-POV Andre-
Aku tidak pernah menyangka bahwa pasien yang ada di meja operasi ini adalah … Lara!"Dokter, sa–ya berharap … bayi saya selamat," ucapnya dengan suara gemetar.Apa yang terjadi padanya? Dan, bayi … Lara sudah bersuami?
"Dokter!"
"Ah!"
Untuk sesaat, aku mematung tanpa melakukan tindakan apapun. Aku terhanyut akan kenangan masa kecil yang tiba-tiba datang. Lara Selene adalah teman masa kecil yang selama ini kucari-cari. Lalu, bagaimana mungkin kami bertemu dalam kondisi tragis begini?
"Operasi, dimulai."
Aku kembali pada pekerjaan utama dan tidak membuang waktu lagi. Tim medis yang terampil dengan hati-hati menolongku untuk memulai prosedur penyelamatan yang kritis ini
Kami mulai melakukan tindakan operasi yang mungkin dapat berlangsung selama berjam-jam, dengan ketegangan yang dapat dirasakan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan.
Ruang operasi itu penuh dengan suara peralatan medis yang berdenting, lampu operasi yang menyilaukan, dan juga gerakan cepat tim operasi yang terus bekerja tanpa henti. Di ruangan yang hening itu, nyawa Lara dan sang janin sedang dipertaruhkan. Ironisnya, aku bahkan tidak bisa menerima kenyataan bahwa Lara telah berbadan dua!
"Sekarang, kita harus menghentikan pendarahan ini. Suction, please," perintahku pada asisten bedah yang ada di sebelah.
Asisten bedah itu segera memberikan suction—alat penyedot cairan—kepadaku. Dengan hati-hati, aku berusaha menghilangkan darah yang terakumulasi di dalam rahim sang pasien.
Lara kini terlihat sangat pucat dan tampak mengernyit kesakitan, meski tidak sepenuhnya sadar.
Di atas meja operasi yang dingin itu, Lara sedang berjibaku untuk menyelamatkan nyawa janinnya, dengan keteguhan tekad untuk terus bertahan.
Sebuah monitor terus memantau denyutan jantung sang janin yang ada di dalam rahim Lara. Setiap detik terasa sebagai waktu yang sangat berharga. Kami selalu berdoa semoga janin itu dapat diselamatkan, sesuai amanat sang ibunda.
"Pasang pressure dressing!" Aku kembali mengomando sambil terus fokus pada tubuh Lara yang memerlukan penanganan.
Pressure dressing—semacam perban untuk menghentikan pendarahan—segera ditempatkan di area yang memancarkan darah segar. Dengan cermat, perban tersebut dirapatkan untuk menghentikan pendarahan yang dapat mengancam nyawa pasien yang sedang menjalani operasi.
Tindakan ini dilakukan dengan teliti, dengan harapan dapat meminimalkan risiko perdarahan yang berlebihan selama prosedur operasi dilakukan. Para asisten dengan telaten mengiringi setiap langkah yang kuambil sambil bersiaga jika sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan.
“Monitor?”
“Stable.”
Asisten bedah bekerja secara sinergis sebagai tim medis yang terlatih, siap mendukung dan merespons kebutuhan ahli bedah dalam menghadapi setiap tantangan dalam prosedur operasi yang tengah berlangsung.
Sementara itu, di tengah-tengah tindakan operasi, Lara tiba-tiba bergumam, meski tak jelas karena ia sedang dalam pengaruh bius lokal. Wanita itu mencoba menjaga dirinya agar tetap sadar sambil terus merapalkan doa yang tidak tersusun urutannya.
Kendatipun begitu, Lara masih dapat merasakan situasi penyelamatan dramatis yang sedang berlangsung di hadapannya. Sambil terus merapal doa, Lara turut berjuang selama proses operasi berlangsung.
"Hentikan oksigenasi rahim, saya perlu memeriksa pendarahan lebih lanjut," ucapku pada perawat yang sedang berada di sampingku.
"Baik!"
Perawat itu dengan cepat mematikan aliran oksigenasi rahim sehingga aku bisa mulai memeriksa dengan teliti area-area yang masih mengeluarkan darah. Operasi ini menguji segala pengetahuan dan keterampilan yang kumiliki. Tak hanya itu, ambisi untuk menolong Lara cukup mempengaruhi segala tindakanku.
Aku tidak boleh salah memperhitungkan, karena keselamatan sang pasien benar-benar sedang dipertaruhkan.
"Nurse, berikan sutura, cepat!" perintahku lebih lanjut.
Perawat segera memberikan sutura—benang jahit—yang kuminta. Aku mulai menjahit luka-luka Lara dengan cermat, mencoba menghentikan pendarahan di dalam rahim sang pasien. Setiap jahitan yang kulakukan adalah langkah menuju keselamatan sang pasien yang sedang berjuang.
"Bertahanlah, Lara. Kumohon…"aku bergumam sambil terus melakukan tugasku dengan benar.
Keselamatan Lara bergantung pada tangan-tangan ahli di dalam ruang operasi ini, aku, tim medis dan tentu saja tekad sang pasien untuk bekerja sama. Kudengar, Lara senantiasa berdoa dan menyalakan api semangat dalam dirinya agar tidak menyerah dan terus mempertahankan sang jabang bayi dengan sekuat tenaga.
“Dokter!”
Seorang perawat berteriak karena tiba-tiba, monitor jantung janin menunjukkan denyutan yang kian melemah.
Ketegangan mulai merajai perasaan para tim bedah. Suasana yang hening tiba-tiba menjadi penuh dengan kepanikan dan tekanan.
"Berikan oksigen tambahan untuk pasien, kita harus menjaga denyutan jantung janin!"
"Baik!"
Perawat memasang oksigen tambahan pada Lara, sementara asisten bedah terus mengoperasikan suction untuk menghilangkan darah yang tersisa. Mereka bekerja dengan cepat, sementara aku terus menjahit secara cermat.
"Detak jantung janin mulai stabil," ujar asisten bedah dengan penuh kelegaan.
"Bagus!"
Aku melanjutkan tindakan pembedahan dengan tekad yang kuat, menghentikan pendarahan dan memastikan bahwa janin dalam rahim Lara mendapatkan oksigen yang cukup. Lara adalah pejuang yang hebat, yang sedang bertarung untuk dua nyawa—dirinya dan nyawa janinnya.
Lara harus tegar dalam menghadapi bahaya yang sedang mengintai karena ada janin yang harus penuh dijaga olehnya.
"Akhirnya…"
Setelah upaya yang luar biasa dari tim operasi, tindakan pembedahan akhirnya selesai. Aku dapat bernapas lega, tetapi aku tahu bahwa perjuangan kami belum usai.
"Kita telah berhasil menghentikan pendarahan. Sekarang, kita harus menjaga pasien agar tetap stabil dan memantau perkembangan janinnnya," ucapku sambil mengelap peluh di dahi yang kian membasahi penutup kepala.
"Baik dokter!"
Pasien Lara tetap tak sadarkan diri di meja operasi, namun monitor jantung janin menunjukkan denyutan yang lebih kuat. Hal itu sangat melegakan.
Suasana di ruang operasi masih tegang, tetapi ada kelegaan yang mendalam. Kami telah melewati badai, dan sekarang, kami harus memantau jalannya pemulihan yang cukup panjang.
"Kita masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan," kataku sambil tersenyum penuh arti ke arah tiap anggota tim. "Tapi kita telah memberikan mereka peluang untuk bertahan. Kita harus menjaga mereka agar tetap kuat."
Tim medis mengangguk setuju. Mereka memang memahami bahwa pekerjaan mereka belum usai. Tim medis akan terus memantau perkembangan pasien dan memberikan perawatan yang diperlukan selama masa pemulihan.
“Beritahu wali, Sus.”
“Baik, Dok!”
Setelah operasi selesai, salah seorang tim medis keluar dari kamar operasi dan bertugas untuk memberitahu keluarga pasien tentang hasil operasi dan kondisnya.
Namun, belum sempat kudengar kabar bahwa sang wali telah tersenyum lega atau semacamnya, sebuah keributan mulai terdengar di sana.
“Apa yang terjadi?!”
Ayo kirimkan gem untuk buku ini!
-PoV Bi Yani- "Permisi…" "Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai. "Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman. "Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan. "Sama-sama." Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya. Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara. “Kami memang keluarga,” kataku. Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanja
-PoV Lara- Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa. Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia. Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merund
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Aku melirik sekilas bibir tebal Olivia yang seakan ingin kuhisap. Namun, aku bergeming. Menurutku, Olivia tidaklah secantik itu. Aku terbiasa bertemu wanita yang lebih cantik darinya. Terlebih, kakakku.Kakakku adalah wanita yang sangat cantik dengan gen terbaik dari ayah yang merupakan ras Kaukasian. Rambut pirang kakak, bukanlah pirang palsu seperti yang dimiliki oleh wanita itu.Betapa pun Aku memindai penampilan Olivia, tidak ada satu hal pun yang menarik minatku. Olivia benar-benar bukan tipeku. "Tolong mundur sedikit," sentakku yang mulai merasa tak nyaman. Aroma parfum Olivia terlalu menyengat dan menyebabkan kepala terasa pusing. "Eh?"Olivia mulai memundurkan langkah. Aku bisa melihat dari gelagatnya bahwa ia cukup canggung. Gelagat itu tidak tampak ketika kami bertemu di awal tadi."Sudah lama kerja di sini, Dok?" tanyanya sambil memainkan ujung rambut yang tertiup angin malam. Suaranya sedikit aneh. Kalau bisa kubilang, terlalu dibuat-buat. Entah untuk tujuan apa."Lumayan
PoV Lara Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Orang itu adalah … Olivia!"Nyonya, bolehkah saya masuk?" tanya wanita itu dengan senyuman mencurigakan. Ia mengipaskan sebuah foto cabul yang memuat potret suamiku dengan seorang wanita—yang tentu saja dirinya!"Masuk!" perintahku dengan napas tersengal. Seno baru saja pulang, setelah seharian menemaniku, meski tidak diminta. Esok—pagi-pagi buta—Seno harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan proses pembayaran untuk mengakuisisi perusahaan rekanan. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya, karena aku juga tidak peduli pada aktivitas Seno. "Apa maksudmu?!" Aku meninggikan suara. Aku merebut paksa potret tak senonoh itu dari tangan Olivia, kemudian merobeknya dengan kasar hingga tidak berbentuk apa-apa. Gadis itu tertawa licik dan mengatakan bahwa ia memiliki seribu potret telanjang Seno yang lebih menggemparkan dari yang dirusak olehku tadi. "Ceraikan dia.""K—kau!"Aku benar-benar marah dan tidak terima. Tapi, Olivia terus saja membua
Aku sedang memikirkan dampak dari ancaman Olivia. Padahal—khas Olivia—yang tidak bisa berpikir terlalu dalam dan matang, ancaman itu hanyalah ancaman kosong yang dapat ia lakukan.Sepanjang pengamatanku, Olivia akan melihat responku yang terjepit dan tak bisa melakukan hal lain, selain menuruti keinginannya. "Dasar jalang rendahan .…" bisikku yang sudah kehabisan suara. Aku tak bisa lagi berteriak dan didera syok yang hebat. Aku benar-benar tidak mengetahui, bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kepalaku terasa sakit, hatiku nyeri dan tubuhku seolah tak berdaya, bahkan hanya untuk menyangga tulang-tulang rapuh ini. Apakah, aku benar-benar harus menceraikan Seno?“Tidak!” Aku menolak kuat ide itu. Aku bahkan mendongakkan kepala, menahan tangis yang mulai merebak dari kedua mata ini. Aku tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Aku akan menjadi wanita yang lebih tegar, dan siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang ada: tidak akan bercerai, apapun alasannya. "Bagaimana? Kau setu