Part 2
"Kamu jangan pergi ya, Atika."Wajah mantan ibu mertuaku kenapa jadi terlihat manis begini, padahal biasanya selalu sinis dan bengis. Ada kesan seperti salah tingkah si nenek sihir tersebut, akan sikap yang ditunjukkannya kepadaku.
"Ibu barusan bicara apa, aku tidak dengar?" ujarku, berpura-pura tidak tahu apa yang tadi dia utarakan, sembari mengangkat satu tas besar yang berisi pakaian ke atas ranjang tidur. Mantan ibu mertuaku lantas menghampiri, membantu menaruh satu tasku lagi di atas ranjang tidur.
'Tumben' bisik bathinku.
"Ibu bilang, kamu tidak usah pergi, Atika," ucapnya lagi, lembut terdengar, bahkan seperti memaksakan tersenyum. Aku yang tidak pernah melihat dia tersenyum padaku, malah jadi terkesan seram melihatnya, karena paras wajahnya jadi terkesan aneh. Lebih terlihat seperti menyeringai.
"Ibu bilang, aku tidak usah pergi? Aku tidak salah dengar, Bu?" tanyaku agak heran.
"Bukannya tadi Ibu yang mengusir aku untuk pergi?" tanyaku lagi, penasaran, ingin mendengarkan jawabannya. Mantan ibu mertuaku itu terdiam sesaat, senyum aneh itu masih menghiasi bibirnya.
"Kasihan Yoga, Atika, nggak ada yang ngurus." Mantan ibu mertuaku itu lalu duduk di atas kasur, tubuhnya menghadap langsung ke arahku.
"Pembantu jadi kurang satu yah, Bu, jika aku pergi dari rumah ini," celetukku cepat.
"Iya ... ehh, bukan, bukan." Keceplosan Mak Lampir itu menjawab, bahkan setangkup jemari tangannya sampai menutupi mulutnya, lalu kembali tersenyum sok manis.
"Kamu itu Menantu di rumah ini, Ibu tidak pernah menganggapmu seperti pembantu. Kamu saja yang salah paham sama ibu," ucapnya lagi, kembali bermanis-manis kata.
'Basi!' ungkap bathinku.
Padahal biasanya, kata-katanya tajam bagai menikam jantung. Seolah-olah aku ini wanita yang tidak dikasih Tuhan hati dan perasaan. Mungkin dianggapnya, aku tidak bisa membedakan, mana ucapan serius dan yang mana cuma kepura-puraan, dan yang diucapkan Mak Lampir tadi adalah sebuah kepura-puraan.
"Sudahlah, Bu, tidak usah lagi bersandiwara di depanku. Aku tahu, Ibu hanya pura-pura saja," sindirku, lalu beralih ke meja rias untuk merapikan beberapa peralatan make-up, dan memasukkannya ke dalam sebuah tas kecil.
"Ibu tidak pura-pura, Atika. Kemarin-kemarin itu, jika kata-kata ibu ada yang terasa pedas, karena ibu ingin, kamu bisa menjadi istri yang baik buat Yoga," jelasnya lagi dengan penuh kelembutan. Persis jika dia bicara di depan tetangga-tetangga rumah, terasa sangat sopan. Seolah-olah ingin menunjukkan jika dia wanita yang berkelas, dan kehadiranku di rumah ini dia anggap sudah menurunkan derajatnya di mata orang-orang di sekitaran sini.
Dengan bahasanya yang berkelas, dia sering menceritakan hal-hal yang tidak benar tentang aku. Dikemas dan disampaikan dengan bahasa yang santun. Entahlah, dari mana dia mendapatkan ilmu seperti itu. Menghina, menyudutkan, dan menjelekan, tetapi bisa dia sampaikan seperti Mario Teguh memberikan pencerahan. Sehingga di mata tetangga pun, aku yang selalu dianggap tidak benar.
"Ibu dan Henny sering memfitnah aku di depan Mas Yoga, bahkan di depan para tetangga. Ibu terus mencari cara, agar aku bisa berpisah dengan Mas Yoga, dan sekarang Ibu dan Henny berhasil melakukannya, seharusnya Ibu senang, 'kan? Jadi lucu rasanya, jika Ibu melarang aku untuk pergi dari rumah ini."
Mantan ibu mertua tidak menjawab, sementara aku mulai memasukkan tas make-up kedalam salah satu tas besar yang ada di atas ranjang. Kulihat, si penyihir sapu terbang itu diam saja, wajahnya hanya menunduk. Baru kali ini dia menundukkan kepalanya saat sedang bicara denganku, biasanya selalu mendongah angkuh. Karena aku--Atika--menantunya, dianggap tidak sederajat buat keluarganya.
"Rencana Ibu, agar Mas Yoga nantinya bisa mendapatkan jodoh yang sepadan akhirnya bisa berjalan. Semoga perempuan yang sering Ibu jodoh-jodohkan dengan Mas Yoga bisa menerima, jika nanti malam-malamnya hanya akan seperti pekuburan." Ibu mertuaku masih diam tertunduk. Entahlah, mungkin dia kemasukan setan gagu.
"Oh, iya, siapa namanya perempuan yang sering ibu ajak kemari?" tanyaku berpura-pura lupa, padahal, aku selalu ingat perempuan yang bernama Erna tersebut. Perempuan yang selalu Ibu mertua dan Henny bangga-banggakan. Wanita yang dianggap sederajat dengan mereka. Wanita yang tidak punya malu, mencoba mendekat dan bermanja-manja dengan suami orang, di depan mata istrinya.
'Mana ada perempuan berkelas, kelakuan minus macam cabe-cabean, gitu' gerutu hatiku saat itu.
"Ibu minta, kamu jangan pergi, Atika," pintanya lembut, sekali lagi. Aku terdiam, terus berpikir dan mempertimbangkan. Karena, jika dahulu....
Aku--istri yang hanya bisa diam saja, saat disuruh membuatkan minuman untuk si wanita penggoda itu. Menantu penurut yang manut saja, saat harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, padahal sudah ada pembantu yang digaji dari uang suamiku, dan aku, istri yang sabar menunggu selama bertahun-tahun, seperti apa rasanya bercinta dengan pasangan halal.
Aku--istri yang pasti dianggap bodoh, lemah, oleh sebagian besar emak-emak pembaca group komunitas menulis, dan aku adalah salah satu member di group itu, yang hanya biasa berkomentar "next atau lanjut."
Yah, Akulah Atika--istri bodoh dan lemah tersebut, tetapi sekarang tidak lagi.
Saya harus membalas semua perlakuan mereka terhadap saya selama ini. Sepertinya mereka akan enak sekali, bila kita pergi begitu saja dari rumah, tanpa sempat membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapku.
Saya adalah perempuan yang selama ini teraniaya dan sedang mencoba untuk bangkit kembali. Sekarang saatnya, saya mulai bernegosiasi dengan mantan ibu mertua dan mencari keuntungan dalam negosiasi ini.
"Jika Ibu bersedia mengikuti apa mauku, akan aku pertimbangkan, untuk tidak pergi meninggalkan putra Ibu, karena jika perempuan lain, mungkin aib Mas Yoga bisa digunakan ke mana-mana, dan Ibu juga yang akan malu, 'kan? Jika anak laki-laki satu- satunya yang ibu bangga-banggakan, ternyata cuma ayam sayur," sindirku, pedas. Perempuan paruh baya itu semakin diam tertunduk.
'Sudah diceraikan atau masih menjadi istri dari Mas Yoga pun tetap tidak ada bedanya, toh tetap saja aku perempuan yang nanti akan dianggurin. Sekarang saatnya, aku mengambil kembali waktu empat tahun kemarin yang membuatku sangat menderita.
'Biarlah nanti aku hanya menjadi istri pajangan, tapi aku punya posisi tawar sekarang' Terbayang rencana diotakku.
Dan aku yang akan mulai menjadi sutradaranya, ipar dan mertuaku harus membayar semua perbuatan mereka terhadapku selama ini.DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 3"Berarti kamu bersedia untuk tidak jadi pergi, kan Atika?" tanyanya lagi, masih terdengar lembut."Tergantung," ujarku santai saja, sambil menutup reslting tas, menoleh pun tidak kepadanya."Asal kamu jangan pergi meninggalkan Yoga, dan berjanji untuk tidak menceritakan tentang penyakitnya kepada orang lain, ibu akan ikuti," ucapnya, wajahnya menoleh sesaat kepadaku yang masih berdiri di depannya. Beberapa saat kemudian, nenek sihir yang satunya lagi ikut masuk ke dalam kamar. Henny, mahluk si pemakan segala. Tubuhnya terlihat bulat, tidak pernah dipakai untuk bergerak dan bekerja keras, karena dia pikir mungkin karena ada aku. Babu gratisnya.Gerak tubuh Henny pun terlihat canggung, senyum di wajahnya mirip persis dengan ibu mertuaku, terlihat menyeramkan. Karena penuh kesandiwaraan dan kepura-puraan. Melakukannya karena sebuah keterpaksaan, bukan karena ketulusan yang berasal dari hati. Jadi senyumnya terasa hambar."Kamu masuk ke kamarku,
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 4"Kesini, kan gelangku!" sentakku bengis. Nyonya besar itu dengan ragu-ragu mulai melepaskan gelang emasnya satu per satu. Wajahnya terlihat cembetut, seperti tidak rela melakukannya, lalu memberikan gelang itu dengan wajah yang terlihat jengkel, sedikit mengerucut bibirnya. Kuambil cepat gelang itu dari tangannya.'Bodo amat, emang gue pikirin' sinisku dalam hati. Sekarang ini, aku hanya berusaha meminta sesuatu yang memang sudah menjadi hakku, yang sudah dirampas seenaknya oleh mereka berdua selama hampir empat tahun, dan aku dulu hanya diam membiarkan saja kedzaliman itu mereka lakukan terhadapku."Surat-suratnya mana, Buk?" tanyaku lagi, sambil melihat-lihat gelang yang kupegang. Kembali si nyonya besar itu diam saja, tidak menyahut. Wajahnya masih tertekuk, matanya menatapku tajam. Kilat amarah dan kebencian terpancar dari sana. "Aku hanya minta hakku, loh, Buk, bukan merampas milik Ibu," jelasku lagi. Mantan ibu mertuaku diam saja, lal
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 5"Auuwww ....!"Si pemakan segala itu menjerit kesakitan saat telapak tanganku menamparnya sangat keras. Telapak tangan yang sudah bekerja sangat keras di rumah ini. Terlihat memerah kulit wajahnya yang terkena tamparan. Berhenti langkahnya sebelum sempat menyentuh tubuhku. Telapak tangannya lantas menutupi pipinya yang memerah, mukanya nampak meringis kesakitan dan matanya mulai meremang, kemudian si omnipora itu mulai menangis.'Cengeng' rutuk bathinku.Si Mantan ibu mertua lantas mendekati putri manjanya, menatap tajam ke arahku. Tubuhnya gemetar dan wajahnya menyimpan kemarahan, jemari tangannya terlihat mulai mengepal."Ibu mau coba-coba juga." Kutantang dan menatap balik wajahnya. Perlahan dia mulai mengendurkan urat lehernya."Henny yang ingin menyerangku terlebih dahulu, dan aku hanya membela diri. Ibu juga bisa lihat sendiri,'kan?" ujarku membela diri.Perempuan paruh baya itu diam saja sembari menenangkan si putri manjanya."Walau t
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 6"Heiii .... Henny, mana?" panggil si perempuan pengerat itu. Kuacuhkan saja, tidak kuhiraukan sembari terus memasukkan dan merapikan pakaianku ke dalam lemari."Hei! Aku panggil kamu, Henny di mana?" tanyanya lagi. Aku lalu menengok ke arahnya, berpura-pura seperti tidak ada orang di depan pintu kamar."Ada suara, tetapi nggak ada orangnya, mungkin ada Setan Pengganggu di sini," ucapku dengan sedikit keras. Sengaja kulakukan agar si betina penganggu itu ikut mendengar. Lalu kembali membelakanginya sambil terus sibuk memasukkan pakaian ke dalam lemari pakaian."Kurang ajar kamu, ya, nggak punya sopan santun!" pekiknya, aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya, tapi dari lengkingan suaranya, sepertinya dia marah besar dan tersinggung.'sebodo amat' bathinku, terus saja mengacuhkannya, kuanggap dia tidak pernah ada di kamar ini. Terus saja melanjutkan aktivitasku."Hei! Atika! Kamu jangan pura-pura budek, ya!" sentaknya lagi. Aku lalu menoleh ke
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 7Erna, wanita pengganggu rumah tangga orang yang mengaku bermartabat itu berucap pedas dan menusuk. Kuberbalik badannya menatap tajam, ada Henny di sampingnya, dan kemungkinan besar Henny juga yang bercerita tentang talak yang sudah Mas Yoga hadiahkan untukku."Tadi Mbak Erna ngomong apa?" tanyaku, tetap berusaha baik-baik terlebih dahulu. Baru kugiles seperti cucian kotor."Aku bilang, Kamu perempuan kampung yang tidak punya malu! Sudah dicerai Mas Yoga, tapi masih mengaku-ngaku sebagai istrinya." Suaranya malah terdengar semakin keras."Memangnya, Anda punya malu?" Kuberbalik bertanya kepadanya."Jelas dong. Aku lebih berpendidikan daripada kamu, jadi aku lebih paham apa itu rasa malu," jawabnya cepat, wajahnya mendongak angkuh. Merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan aku. "Berusaha mendekati pria yang sudah beristri, apa itu termasuk punya malu?" sindirku pelan."Mendatangi suami orang tanpa mengenal waktu, lalu bermanja-manja di dep
Semangkok mie ayam ditambah bakso dan es campur menemaniku, selepas menjual dua gelang emas tadi di pasar. Untung saja harga emas sedang naik, jadi saat dijual tadi harganya tidak jauh berbeda dengan yang di kwitansi pembelian, walaupun per gram emasnya mendapatkan potongan 10 ribu. Dompetku penuh uang, hasil dari menjual emas tadi. Justru yang membuat saya bingung, harus diapakan uang tersebut. Ingin mengirim uang ke ibu di kampung, satu pun tidak ada yang punya rekening bank, baik ibu, maupun ke dua adikku, sementara bapak sudah sepuluh tahun yang lalu pulang.Keberadaanku di kota ini pun, karena diajak tetangga rumah di kampung, untuk ikut bekerja di pabrik, tempat di mana dia sudah bekerja terlebih dahulu, dan posisi pabrik waffer tempatku bekerja dulu, tidak terlalu jauh dari pasar tempat kumakan mie ayam sekarang ini. Mas Yoga dulunya adalah atasanku di pabrik wafer tersebut. Jabatannya sebagai manager produksi, sedangkan saya hanyalah karyawan operator biasa. Tetapi setelah p
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 9Menjelang sore, aku kembali pulang sembari membawa sebungkus mie ayam dan dua bungkus es campur, untuk mantan ibu mertua dan dua anaknya Henny. Kembali menaiki angkutan kota berwarna merah yang banyak menunggu penumpang di depan pasar. Bisa dikatakan, pasar yang aku kunjungi tersebut adalah pangkalan akhir angkot yang kunaiki.Sesampainya di rumah, sepertinya Erna masih berada di dalam, karena kendaraan yang dipakainya masih terparkir di halaman rumah, dan benar saja, baru saja masuk ke ruang tamu, terlihat mereka sudah berkumpul di situ.Tiga nenek sihir berkumpul bersama, sepertinya mereka semua memang sengaja menunggu kepulanganku, dan dua tas besar milikku juga terlihat di situ. Kucoba bersikap tenang, sembari berteriak memanggil dua anak Henny, yang sangat senang menerima pembelian dariku, sekalian dengan mie ayamnya kuberikan untuk mereka berdua."Tasku, kenapa ada di luar?" tanyaku, santai saja. Lalu mendekati dan duduk di kursi depan
Mata Erna, perempuan yang mengaku pintar dan bermartabat itu membulat sempurna, saat saya bilang, jika "perkakas" Mas Yoga tidak lagi bisa berfungsi maksimal. Saya sendiri tidak paham apa penyebabnya. Tiap-tiap tempat yang kami datangi selalu memberikan keterangan diagnosa yang berbeda-beda.Seperti tidak percaya, Erna mengambil selembar kertas di atas meja, membaca sebentar lalu diam, dan dengan cepat mengambil selembar kertas lagi, dan lagi. Membacanya cepat, kali ini wajahnya benar-benar terlihat kaget maksimal, benar-benar seperti orang yang sedang panik."Cinta Mbak Erna, 'kan tulus, tidak masalah dong dengan keluhan yang diderita Mas Yoga," sindirku santai saja sambil menyenderkan tubuh di sofa. Sementara mantan ibu mertua dan Henny, paras wajahnya terlihat tegang sekali. Mereka seperti sedang menunggu, apa ucapan Erna selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.Erna mulai terlihat seperti orang linglung, seperti sedang berpikir keras. Sedikit ragu-ragu dia melirik