-PoV Bi Yani-
"Permisi…"
"Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai.
"Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman.
"Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan.
"Sama-sama."
Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya.
Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara.
“Kami memang keluarga,” kataku.
Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku.
Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanjatkan syukur kepada sang Pencipta.
Keselamatan sang majikan, benar-benar menjadi prioritasku. Aku tidak ingin Nyonya yang kulayani celaka dan tidak ada yang menemani penderitaannya.
Aku lupa menanyakan kapan Nyonya Lara akan siuman. Pelayan itu lupa memberitahukan atau memang aku tidak mendengarnya dengan benar? Aku ingin menghampirinya dan menanyakan kembali tentang itu. Namun, suara bariton pria yang kukenal sedang berlari ke arahku.
"Lara! Istriku! Di mana dia?!"
“Pa–pak Seno?” Aku mematung dan mengurungkan niat untuk menuju ke pos perawat. Pak Seno ada di sana. Aku bingung harus menjawab apa jika ditanya nanti.
Aku melihatnya berbicara dengan para perawat di pos sana. Jantungku berdebar kenang. Bagaimana jika dia menyalahkanku karena tidak memberitahunya?
Pria itu segera berlari mendekat ke kamar operasi. Mata kami bertemu. Ia menghentikan langkahnya dan segera menghampiriku.
“Pa–pak ….” sapaku ketakutan. Lututku gemetar. Aku bahkan tak bisa memandangnya dengan benar.
“Dasar lancang! Berani-beraninya tidak menghubungiku! Pembantu sialan!”
‘PLAK!’
Sebuah tamparan mendarat di pipiku dengan sempurna. Aku tersungkur di dekat kakinya. Dengan tangan gemetar, kuraih sepatu mengkilap sang majikan dan memohon ampun yang sebesar-besarnya.
“Ma–maafkan saya, Pak ….” kataku sambil menundukkan kepala. Kulihat, dia hampir mengangkat sepatu itu dan menginjak kepalaku dengan solnya. Namun, sebuah teriakan dari arah kamar operasi, menghentikan langkahnya.
“Ada apa ini?!” Seorang dokter dengan setelan biru tua tampak keluar dari kamar itu dan melotot ke arah majikanku.
Pria berjas itu hanya berdeham sebentar dan melangkah mundur, mengurungkan untuk menginjak kepalaku. Aku beruntung. Aku selamat berkat dokter itu.
“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?” tanyanya kemudian sambil melangkah jauh dan mendekat ke dokter itu. Aku segera menyingkir minggir agar tidak mengundang murka Pak Seno dan kembali merundungku.
Dokter tinggi gagah dan bermata jernih itu tampak tidak suka dengan kehadiran Pak Seno. Aku bisa menilai dari raut wajahnya yang masam. Terlebih, Pak Seno datang sambil membuat keributan. "Tenanglah, Pak. Istri Anda sedang berada dalam masa pemulihan. Situasi kritis telah dilewati. Anda tidak perlu khawatir," jelas sang dokter sambil menatap lurus ke arah Seno.“Saya sangat khawatir! Pembantu sialan itu tidak menghubungi saya. Asisten saya tadi menelepon dan bilang kalau istri saya kritis. Saya benar-benar hampir gila!” Pak Seno sepertinya bersandiwara. Aku bisa melihat senyuman dalam setiap perkataannya.
Bagaimana ia bisa hampir gila? Jika Pak Seno saja jarang pulang ke rumah. Ia pasti tidak mengetahui kondisi hati Bu Lara.
“Anda suaminya?” tanya dokter itu dengan nada tak percaya.
“Iya. saya suami Lara. Anda mengenal istri saya?” jawab Pak Seno dengan nada sinis yang jelas terdengar. Apakah mungkin mereka berdua saling kenal? Aku juga penasaran.
“Mengapa Anda tidak mengetahui keadaan istri Anda? Apakah … Anda tidak pernah berada di rumah? Pasien mengalami stress akut dan itu adalah kondisi akumulatif, bukan hanya hari ini,” kata dokter itu sambil terus mencecar Pak Seno.
Dalam hati, aku merasa lega. Segala kejengkelan Bu Lara seakan ditumpahkan begitu saja oleh dokter itu kepada Pak Seno. Jika boleh bersorak, aku akan bersorak sekarang, tapi … aku hanya pembantu rumah tangga. Jika ikut campur, maka status pekerjaanku berada dalam bahaya.
“Ah. Saya ada perjalanan dinas ke luar negeri selama beberapa waktu. Jadi, saya belum pulang lagi. Sebentar. Untuk apa saya menjelaskan hal ini pada Anda?” Seno mulai menolak menjawab pertanyaan dari sang dokter.
“Anda seperti menginterogasi saya,” protes Pak Seno lagi dan sang dokter hanya menghela napas sambil melepas masker medis di wajahnya. “Saya Dokter Andre. Saya adalah dokter yang bertanggungjawab atas istri Anda. Senang berkenalan.” Dokter itu menyodorkan tangannya.
“Seno,” sahut Pak Seno sambil menerima uluran tangan itu dan menjabatnya seperti rekan bisnis. Mereka sepertinya terlibat sebuah perang dingin yang tidak jelas. Ada apa ini?
“Hei, kau!”
Aku tersentak ketika Pak Seno memanggilku.
“Y–ya, Pak?” ucapku takut. Aku menundukkan kepala dan tak berani menatapnya. Dokter Andre mendekat ke arahku dan berdiri tepat di sisiku.
"Besok kau harus berhenti bekerja! Aku sudah menduganya. Pasti kerjamu tidak becus! Lara selalu salah memilih orang!”"Pak … saya mohon," aku memelas, memohon pengertian sang majikan.“Maaf jika saya terkesan ikut campur tapi … Ibu ini sejak tadi menemani pasien. Saya tidak yakin memecatnya adalah hal bijak. Apakah Bu Lara akan menerimanya, Pak Seno?”
Pak Seno tampak memikirkan ucapan Dokter Andre. Aku merasa terharu dengan tindakannya itu.
"A … anu, Pak. Bu Lara melarang saya untuk menghubungi Anda tadi. Setelah, seorang nona muda datang tadi ke kediaman Anda berdua," Aku akhirnya membuka rahasia.
"A—apa?" Kini, wajah Pak Seno terlihat pucat. Ia pasti tidak menyangka bahwa selingkuhannya lah yang menyebabkan Bu Lara hampir keguguran."Katakan! Seperti apa penampilan gadis itu?!" Pak Seno bertanya menyelidik.
"No—na muda itu berbadan langsing dengan riasan tebal. Rambutnya pirang sebahu, dan memakai kacamata hitam. Pakaiannya seksi berwarna merah menyala. Bu Lara naik pitam ketika gadis itu datang," sahutku sambil ketakutan. Apakah, yang kulakukan ini adalah hal yang benar? "Si—al."Dokter Andre tampak heran. Dia masih berada di sekitar kami. “Olivia!” Kudengar, Pak Seno menyebutkan nama seseorang. Apakah nama gadis itu adalah Olivia?"Aku akan kembali!" ucapnya lagi. Aku mengangguk dan menundukkan kembali pandanganku. Kulihat, sepatu Pak Seno pergi menjauh dan kemudian tak terdengar lagi. Di sepanjang perjalanan, Pak Seno tampak mengambil ponsel dan mulai menghubungi seseorang.Mungkin, dia sedang menghubungi Olivia.
Ayo kirimkan gem untuk cerita ini!
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir