Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
Mahya dengan sabar menunggu hingga dokter Miriam memberinya kabar. Sudah seharian ini, ia menanti dengan cemas, panggilan penting dari sang petinggi yang mungkin datang. “Berikan draft liputan minggu ini ke mejaku. Aku ingin melihatnya,” ucap suara bariton itu tiba-tiba. Mahya mendongak ke arah si pemilik suara. Bosnya yang menyebalkan itu sedang ada di atas wajahnya. “Ha?” Mahya heran. Ada urusan apa pria brengsek itu kemari? “Apakah telingamu tiba-tiba tuli?” tanyanya sarkas. Mahya mengucek mata, kemudian segera bangkit dari tempat duduknya. Ia merasa sedang berhalusinasi, padahal tidak. “Shit!” umpatnya kesal. Padahal, sejak masuk ke kantor tadi, Mahya sedang berleha-leha sambil menatap layar ponsel di mejanya, berharap, dokter Miriam segera memberi kabar kepadanya. Lalu, mengapa kecemasan yang sejak tadi ia rasakan mendadak berubah menjadi tegang? Ini semua gara-gara tamu tak diundang itu! Mahya sangat tidak terima. “Draft-nya sudah ada di email editor, Pak Bos,” sahut Mah
Hari yang dinantikan oleh Mahya akhirnya tiba. Ia berhasil bertatap muka dengan dokter Andre yang melegenda. Tentu saja, predikat itu berlebihan karena popularitas dokter Andre masih kalah jauh dengan Jaka Tarub yang menjadi pasangan bidadari pada zaman antah berantah. Melegenda? Yah, tidak seperti itu juga. “Senang bertemu dengan Anda, Dokter Andre,” ucap Mahya dengan wajah sumringah. “Senang bertemu dengan Anda juga, Mahya Grace,” sahut Andre dengan tenang. Pria itu tampak sulit mengungkapkan ekspresi, sangat berbeda dengan Mahya yang meledak-ledak seperti bahan mudah terbakar. “Baiklah. Saya sangat beruntung bisa bertemu dengan Anda di sini. Kedatangan saya tentu saja untuk mewawancarai Anda,” Mahya membuka percakapan. Andre mengangguk dan berdehem, siap untuk menjawab setiap pertanyaan dari sang reporter. Penampilan gadis itu cukup nyentrik dengan jaket kulit yang mengepas di badan. Andre bahkan mengira bahwa dia adalah seorang musisi, bukannya reporter seperti yang dikenalkan
Sebenarnya, Mahya hanya tertidur sebentar, ketika bangun, mereka bahkan baru saja keluar dari area komplek rumah sakit. Ia tidak mengetahui bahwa James benar-benar mencuri pandang ke arahnya sejak tadi. Mahya tidak peduli. Saat mobil hampir keluar dari gerbang utama, mata Mahya tiba-tiba menangkap sosok yang dikenalnya: Lara. Sahabatnya itu tampak sedang masuk ke dalam gedung parkir dengan ekspresi wajah yang cemas. Mahya penasaran, tetapi … Ia tidak boleh datang secara tiba-tiba. Mahya masih mempertimbangkan untuk menjaga jarak dengan Lara terkait kasusnya. Ia tidak ingin ada bias yang dapat mengganggu proses investigasinya.“Hhh ….” Mahya menghela napas, bimbang. Di satu sisi, Mahya benar-benar merindukan Lara. Di sisi lain, ia tidak boleh gegabah bertindak. Hal itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa padanya.“Ada apa? Bangun-bangun kok cemberut?” tanya James setelah menoleh ke arah Mahya yang sudah membuka mata. “Ah, tidak. Hanya saja, tadi ada wajah yang kukenal, masuk ke a
Siang itu, aku mencoba untuk meneruskan pekerjaanku selama ini, ketika Seno tidak ada. Namun, aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa.“Mela, coba kamu bangunkan Bapak, ya?” pintaku pada Melati yang sedang berada di dekat tangga. Aku ingin naik ke lantai dua, tetapi kakiku mendadak sakit.“Oh, iya, Bu,” ucapnya sambil beranjak pergi ke kamar atas. Melati tampak mengetuk pintu kamar namun, Seno tak kunjung memberi jawaban. “Pak, permisi,” Sepi.Seperti tidak ada seorang pun yang ada di dalam kamar itu. “Pak ….” Melati terus mengetuk pintu kamar Seno, tetapi masih saja sunyi, tanpa ada jawaban dari balik pintu seperti biasa. “Saya buka, ya, Pak.”Melati kemudian masuk ke kamar Seno. Alangkah terkejutnya ia, ketika berada di sana. Seno sudah tergeletak dengan mulut berbusa.“Bu! Bu Lara! Bapak!”Aku terkejut mendengar teriakan Me
Halo, dear readers. Syukurlah, novel ini telah memasuki babak kedua.Mulai bab ke-51 nanti fase cerita akan cukup cepat, ya! Lalu, untuk POV Lara akan DIHAPUS. Semua POV menggunakan pov author (POV 3) supaya lebih lincah berpindah-pindah scene karena segala muslihat Seno akan ditampakkan di bagian selanjutnya. ***Adakah komentar untuk karya ini agar lebih baik? Silakan tinggalkan pesan. Ini adalah buku kedua author. Semoga bisa menghibur teman-teman semua ya! Perjalanan Lara untuk membalas suaminya akan dimulai secara lebih tuntas di bagian lanjutan. Harap bersabar, ya! Lara sudah mulai bisa mencerna bahwa semua hal tidak sebaik yang diharapkannya. Ia harus bersikap! Terima kasih karena telah setia mendukung karya ini. Khamsahamnida! Love @ novelisdelilah.
Begitulah akhirnya Lara bertemu dengan Andre. Saat ini, hanya Andre yang dapat menjadi pelipur lara di hatinya. Sudah berjam-jam Lara menunggu di ruang IGD. Namun, dokter tak kunjung memberinya kabar. Andre setia berada di sisi Lara, kebetulan, jam tugasnya pun sudah selesai sempurna. “Berapa lama biasanya pasien ada di IGD, Ndre?” tanya Lara, ingin tahu. Mengapa ia tak kunjung mendapatkan kabar berita tentang perkembangan Seno, suaminya?Andre menjawab dengan suara lembut, mencoba memberikan sedikit ketenangan pada Lara yang tampak gelisah. "Waktu di IGD memang bervariasi, Lara. Semuanya tergantung pada kondisi pasien dan proses evaluasi yang dilakukan oleh tim medis. Jangan khawatir, mereka akan memberi tahu kita segera setelah ada perkembangan."Lara menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendurkan otot-tototnya yang tegang. Matanya menatap kosong ke langit-langit ruangan, mencoba meredakan kegelisahan yang mendera hatinya. Andre tetap berada di sampingnya, memberikan kehadiran ya
Melati mencoba masuk ke kamar Lara dengan tergopoh-gopoh, berharap, kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Melati trauma dengan kasus tuannya, Seno, yang tiba-tiba tergeletak dengan mulut berbusa. Ia tak ingin sang nyonya mengalami hal yang sama.“Bu!” Melati mencari-cari keberadaan sang Nyonya, ternyata, ia hanya sedang berada di kamar mandi, mencukur bulu kakinya dengan penuh konsentrasi.“Bu! Maaf saya telah lancang masuk kemari. Saya pikir, Bu Lara pingsan,” ucap Melati sambil menstabilkan deru napasnya yang bersahut-sahutan. Darah yang terpompa ke jantungnya terlalu cepat, gadis itu sampai kewalahan.“Eh, Mela? Maaf, aku tidak mendengar panggilanmu. Aku sedang berkonsentrasi mencukur bulu-bulu kaki ini,” ucap Lara sambil tersenyum. Ia tidak keberatan jika Melati menerobos ke kamarnya karena mereka berdua tahu bahwa kejadian mengejutkan baru saja menimpa mereka.“Baik, Bu. Saya cuma mau bilang, makan malam sudah siap,” lanjutnya kemudian pamit undur diri. “Baiklah, aku akan sege
Sudah lebih dari dua minggu sejak Seno menghilang tanpa jejak. Lara menjadi semakin mati rasa. Kesehariannya dengan Melati menjadi begitu-begitu saja. Usia kehamilannya pun semakin tua.“Aduh ….” Lara mendesis ketika menaiki tangga untuk mengambil barang miliknya di lantai dua. Namun, kaki-kakinya sudah terlanjur sakit semua. Bengkak. Saat ini, usia kandungan Lara sudah memasuki pekan ke-28.“Bu, Ibu tidak apa-apa?” Melati menopang tubuh Lara yang lemah. Wanita itu sedang bersandar di sisi besi pegangan.“Ah, ya. Aku cuma merasa sakit di area kaki. Tadinya, mau ambil pengering rambut di kamar Seno, Mela. Bisa kamu ambilkan?” pinta Lara. Kali ini, ia mencoba untuk kembali turun ke lantai pertama.“Memangnya Ibu mau pergi?” tanya Melati sambil menganggukkan kepala. Sebelum ia ke lantai dua, ia akan menuntut Lara agar dapat beristirahat saja di sofa ruang tamu supaya aman.“Aku ingin melihat baju yang kupesan sambil membeli beberapa barang. Reuni sekolahku kan sebentar lagi datang.”“Ah,