerja di kantin."

"Alah! Mulutmu tidak bisa dipercaya, Alika!"

"Beneran, Ma. Lagi pula, aku yang seharusnya tanya sama Mas Raka, kenapa dia bermesraan dengan seorang perempuan di cafe?"

"Oh, kamu mau melempar kesalahan pada Raka untuk menutupi kebejatanmu?"

"Enggak, Ma. Aku melihat dengan mata kepala sendiri saat pulang kerja, Mas Raka bermesraan dengan seorang perempuan di sebuah cafe."

Marini mencibir sinis. "Memangnya kenapa kalau Raka punya perempuan lain?  Seharusnya kamu ngaca. Apa kamu sudah pantas menjadi istri Raka? Apa kamu pantas menjadi menantu keluarga Goenarto?"

"Sebenarnya apa salahku, Ma?"

"Kesalahanmu adalah menikah dengan anakku. Kamu memang nggak tau malu, ya. Aku tidak akan pernah setuju kamu jadi menantuku. Seharusnya, dari dulu kamu sadar kamu itu siapa?"

"Kalau memang perempuan yang bersama Raka itu jauh lebih baik dari kamu, jauh lebih pantas dan juga sederajat, aku tidak akan mempermasalahkannya. Ngerti?"

Tangis Alika kembali pecah begitu Marini meninggalkan kamar. Dadanya perih seperih-perihnya. Kata-kata Marini kini benar-benar menyakitinya. Iya. Dia sadar siapa dirinya. Hanya seorang perempuan dari keluarga miskin yang jatuh cinta dengan Raka. Raka yang dulu selalu meyakinkannya, bahwa dia tidak mempermasalahkan latar belakang keluarganya. Raka yang dulu mati-matian berjuang agar bisa menikahinya. Tetapi, kini, Raka pun sama seperti Marini yang membencinya.

********

"Kayaknya Alika nggak mungkin deh mata-mata Goenarto Group, Om." Dave duduk menyilangkan kaki di seberang meja Pak Bagas Dharmawangsa.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu, Dave?" tanya lelaki paruh baya dengan perut sedikit buncit. Dia menyipitkan mata menatap sang keponakan.

"Ya, kalau mau jadi mata-mata, harusnya dia nggak make nama Goenarto, dong. Kayaknya, Alika emang bener-bener pingin kerja."

"Dave, awalnya om pikir, nama Goenarto di belakang nama Alika kebetulan sama dengan nama perusahaan rival kita itu. Tapi, setelah om selidiki, Alika memang istri Raka Goenarto. Kamu pikir aja lah, masa istri seorang Raka Goenarto melamar kerja di perusahaan orang? Sebagai asisten sekretaris lagi?"

"Nah, itu dia yang sedang aku selidiki, Om." Dave ingat saat Alika menatap sosok lelaki dan perempuan yang sedang bermesraan di sebuah cafe, saat dirinya mengantar Alika pulang. Dan perubahan ekspresi perempuan itu yang menjadi begitu suram sungguh membuatnya penasaran. Sampai-sampai dirinya terus bertanya-tanya dalam hati apa Alika baik-baik saja. Jujur, dia mengkhawatirkan perempuan cantik itu.

Dave yakin, lelaki di dalam cafe itu adalah suami Alika, Raka Goenarto, dan perempuan yang diperlakukan dengan mesra itu adalah selingkuhannya.

"Kayaknya ada yang nggak beres sama pernikahan mereka, deh, Om."

Pak Bagas mengerutkan kening. "Kenapa kamu malah mikir pernikahan mereka, Dave?" tanyanya curiga.

"Yaa, yang aku lihat kayaknya Alika lagi bermasalah dengan suaminya," kekeh Dave.

Kembali Paka Bagas mengerutkan kening sambil menatap sang keponakan penuh selidik. "Kamu punya perasaan khusus sama Alika, Dave?"

"Oh, nggak, Om. Cuma simpatik aja."

"Hmmm ...." Pak Bagas mengelus dagu. "Jangan bikin masalah, ya, Dave. Inget, kamu di sini sedang om bimbing agar bisa memimpin perusahaan ini. Papamu mengandalkan om, loh!"

Dave terbahak sambil menggaruk kening. "Iya, Om. Tenang aja."

"Pokoknya, aku nggak yakin Alika itu mata-mata. Felingku berkata gitu, Om," lanjut Dave.

Pak Bagas terbahak. "Dave, Dave, gimana, sih kamu ini? Calon direktur utama kok pakenya feeling," godanya.

Dave menggaruk kepala yang tidak gatal. "Sekali ini aja, Om," ujarnya.

Pak Bagas mencebik. "Tetep harus waspada, Dave, okay?"

"Siap, Om! Aku bakalan selidiki kok," sahut Dave. Pemuda itu melirik jam di pergelangan tangan, kemudian dia berpamitan pada Pak Bagas.

Dave keluar dari ruangan Pak Bagas dan melongok ke ruangang di seberang. Terlihat Alika masih sibuk di depan layar komputernya. Perempuan itu sendirian di sana dan tidak menyadari kehadirannya di ambang pintu.

"Lika!" panggilnya membuat Alika mengalihkan pandang ke arah pintu.

"Hallo, Dave," sapa Alika sekadarnya. Kemudian perempuan itu kembali fokus pada layar komputer.

"Makan siang, yuk."

"Mmm ... kayaknya nggak, deh. Aku udah bawa bekal dari rumah." Alika menunjuk kotak makanan di sampingnya.

"Ya, udah, dimakan di kantin aja, sambil ngobrol-ngobrol."

"Kayaknya nggak dulu, Dave. Kerjaanku lumayan banyak, nih." Dave memperhatikan perubahan sikap yang sedikit aneh dalam diri Alika. Sepertinya perempuan itu sedang berusaha untuk menjaga jarak dengannya. Dan wajah cantiknya masih terlihat muram. Sepasang matanya pun terlihat sembab, meskipun perempuan itu mencoba menutupinya dengan riasan wajah tipis.

Apa Alika habis menangis semalaman?

"Yah, padahal aku lagi nggak pingin makan sendirian, nih."

Alika meringis. "Kamu kan bisa membaur dengan rekan-rekan yang lain, Dave."

"Pinginnya sama kamu, sih. Soalnya, baru kamu yang akrab."

"Tapi, akunya nggak bisa, Dave. Sorry, ya?" sesal Alika.

"Ya, udah lah kalau gitu," ujar Dave seraya melangkah masuk ke dalam ruangan dan menarik kursi di depan meja Alika, membuat perempuan itu terheran-heran.

"Aku suruh orang buat nganterin makanan ke sini lah, sekalian buat kamu, ya?" Dave melongok ke arah kotak makanan milik Alika. Hanya berisi dua potong roti. "Makan siangmu roti doang. Nggak cukup, lah, Lika."

"Nggak usah, Dave. Ini udah cukup, kok."

"Yaah, telat. Aku udah pesen sama orang buat nganter makan siang ke sini." Dave menunjukkan layar ponsel pada Alika, menampilkan barisan percakapan dengan orang yang dia suruh.

Alika terkekeh sambil menggeleng. Dia tidak bisa menolak lagi. "Dave, kamu karyawan baru tapi berasa kaya bos, ya?"

"Yah, anggap aja aku bos di perusahaan ini, Lika."

*********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status