Siapa yang Melakukan Ini?Ya,Tuhan! Aku baru menyadarinya jika tadi Tiara hanya mengenakan sebelah anting, dan ... anting itu, ya, tak salah lagi ... sebelah antingnya, ada padaku!Gegas aku mengejarnya, aku tidak akan bertanya lagi kenapa ia menggunakan anting sebelah saja. “Ini bukan satu kebetulan, aku yakin itu!” Kupercepat langkah, Tiara jangan sampai lolos. Aku harus mendapat jawaban saat ini juga.“Aisyah ....” Tiba-tiba seseorang memanggil sehingga menghentikan langkahku.“Mama ....”“Sudah? Kita pulang?”“Ehm, itu, Ma ... sebentar, Ma, Aisyah ada perlu dulu,” ucapku seraya melanjutkan langkah tanpa menunggu jawaban Mama yang bertanya, ”Ada apa? Yudha kenapa?”Kini aku telah sampai di lobi rumah sakit dan mataku tak dapat menemukan Tiara, ke mana dia? Secepat itu dia pergi? Aku celingukan mencarinya, tetapi masih juga tak kutemukan. Si*l! Kuputuskan untuk kembali ke ruangan Yudha, dengan langkah gontai dan kepala dijejali beribu pertanyaan aku menuju kamar Yudha.Sampai di
Misteri sebelah antingSudah dua hari tak ada kabar apa pun dari Yudha. Tumben, aneh sekali dia. Sejak di rumah sakit tempo hari, dia tak pernah muncul lagi. Tentang perempuan yang Ayah pergoki tengah mengendap pun tak jelas infonya, hilang bersama dengan si pencari info.Ponsel Yudha pun selama dua hari ini tidak aktif. Ah, apa dia ke Singapore, ya? Bukankah selama ini Yudha selalu bolak-balik Singapore untuk mengurus bisnis ayahnya. “Ya, sudahlah nanti juga dia nongol sendiri.” “Syah ....” Terdengar panggilan Ibu dari arah belakang dan sukses membuatku melonjak.“Ibu ....” Tak bisa kusembunyikan rasa kagetku.“Aisyah lagin mikirin apa? Kok, sekaget itu?“Enggak, Bu, Aisyah hanya kepikiran Yudha. Kok, sudah dua hari ini enggak ada kabar sama sekali.“Hmm, mungkin Nak Yudha sedang banyak urusan dan gak sempat kasih kabar,” ucap Ibu bijak.“Maybe,” jawabku seraya menghampiri Ibu dan duduk di sampignya.Aku menatap wajah Ibu yang katanya lebih mirip aku, padahal menurutku terbalik, a
PoV Yudha“Hei! Siapa itu!” Terdengar seruan Om Rahadi dari luar kamar dan refleks membuatku berlari menghampiri.“Ada apa, Om?” tanyaku.“Ada seseorang mengendap barusan.”“Ke mana sekarang, Om?”“Lari ke arah sana.” Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Om Rahadi, masih terlihat seseorang berlari menjauh, gegas aku mengejarnya, tak begitu sulit. Kini jarak kami sudah semakin mendekat dan jelas terlihat kalau dia ... seorang wanita!“Hei, Tunggu!” aku semakin melebarkan langkah untuk segera dapat menyusulnya.“Tunggu!” Kini aku telah benar-benar dapat mengejarnya, kucengkeram pergelangan tangan dan menyeretnya ke tempat yang lebih sepi.“Siapa kamu dan apa maksudmu?”“Lepas, Yudha! Sakit!”Dia menyebut namaku yang artinya dia mengenalku! Dan sepertinya aku tidak asing dengan suaranya.“Ti-Tiara? Apa benar ini kamu, Tiara?” “Ya, ini aku.” Jawabnya seraya melepas masker dan topi yang dikenakannya.“Ngapain kamu di sini? Dan tadi, apa yang kamu lakukan?” selidikku.“Hanya mengikutimu.”
Bab 10: “Kita harus ceritakan semuanya pada Aisyah, Yah.””Ibu benar, tapi bukankah kita juga belum tahu yang sebenarnya terjadi? Ayah akan mencari informasi dulu, setelah yakin, baru Ayah akan ceritakan semuanya pada Aisyah.”“Kita harus kembali ke panti itu, Yah, semoga ada petunjuk.”“Iya, sekarang Ibu fokus sehat dulu. Kalau Ibu seperti ini, gimana kita bisa pergi ke panti?”Panti? Ayah dan Ibu bicara soal panti, apa sebenarnya yang disembunyikan orang tuaku? Kuputar gagang pintu seraya mengucap salam, “Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam. Kok, lama sekali, Nak?”“Maaf, Yah, tadi Yudha telepon katanya mau ke sini, jadi Aisyah tunggu dulu tapi lama. Ya, udah ditinggal saja.”“Oalah, anak baik itu mau ke sini?” Kujawab pertanyaan Ayah dengan anggukan. Tidak mungkin kuberitahukan pada Ayah bahwa aku bertemu dengan ibunya Mas Adnan, dan mengenai kondisi mantan suamiku itu. Selama ini Ayah mengenal Mas Ardan sebagai pria yang taat agama, mustahil terjerumus pada hal-hal yang ber
"Ibu, Ayah … apakah aku memiliki saudara kembar?"“M-maksudmu?”“Ya, Aisyah bertanya apa selama ini Aisyah memiliki saudara kembar?”Aku bertanya kepada Ayah yang dari bahasa tubuhnya dapat kutangkap jika Ayah sedang berusaha menutupi sesuatu. Terlebih saat di rumah sakit tadi, secara tak sengaja aku beberapa kali melihat Ibu dan Ayah memainkan mata seolah memberi kode.“Aisyah, kamu adalah putri kami satu-satunya, tak ada alasan kamu untuk menanyakan hal ini kepada kami karena memang hanya kamu seorang, Nak.” “Maaf,Ayah, bagaimana dengan foto itu? Orang yang ada dalam foto itu sangat mirip denganku, sementara foto itu asli tanpa rekayasa.”Ayah kembali termenung, kali ini kedua alisnya tertaut, sementara Ibu menghela napas dalam. Wanita yang melahirkanku itu tampak seperti tak tenang.“Ayah, Ibu, Aisyah ingin menunjukkan sesuatu,” ucapku seraya membuka tas tangan yang sedari tadi kugenggam.“Apa itu, Nak?” tanya mereka bersamaan.Aku mulai meletakkan satu lembar foto yang gambarn
DITALAK LIMA MENIT SETELAH AKADBab 8BUKTI“Buktikan, jangan hanya buang-buang waktuku saja!” Ayah berkata dengan tanpa menoleh ke arahku. Hatiku teriris mendengar ucapannya. Ayah yang dulu selalu memperlakukan aku dengan hangat, kini berubah drastis menjadi pembenci paling hebat. Namun, aku tidak bisa menyalahkan mereka yang kecewa atas foto-foto itu. Orang tua manapun, sebebas apa pun mereka mempersilakan sang anak untuk bersosial, pasti akan sakit dan kecewa jika tahu bahwa anaknya sudah menodai diri sendiri, memberikan tubuh pada lelaki tanpa ikatan pernikahan. "Aku sudah membuat janji dengan Dokter Diana. Aku yakin hasilnya nanti akan meruntuhkan rasa kecewa dan marah Ayah padaku," jelasku. Keduanya duduk di kursi tunggu. Ibu masih diam dengan wajah dinginnya. Ayah mendecak kasar. Dia menjawab ucapanku dengan nada tinggi, "kamu masih berani memanggil kami Ayah dan Ibu?" Aku terdiam. Memangnya bagaimana lagi aku harus memanggil mereka? Ikatan darah kami tidak akan perna