Share

Bab 4

"Mohon maaf Pak, saya permisi." Aska bergegas keluar dari ruangan Davit.

"Saya cuma mau mengingatkan sebentar lagi kita akan meeting dengan klien besar, semua berkas yang saya suruh kerjakan sudah selesai 'kan?" tanya Alexander Wilian--CEO Angkasa Group.

"Semuanya sudah selesai Pak tapi sepertinya berkasnya ketinggalan," ujar Davit menunduk, ia merutuki diri sendiri karena telah melupakan berkas yang sangat penting.

Alex menghembuskan napas kasar. "Kenapa bisa ketinggalan? Sekarang juga kita pergi ke rumah kamu setelah itu baru ke tempat klien."

Davit kembali teringat dengan mantan istrinya, biasanya semua keperluannya selalu disiapkan oleh Aisyah, namun sekarang perempuan berlesung pipi itu sudah pergi dari hidupnya.

"Ayo berangkat!" Teriakan dari sang atasan membuyarkan lamunan Davit, lelaki itu bergegas menghampiri Alex yang sudah keluar dari ruangan.

Sesampainya di rumah berlantai dua dengan cat berwarna putih, Davit keluar dan bergegas masuk kedalam rumah.

"Astagfirullah kenapa rumah berantakan kaya gini?" tanya Davit terkejut melihat sampah cemilan yang berserakan, rumahnya terlihat seperti kandang kambing yang sangat jorok.

"Mau gimana lagi, kan biasanya Aisyah yang beresin semuanya tapi sekarang perempuan itu udah pergi," jawab Bu Wiwik yang masih fokus dengan televisi, ia tidak memperdulikan tatapan kesal dari anaknya.

"Ya makanya mulai sekarang Ibu, Sinta dan Elsa yang harus mengurus rumah dan kebutuhan keluarga," ujar Davit lirih.

"Engga mau ah, Mas cari aja pembantu untuk membersihkan rumah ini, lagian uang Mas kan banyak, jadi bisa dong untuk bayar pembantu," ujar Elsa yang di setujui oleh sang mertua.

"Aisyah aja bisa bersihkan rumah ini sendirian tapi kalian kok engga bisa? Lagian sayang uangnya kalau bayar pembantu dan zaman sekarang susah cari pembantu yang jujur dan rajin," ujar Davit panjang lebar.

"Ya jelas beda dong, Aisyah anak kampung yang sudah biasa kerja sebagai pembantu sedangkan aku anak kaya raya yang biasanya semua kebutuhan selalu disediakan oleh pembantu!" jawab Elsa dengan suara tinggi.

Davit merasakan penyesalan karena telah meninggalkan istri seperti Aisyah, selama mereka menjalani biduk rumah tangga, lelaki itu tidak pernah melihat rumah yang berantakan dan semua kebutuhannya selalu di siapkan oleh perempuan yang sampai sekarang namanya masih ada di dalam hati Davit.

Aisyah juga tidak membantah perkataan Davit, istri pertamanya akan selalu menuruti semua perintahnya, bahkan ia selalu diam walau di caci maki oleh mertua serta iparnya.

***

Sudah satu jam ia mencari kontrakan, namun tidak ada satu pun yang menerima dirinya, ia kembali menemukan sebuah fakta yang sangat besar, ternyata selama ini mertuanya selalu memfitnah Aisyah kepada para tetangga.

"Saya tidak mau menerima perempuan murahan seperti kamu! Penampilannya aja yang kelihatan soleha tapi ternyata perbuatannya tidak mencerminkan seorang muslim! Lebih baik hijabnya dibuka aja Neng! Orang di kompleks ini juga udah tahu siapa kamu yang sebenarnya!"

"Udah lama kita mau mengusir kamu dari kompleks ini tapi mertua kamu selalu melarangnya karena kasihan dengan kamu tapi sekarang kita semua bahagia akhirnya Davit mentalak perempuan murahan seperti kamu! Kita bisa bernapas lega, tidak perlu takut suami kita dirayu oleh kamu."

Pengakuan tetangga tentang perkataan mertuanya bahwa Aisyah memakai hijab karena ingin menutupi jati diri yang sebenarnya, Aisyah adalah perempuan malam dan sering gonta ganti pasangan untuk mencukupi kebutuhannya, perempuan itu sudah melakukannya sebelum menikah dengan Davit dan kebiasaan tersebut selalu terbawa hingga saat ini.

Perkataan para tetangga kompleks selalu berputar di kepalanya, ia tidak menyangka keluarga Davit tega melakukan perbuatan sekejam ini kepadanya.

Aisyah berjalan tertatih-tatih, kakinya sudah lelah untuk melangkah, namun tetap ia paksakan berjalan.

"Ya Tuhan, kemana lagi aku harus cari kontrakan," ujarnya penuh keputus asaan.

"Kenapa mereka begitu tega kepada aku? Apa salah aku? Apakah perempuan kampungan seperti aku tidak berhak bahagia?"

Cuaca memang tidak bisa diprediksi, awan yang semula cerah berubah menjadi awan hitam dan akhirnya hujan turun mengguyur jalanan ibu kota.

Aisyah berlari menuju sebuah halte untuk berteduh, tubuhnya gemetar, ia sangat takut dengan hujan apalagi disertai dengan kilatan serta petir yang menggelegar.

Hujan semakin deras disertai angin kencang dan petir, membuat perempuan itu menangis ketakutan, ia teringat kepada sang nenek di kampung, Aisyah merasa bersalah karena tidak mendengarkan nasihat dari Nenek.

"Nek, Maaf Aisyah udah durhaka kepada Nenek." Aisyah menatap ke jalanan yang tidak ada satu kendaraan pun yang lewat, seandainya waktu bisa diputar, ia akan mendengarkan semua perkataan sang nenek.

"Aaaa!" Petir menyambar pohon disamping Aisyah, membuat perempuan itu semakin ketakutan dan akhirnya pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status