Dea menghampiri sang papa yang tak kunjung keluar dari kamar. Gadis itu terlihat bersemangat untuk mengajak papanya makan bersama.
Di dalam kamar Dea mendapati sang papa yang hanya mengenakan sebuah handuk. Lelaki paruh baya itu tengah memandangi sebuah foto sambil bertelepon dengan mesra."Papa!" teriak Dea dengan wajah yang sudah memerah.Mendengar teriakan dari Dea, lelaki itu segera memutuskan panggilan dan meletakkan ponselnya di sembarang tempat. Namun ia terlambat menyembunyikan foto yang masih tergenggam di tangan kirinya."De–Dea," ujar sang papa terbata dan merasa malu.Dea segera merebut foto itu. Ia pandangi foto kemesraan papanya dengan Mawar di tepi pantai. Di belakangnya terdapat tanggal yang menyatakan bahwa hubungan mereka terjalin sebelum papa dan mama Dea bercerai.Dea menatap sang papa dengan penuh amarah. Ia pegangi foto itu tepat di depan wajah papanya."Pantesan Papa selalu membela Mawar. Ternyata dia simpanan Papa. Bodohnya Dea yang tidak pernah mempercayai ucapan Mama waktu itu.""Jaga ucapanmu, Dea!" bentak lelaki paruh baya itu."Kenapa? Papa tidak terima? Lihat saja. Dea akan melabrak pelakor itu. Dan mulai detik ini Dea pergi dari rumah ini!" tegas Dea seraya membawa pergi foto perselingkuhan papanya."Dea tunggu! Dengarkan dulu penjelasan papa."Dea pergi tanpa mempedulikan teriakan papanya. Gadis itu membawa sebuah ransel. Ia berniat pergi ke rumah Mawar dengan menaiki motor matic pemberian tunangannya."Lihat saja Mawar. Apa yang akan aku lakukan nanti kepadamu. Kamu telah mengkhianati persahabatan kita. Ternyata selama ini kamu jadi sugar baby papaku. Tidak tahu malu!"Dea mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Matanya telah basah. Hatinya terasa sakit seolah hancur berkeping-keping.Selama ini Dea menganggap jika sang mama yang telah selingkuh. Hingga ia memilih tinggal bersama sang papa semenjak kedua orang tuanya bercerai. Namun nyatanya ia salah. Justru papanya yang main belakang.Gadis itu menghentikan motornya di depan sebuah rumah kontrakan yang ditempati Mawar beberapa bulan ini."Rumah kontrakan yang mewah. Pasti Papa yang telah memilihkan rumah ini untuknya."Dea melangkah dengan cepat. Ia yakin jika Mawar berada di rumahnya. Namun langkahnya terhenti seketika.Gadis itu menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati sebuah mobil yang mirip dengan mobil milik tunangannya tengah terparkir indah di halaman rumah Mawar."Jangan-jangan mereka—"Gadis bertubuh kecil itu segera membuka pintu rumah Mawar yang tidak terkunci. Bahkan dengan mudah Dea berhasil memasukinya.Dea mengedarkan pandangannya. Sepi dan kosong. Tidak ada seorang pun di ruang tamu. Gadis itu meneruskan langkahnya. Ia memutuskan untuk naik ke lantai atas.Dea berjalan mendekati sebuah ruangan yang ia yakini adalah kamar Mawar."Iya, begitu. Terus sayang ...."Terdengar suara menjijikkan yang masuk ke indera pendengaran milik Dea."Sungguh keterlaluan!"Dea sangat mengenali suara itu. Ia yakin tidak salah dengar.Dea semakin mempercepat langkahnya. Tiba-tiba tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dengan sekuat tenaga gadis itu membanting pintu kamar sahabatnya. Rupanya dugaannya memang benar.Mawar tengah melakukan perbuatan yang sangat Dea benci. Terlebih lagi sahabatnya itu melakukannya dengan seorang lelaki yang merupakan kekasih Dea. Bahkan mereka sudah hampir satu tahun bertunangan."Kamu! Dasar gadis murahan!"Tanpa rasa kasihan Dea segera menjambak rambut panjang milik Mawar. Membuat sahabatnya itu meringis menahan sakit."Auh! Sakit, Dea! Ampun!" rintihnya.Dea menumpahkan segala emosinya dengan menyakiti fisik Mawar."Hentikan Dea! Mawar itu pacar baruku! Kamu tidak berhak menyakitinya. Selama ini kamu terlalu kaku dan tidak pernah menuruti permintaanku!" sahut kekasih Dea.Dea melempar tubuh Mawar ke atas ranjang. Ia menatap sahabatnya itu dengan kedua mata yang seolah hendak ke luar."Ternyata selain merebut Papaku, kamu juga merebut kekasihku."Dea menatap Mawar dengan penuh kebencian. Sahabat yang sangat ia percaya dan selalu ia bangga-banggakan, ternyata berkhianat.Gadis itu mendekati kekasihnya yang tidak merasa bersalah sama sekali."Dan untuk kamu. Hubungan kita selesai! Asal kamu tahu saja. Mawar juga memiliki hubungan spesial dengan Papaku!"Setelah mengatakan kalimat itu, Dea segera keluar dari kamar Mawar. Ia melemparkan kunci motornya dan meninggalkan motor itu di halaman rumah Mawar.Dea memesan sebuah taksi. Ia mencoba mengirim pesan kepada Amelia—mamanya. Selama ini sang mama tinggal seorang diri di rumah yang dulu pernah mereka tinggali bersama."Ma ... Dea ke rumah Mama ya, sekarang? Dea kangen sama Mama."Tak butuh waktu lama pesan itu dibalas oleh mama Dea.[Mama menunggumu, Sayang. Mama juga mau ngenalin Dea sama seseorang.]Dea memegangi ponselnya dengan resah. Mendengar balasan dari mama, membuatnya teringat akan sesuatu hal.Selama ini sang mama selalu meminta Dea untuk segera menikah. Padahal gadis itu masih belum siap. Mengingat kedua orangtuanya yang telah berpisah, membuat Dea sedikit trauma. Apalagi sekarang tunangannya itu ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit, akhirnya Dea tiba di rumah mamanya. Gadis itu langsung masuk begitu saja ke rumah wanita yang telah melahirkannya."Dea, pulang ...."Gadis itu berteriak mengagetkan sang mama yang masih sibuk memasak di dapur. Dea sudah membersihkan sisa-sisa air mata pada wajahnya.Amelia mendekati putrinya. Memasang wajah penuh kebahagiaan. Tetapi saat melihat wajah Dea, seketika senyuman di bibirnya memudar."Dea, Sayang. Kenapa mukanya ditekuk gitu? Katanya kamu mau ngenalin calon suami kamu ke Mama," ungkap sang mama.Dea mengerucutkan bibirnya. Memasang wajah penuh kekesalan."Untuk ketiga kalinya, Ma. Dea diselingkuhi lagi. Berhenti memaksa Dea untuk segera menikah!"Dea melemparkan tas ranselnya ke sofa dengan ganas. Gadis itu langsung berlari menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya."Makan dulu, Dea!" teriak Amelia."Dea mau tidur sebentar, Mama. Dea masih sakit hati."Amelia hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia memaklumi sikap putrinya dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur.Setelah satu jam lamanya, wanita paruh baya itu menemui Dea di kamarnya. Mengajak putri kesayangan untuk makan siang bersama."Dea, ayo makan. Sudah siang ini."Dea yang masih berselimut tebal, mulai duduk di tepi ranjang. Tidurnya lelap sekali. Mungkin karena kecapekan."Iya, Ma. Bentar. Dea cuci muka dulu."Amelia setia menunggu putrinya. Ia mendampingi Dea turun ke bawah.Dea sudah berusaha melupakan semua yang terjadi. Ia belum siap untuk meminta maaf kepada Amelia dan menceritakan tentang papanya.Gadis itu berjalan penuh semangat. Tetapi saat sudah tiba di ruang makan, Dea dikejutkan oleh kehadiran seorang pria."Dia siapa, Ma?" lirih Dea ketus.Amelia paham dengan sikap yang Dea tampakkan. Tentu putri kesayangannya tersebut cukup terkejut."Oh iya, Sayang. Ini yang mau Mama kenalin ke kamu. Mulai sekarang Om Lukman akan menjadi papa Dea.""Jadi Mama sudah menikah lagi? Sejak kapan? Kok nggak kasih tahu Dea terlebih dahulu?"Gadis itu semakin kesal. Belum juga sakit hatinya terobati. Sekarang ia harus menghadapi sosok baru dalam hidupnya.Sang mama mencoba menenangkan putrinya. Ia mulai menjelaskan semuanya."Ayo dong, salaman sama papa kamu."Dengan berat hati Dea menyalami papa tirinya tersebut. Tetapi dia merasa aneh dengan tatapan mata Lukman. Sepertinya lelaki itu sedang merencanakan sesuatu."Nah, sekarang kita makan sama-sama ya," ajak mama Dea.Makan siang berjalan dengan lancar. Dea terlihat bersemangat menghabiskan masakan sang mama."Tumben makannya banyak bener. Nanti kamu gemuk loh!" celetuk Amelia."Nggak papa, Ma. Dea udah jomblo sekarang. Mulai sekarang Dea nggak mau diet lagi.""Jadi kamu nggak punya pacar?" Tiba-tiba sang papa tiri ikut menyahut."Bukan urusan, Papa!"Dea bersikap cuek. Gadis itu melanjutkan kembali aktivitas makannya. Tidak peduli jika papa tirinya selalu melihat dirinya dengan tatapan lain.Sementara mama Dea tidak menyadari sama sekali. Ia lebih fokus memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Menganggap sikap Lukman merupakan hal yang wajar."Dea sudah selesai. Dea ke kamar dulu ya, Ma. Makasih untuk makanannya. Enak banget.""Harusnya kamu menolong mamamu membereskan piring dan gelas yang kotor Dea. Kasihan dia sudah capek-capek masak buat kamu," ujar sang papa."Nggak papa kok, Mas. Dea 'kan lagi bersedih. Ia juga jarang main ke sini." Amelia membela putrinya."Papa sudah dengar 'kan? Mama aja ngebelain Dea."Gadis itu beranjak. Ia mengambil ransel yang tadi sempat dibuangnya.Dea naik tangga dengan buru-buru. Karena masih merasa lelah dan sakit hati, gadis itu berencana untuk mandi air hangat."Em, ada pesan dari Kak Bian. Ada apa, ya?"Dea memeriksa chat dari kakak angkatnya. Dia adalah Bian Pratama. Dulu mereka sempat tinggal bersama sebelum akhirnya Bian menemukan orang tua kandungnya.[Dea, Share loc! Cepat!]Membaca pesan dari sang kakak, membuat Dea memutar bola matanya dengan malas."Kebiasaan! Irit banget ngomongnya. Bilang kek, kalau kangen!" monolog Dea.Meski kesal Dea mengirimkan lokasinya saat ini kepada Bian. Gadis itu bersiap untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket.Sementara Amelia masih mencuci piring dan gelas yang kotor, Lukman menyelinap masuk ke kamar Dea di saat gadis itu mulai melepaskan pakaiannya.Mendengar suara pintu kamar yang terbuka, seketika Dea memutar tubuhnya. Betapa gadis itu sangat terkejut menyadari bahwa yang datang bukanlah mamanya."Papa! Ngapain datang ke sini?" bentak Dea seraya menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan.Lelaki paruh baya itu tersenyum smirk. Lalu berjalan pelan mendekati anak tirinya.Beberapa bulan telah berlalu, Dea merasakan perutnya begitu sakit. Di saat itu dia sedang berada di rumah sang mama. Seketika Amelia membawanya ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu langsung menelepon Bian yang masih di kantor bersama Marco. “Ada apa, Ma?” tanya Bian dari balik teleponnya. “Dea masuk rumah sakit, Sayang. Kamu segera ke sini ya? Sepertinya dia akan segera melahirkan.” Tanpa berpikir panjang, Bian langsung menyanggupi permintaan sang mama. “Kenapa?” Marco penasaran karena melihat tingkah Bian yang tidak tenang. “Aku harus ke rumah sakit, Marco. Sepertinya Dea akan segera melahirkan.” Marco terlihat bahagia mendengar kabar bahwa Dea akan menjadi seorang Ibu. “Waow, itu berita yang sangat baik. Aku akan menghubungi Mama dan Papa Justin. Kamu tidak boleh panik.” Bian menepuk pelan bahu Marco. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bian begitu polos. Tiba-tiba telapak tangannya terasa sangat dingin. “Kamu pulang dulu. Persiapkan segala kebutuhan untuk bayi baru lahir
Setelah siuman dari pingsan, Lusi segera memberikan minuman kepada Bian. Gadis itu menanyakan bagaimana keadaannya. "Mas Leo, apakah kepalanya masih sakit?" tanya Lusi khawatir. "Aku sudah ingat semuanya, Lusi. Kenapa kamu membohongiku?" balas Bian balik bertanya. Lusi terlihat gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Satu kali dalam seumur hidupnya merasakan jatuh cinta. Dan kini harus terluka. Patah dan hancur hatinya. Ternyata gadis itu mencintai lelaki yang sudah beristri. Kakek Baya menghampiri Bian. "Lusi melakukan hal itu karena dia sangat mencintaimu, Bian. Maafkan kakek juga. Kakek merasa bahagia melihat Lusi bisa tersenyum kembali semenjak kepergian kedua orangtuanya." Kakek Baya menjelaskan semuanya. Ia membawa Lusi ke hutan dan jauh dari tempat tinggalnya semula karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. "Maafkan saya. Saya harus kembali untuk menemui istri saya." "Tapi Mas?" Lusi terkesiap. Ia belum siap jika harus kehilangan Bian secepat itu. "Maaf Lusi. Bian harus
Beberapa bulan telah berlalu. Keadaan Bian semakin membaik, tetapi ia masih belum mengingat apapun tentang masa lalunya. Lelaki tampan itu telah selesai membantu Kakek Baya mencari kayu di hutan. "Kakek, apakah setiap hari mencari kayu di hutan seorang diri?" tanya Bian kepada kakek itu. "Ya terkadang Lusi menemani Kakek. Tetapi ia lebih sering di rumah untuk memasak dan mempelajari tentang meracik obat seperti kakek. Ia ingin seperti kakek yang jago mengobati orang-orang." "Boleh saya menemui Lusi sebentar, Kek?" pamit Bian. "Tentu saja. Pasti ia sangat senang jika kamu membantu pekerjaannya." Kakek Baya tertawa renyah. Ia senang melihat hubungan Lusi dengan lelaki itu yang semakin dekat. Bian pun mengangguk senang. Ia pergi ke bagian dapur untuk melihat Lusi yang sedang sibuk memasak. "Hai, masih sibuk?" sapa Bian kaku. Padahal ia sudah mulai menerima Lusi sebagai calon istrinya. Tetapi selalu seperti itu saat berbicara dengan gadis itu. "Mas Leo? Ngapain datang ke sini? Mem
Uhuk !Dea tersedak oleh air liurnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Marco akan menanyakan hal itu kepadanya. Wanita segera menghabiskan air putih yang ada di dekatnya."Em, maaf Dea. Kamu tidak apa-apa?" Marco tentu saja panik melihat Dea terbatuk-batuk karena pertanyaan konyolnya. Lelaki itu mencoba memijit tengkuk leher Dea."Aku baik-baik saja, Marco. Tidak perlu khawatir." Dea berusaha mengelak. Tidak enak jika dipandang banyak orang di sana.Untuk sesaat Marco membiarkan Dea mengatur nafasnya agar kembali stabil. Namun ia juga menanti sebuah jawaban dari wanita itu."Bagaimana kamu bisa tahu tentang Reno? Aku dan dia—" Dea menghentikan ucapannya. Seakan berpikir sejenak. "Ah, sebaiknya tidak perlu membahas tentang dia.""Kamu yakin? Tidak ada yang perlu dijelaskan tentang masalah ini? Apakah kamu sudah melupakan Bian?" tanya Marco penuh selidik. Padahal jelas-jelas ia tahu jika di kantor tadi melihat Dea menangis gara-gara mengingat kenangan bersama Bian.Dalam sekejap saja kedu
"Belum ada perkembangan. Maafkan kakek ya, Nak?" Kakek Baya tampak bersedih."Tidak apa-apa, Kek. Kakek sudah berusaha. Mungkin besok dia akan sadar."Lusi segera menemui Bian di kamar. Perempuan itu semakin mengagumi wajah tampan milik lelaki itu."Andai saja kamu bisa berbicara hari ini. Aku pasti sangat senang."Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba kedua mata Bian terbuka. Tentu saja Lusi merasa terkejut."Kamu sudah sadar?" tanya Lusi bersemangat."Aku di mana?" tanya Bian seraya memegangi kepalanya. Ia tidak mengingat apapun selain saat dirinya tertabrak mobil dan kepalanya terbentur."Kamu di sini bersamaku, Mas. Aku Lusi calon istrimu.""Calon istri?" Bian terlihat kebingungan.Lusi meminta Bian untuk menunggu sebentar. Wanita itu segera menemui sang kakek untuk menyampaikan kondisi Bian."Kakek, lelaki itu sudah sadar. Sepertinya dia kehilangan sebagian memorinya. Mungkin dia tidak mengingat namanya sendiri.""Kamu serius, Lusi? Kamu tidak menemukan kartu identitas atau ap
Amelia tersenyum kala menyadari siapa yang datang. Sepertinya wanita paruh baya itu mulai tertarik kepada lelaki tersebut."Nak Reno? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Amelia dengan wajah sumringahnya.Amelia melihat penampilan Reno. Lelaki itu mengenakan pakaian joging."Saya ingin mengajak Dea jalan-jalan pagi, Tante. Bukankah baik buat kesehatan ibu hamil?" ungkap Reno ramah."Memangnya Nak Reno tidak bekerja hari ini? Tante sih setuju banget kalau Dea diajak jalan-jalan pagi."Amelia semakin merasa bahagia. Karena pagi itu ia ada janji dengan Reza untuk bertemu di suatu tempat."Reno hari ini libur, Tante. Ada yang handel di kantor!" jawab Reno tegas.Dea yang sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja jadi penasaran dengan siapa yang datang. Ia pikir papanya yang berkunjung untuk temu kangen dengan sang mama."Siapa, Ma? Ini sarapannya sudah siap," teriak Dea dari arah meja makan."Ayo, Nak Reno. Silahkan masuk," ajak Amelia kemudian."Terima kasih, Tante."Amelia berjala