Share

Raka Marah

Saking banyaknya pekerjaan pertama Alika hari ini, dia harus lembur hingga jam tujuh malam. Raka tidak menelepon sama sekali. Hal itu sedikit membuatnya kecewa. Tetapi, Alika sudah menduga sebelumnya. Mungkin, jika dirinya tidak pulang ke rumah, Raka tidak akan mempermasalahkannya.

"Loh, Lika, masih di sini?" tanya Dave saat melintas di depan ruangannya dengan pintu terbuka.

"Aku baru aja selesai." Alika sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas selempangnya. "Kamu juga masih di sini, Dave?" tanyanya heran.

"Iya, baru selesai juga," kekehnya. "Pulang bareng, yuk?"

"Aku naik ojek aja," sahut Alika seraya berjalan ke arah Dave yang berdiri di ambang pintu. Keduanya pun berjalan bersama menuju lift yang akan membawa mereka turun ke lobi.

"Jangan, dong. Aku anter aja, ya, rumahnya searah, kok."

"Beneran nggak usah." Alika menggulir layar ponsel untuk memesan ojek.

"Takut suamimu marah, ya?" tanya Dave.

"Nggak, sih, cuma nggak mau ngerepotin aja."

"Nggak repot, dong. Udah, ya, aku anter aja. Cuma sampai depan rumah, kok, aku nggak keluar mobil."

Alika masih menimbang-nimbang tawaran Dave. Sementara saat memeriksa layar ponsel, entah kenapa tidak kunjung ada ojek online yang menerima permintaannya.

" Okay," jawab Alika akhirnya.

Dave tersenyum lebar. Keduanya lalu berjalan menuju parkiran outdoor di mana mobil Dave berada. Alika sedikit keheranan melihat mobil yang cukup mewah untuk ukuran seorang karyawan baru. Namun, dia tidak berani menanyakannya.

"Kamu emang diterima kerja sebagai apa di sini?" tanya Alika saat keduanya berada di dalam mobil.

"Bantuin staf ahli," jawab Dave sembari mengemudikan mobilnya keluar dari area kantor.

"Oh," sahut Alika sambil mengangguk-angguk.

"Ini mobil kantor, kok," terang Dave, seakan-akan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Alika.

Alika meringis. Dia malu telah tertangkap basah menanyakan tentang mobil Dave meskipun hanya di dalam benaknya.

"Misalnya kamu nanya-nanya dalam hati, kenapa aku pake mobil sebagus ini," kekeh Dave, kembali membuat Alika meringis malu.

"Enggak, kok. Ya, siapa tahu kamu emang anak orang kaya yang lagi belajar kerja dengan jadi karyawan biasa."

Dave meloloskan tawanya sambil menggaruk kepala. "Bisa aja kamu ngarangnya."

"Bentar, ya, Lika ... aku mau mampir ke minimarket dulu. Mau beli rokok," ucap Dave sambil menepikan mobil di depan sebuah minimarket waralaba. Alika mengangguk setuju.

"Mau titip apa?" tanya Dave sebelum keluar dari mobil dan dibalas dengan anggukan kepala perempuan itu.

Alika memperhatikan sekilas punggung kokoh Dave saat pemuda itu berjalan masuk ke dalam minimarket. Kemudian, dia mengalihkan pandang ke seberang jalan. Niatnya hanya untuk memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Tetapi, pandangan matanya tertumpu pada seseorang dari balik kaca jendela sebuah cafe yang ada di seberang. Raka. Dada Alika berdegup kencang tatkala menyadari bahwa Raka tidak sendiri. Suaminya itu bersama seorang perempuan, yang tangannya digenggam erat-erat, kemudian mencium punggung tangannya dengan mesra.

Alika mengerjap-ngerjapkan mata memastikan kalau dirinya tidak salah lihat, atau yang tertangkap netranya hanya halusinasi. Tetapi, semua yang dia lihat benar adanya.

Dia sedang tidak bermimpi ataupun salah lihat. Lelaki dalam balutan kemeja coklat itu adalah Raka. Lalu siapa perempuan itu?

Dada Alika begitu sesak menyaksikan Raka dan perempuan itu. Apa mungkin dia yang bernama Risa, yang mengirimkan pesan ucapan mesra itu pada Raka.

"Maaf, ya, lama nunggu. Antri tadi kasirnya. Lika?" Dave yang baru saja masuk memperhatikan Alika yang sedang menatap ke arah seberang jalan dengan tatapan tajam. "Kamu lagi lihat apa?" tanyanya. Pandangan matanya dia alihkan ke tempat di mana Alika menatap. Tampak dari jendela kaca sebuah cafe, ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang saling menggenggam tangan, sambil sesekali saling menciumnya.

"Lika?" panggil Dave.

"Ah, ya? Maaf," timpal Alika gugup. "Udah selesai?" tanyanya kemudian. Tetapi, Dave bisa melihat perubahan ekspresi wajah Alika yang tiba-tiba seperti ternaungi awan hitam.

"Kamu kenapa?" tanya Dave.

"Oh, nggak papa," jawab Alika sambil memaksakan senyumnya.

Dave memandang kembali ke arah cafe. "Kamu kenal mereka? Kayaknya barusan kamu lagi ngeliatin mereka, deh."

"Oh, nggak, nggak kenal."

"Kamu nggak papa, nih?"

Alika menggeleng. "Pulang sekarang, ya, Dave ... takut suamiku khawatir," ucapnya dengan dada perih.

" Okay." Dave melajukan mobil masuk ke jalan raya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Namun, Dave tahu ada yang tidak beres dengan Alika. Sepertinya---kalau dia tidak salah menebak---lelaki di dalam cafe itu seseorang yang dekat dengan perempuan itu. Atau yang lebih parahnya adalah, suaminya.

Namun, Dave hanya menyimpan sendiri prasangkanya tanpa berniat untuk menanyakannya pada Alika, meskipun dalam hati dia mengkhawatirkan perempuan itu.

Sesampainya di depan rumah mewah tempat tinggal Alika, Dave menghentikan mobilnya.

"Makasih, Dave," ucap Alika sambil membuka pintu mobil.

"Kamu nggak papa, beneran?" tanya Dave, alih-alih menyahut ucapan Alika. Sebelum pergi, dia ingin memastikan perempuan itu baik-baik saja.

"Aku nggak papa, Dave. Makasih, ya?" Alika melambaikan tangannya.

"Ya, udah, aku pamit dulu, ya?" ujar Dave dari dalam mobil. Alika mengangguk, lalu menunggu hingga mobil Dave berlalu dari hadapannya.

Alika melangkah gontai memasuki halaman rumah. Perasaannya kacau balau. Akhirnya dia terduduk di teras dengan pikiran melayang ke mana-mana.

Sudah jelas Raka memiliki hubungan khusus dengan perempuan itu. Mereka terlihat begitu mesra. Tidak mungkin hanya teman biasa. Tetapi pertanyaannya, kenapa Raka bisa berpindah ke lain hati begitu cepat. Dulu Raka selalu mengatakan bahwa dirinya lah satu-satunya perempuan yang dia cintai. Tidak akan pernah ada perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta. Semua janji yang diucapkan Raka seakan tidak ada artinya lagi.

Bulir-bulir bening jatuh ke pipinya. Perasaannya hancur berantakan. Harapannya luluh lantak. Apa yang harus dia lakukan sekarang.

Alika mendongak saat mobil milik Raka memasuki halaman. Dia berdiri saat suaminya itu berjalan memasuki teras dan menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

PLAKK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alika, membuat perempuan itu memekik kesakitan. Dipegangnya pipi yang kini memerah. Alika bingung, bukankah seharusnya dirinya yang menampar Raka karena telah main serong di belakangnya. Tetapi, kenapa justru dirinya yang mendapat tamparan di pipi.

"Jalang kamu!" maki Raka dengan kilatan amarah di mata.

"A-apa maksud kamu, Mas?" tanya Alika, masih memegangi pipinya yang terasa perih.

"Berani, ya, kamu main serong di belakangku?"

Mata Alika membulat. "A-apa? Bukankah kamu yang ...."

"Diam kamu!" Sentak Raka. "Kamu pikir aku nggak tahu, di tempat kerjamu, kamu berdua-duaan dengan laki-laki?"

"Kamu mau menghancurkan harga diriku sebagai suami, Lika? Dan mencoreng nama baik keluarga Goenarto?"

"Aku nggak ngerti maksudmu, Mas? Auch! Sakit, Mas!" pekik Alika tatkala Raka meraih dagunya dan mencengkeramnya keras.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status