PoV Yudha
"Yudha, aku lagi senang sekali!" Mataku membulat penuh, antusias dengan topik pembicaraannya. Kami duduk saling berhadapan sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kafe dengan nuansa alam terbuka. Belakangan ini kami jarang bertemu karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Apa itu? Katakan padaku hal yang membuatmu sebahagia ini." Gadis berhijab yang memiliki senyuman termanis di dunia itu kembali tersenyum seraya menutup mulut dengan jemari lentiknya. Tiba-tiba wanita yang lebih pantas disebut Bidadari itu bangkit dari duduknya. Aku mengerutkan kening. Mengelus-ngelus dagu yang tidak ditumbuhi oleh janggut sedikit pun. "Aku mau menikah dengan Mas Adnan," ungkapnya seraya mengangkat tangan kirinya dan tampaklah tersemat cincin melingkar di jari manisnya. "Menikah? Kamu tidak bercanda, ‘kan?" tanyaku memastikan. "Tentu tidak. Mas Adnan sudah melamarku kemarin dan kami setuju untuk segera menikah, begitu pula dengan keluarga besar, mereka semua senang mendengar kabar ini." Aku terdiam seribu bahasa. Ada satu pukulan dahsyat dari benda tumpul yang mendarat, menghujam ke dalam jantung dengan presisi yang akurat … benda itu tak kasat mata. Hati dan pikiranku seketika tidak bisa bekerja dengan normal. Semuanya kacau! "Yud, kok, diam?" "Ini … kabar bahagia buatku juga." Suaraku mengecil, sedikit parau. Beruntung Aisyah tidak menyadari apa yang sebenarnya aku rasakan. "Tentu saja, bukankah kamu yang bilang dari dulu. Kalau aku bahagia, kamu juga bahagia, begitu, ‘kan? Atau kamu lupa?" "Aku tidak lupa. Mana mungkin aku lupa dengan momen-momen indah kita. Hanya saja, ini menyakitkan buatku Aisyah," gumamku dalam hati. "Yud? Kok, melamun, sih? Aku memberitahu tahu kamu karena ini penting buatku, dan kamu orang yang penting juga dalam hidupku, Yudha." "Iya, terima kasih sudah menganggapku begitu." Selanjutnya, dia terus berceloteh riang, sementara aku sibuk menata hati. Pria itu … pria bernama Adnan yang selalu disebutkan namanya bersamaan dengan pujian dari Aisyah, hatiku teremas setiap kali mendengarnya. "Bayangkan, kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan kemarin dia tiba-tiba melamarku dengan cincin dan bunga, romantis sekali, ‘kan?" "Iya … sangat romantis." *** Semua urusan hari ini sengaja aku selesaikan lebih awal agar bisa pulang lebih cepat. Meski aku tidak yakin hasilnya bisa maksimal karena isi kepala ini penuh oleh ucapan Aisyah. Apa aku salah memendam perasaan ini? Perasaan yang membuatku merasa gila setiap harinya saat melihatmu bersama pria lain. Aisyah, kamu kelihatan bahagia sekali setiap bertemu dengan pria itu. Senyuman Aisyah yang selalu lebih lebar ketika Adnan menemuinya, dan aku hanya bisa mengamati mereka dari kejauhan. Kami sudah berteman sejak kecil. Wanita ini adalah cinta pertamaku, bahkan perasaan aneh ini masih bertahan hingga. Lagipula, tidak mungkin pria dan wanita bersahabat tanpa melibatkan perasaan salah satu dari mereka, ‘kan? Aku menatap foto masa kecil kami yang tertawa bersama. "Baiklah. Asalkan kamu bahagia, aku akan memendam perasaan ini selamanya. Tidak apa-apa merasa sakit jika itu bisa membuatmu tersenyum setiap harinya, meski bersama pria lain." *** Sudah tiga hari sejak Aisyah mengumumkan rencana pernikahannya dan selama itu pula hati ini dilanda galau. Hari ini, undangan darinya tiba yang dikirimkan melalui pos. "Aku mohon, datang saat acara akad nikah! Sahabatku harus datang!" Begitulah isi catatan sticky note yang berada di atas kertas undangan. Aku menarik napas dalam, mencoba untuk legowo. "Apa, sih, yang kau pikirkan Yudha? Sudah. Relakan saja, atau ... tetap mengejar?" Untuk memberikan kejutan pada Aisyah, aku sengaja mengirimkan chatting padanya bahwa aku tidak bisa datang karena harus ke Singapore, ada masalah dengan bisnis keluargaku di sana. Dua minggu kemudian, dengan kepingan-kepingan hati yang berusaha kutata kembali, aku datang untuk menghadiri pesta pernikahannya lebih awal. Ya, kuputuskan untuk menyaksikan wanita terkasihku saat acara akad nikah yang mungkin hanya akan dihadiri oleh keluarga inti, dan orang-orang terdekat saja. Menurut jadwal yang tertera di dalam surat undangan, acara akad nikah akan diadakan pukul 13.00 WIB dan jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 12.49 WIB. Aku memukul setir dengan perasaan kesal, barisan kendaraan yang bergerak lambat di depanku membuat waktuku terbuang banyak di jalanan. "Aku berharap kamu bahagia dengan pria pilihanmu, Aisyah." Setelah melewati waktu beberapa saat lamanya dalam jebakan kendaran lain, akhirnya kendaraanku bisa bergerak leluasa dan segera kutancap gas karena waktu sudah menunjukan sepuluh menit berlalu dari acara yang di jadwalkan. "... mulai saat ini, kamu bukan istriku lagi, aku menjatuhkan talak untukmu!" Langkah lebarku seketika terhenti tepat saat memasuki ruangan ini karena mendengar kalimat yang berasal dari arah depan, tepatnya dari meja akad nikah. Ya, kalimat itu diucapkan oleh seorang lelaki yang berpakaian pengantin. Untuk sesaat, aku mematung tak percaya. Sementara di depan sana, keadaan mulai riuh. Dapat kulihat jelas Aisyah yang berusaha mempertahankan harga dirinya seorang diri. Keadaan menjadi tidak terkendali setelah laki-laki yang menjadi pelabuhan cinta Aisyah itu melemparkan sejumlah foto di depan orang tua, Penghulu, dan Saksi. Keadaan Aisyah semakin kacau, pujaan hatiku itu menangis meraung dan seolah tak ada satu pun berpihak padanya. Aku sakit melihatnya dipermalukan di depan banyak orang, dibuang dan dihina oleh keluarganya sendiri karena pernyataan Adnan mengenai perilaku bejatnya dengan seorang pria. "Ih serius? Wanita jalang seperti ini yang mau dinikahi oleh Adnan? Gila!" Aku mendengar ucapan seseorang, sepertinya dari pihak keluarga Adnan. “Bersyukurlah diceraikan sekarang, gak kebayang kalo sampe pernikahan mereka berlanjut. Ngeri!” “Enggak nyangka, ya, beda banget sama penampilannya!” “Sudah biasa! Jaman sekarang penampilan dan kelakuan bisa saling bertolak belakang.” Berbagai hujatan yang dilontarkan terdengar olehku dan itu cukup membuat sesak. Tak ingin mendengar lagi yang lebih pedas dari mulut mereka, aku putuskan untuk membubarkan mereka yang hadir. Cukup susah awalnya, tetapi akhirnya semua bisa diatasi dan mereka mulai meninggalkan ruangan ini. Sementara itu, Aisyah masih berjuang sendiri. Tak ada satu pun yang membelanya, termasuk aku.Ya, aku lebih memilih meninggalkan ruangan ini dan kembali ke mobil. Duduk di belakang kemudi seraya meremas kasar rambutku. Aku kecewa, datang dengan berniat memberikan kejutan padanya, nyatanya malah aku sendiri yang terkejut dengan apa yang terjadi. Aisyah, benarkah kamu seperti itu? Benarkah kamu seperti yang dituduhkan lelaki itu? Lalu bukti foto itu? Ah, semuanya cukup membuat aku frustrasi dan kecewa padamu Aisyah! Tidak! Bukan ini yang aku harapkan, Aisyah. Harusnya ini menjadi hari bahagiamu bukan? Kenapa malah begini? Kenapa kamu harus menangis di pesta pernikahanmu sendiri? Kenapa kamu harus dipermalukan di depan semua orang oleh pria yang kamu cintai dengan tulus? Kenapa orang tuamu begitu kejam memperlakukan putri berharga mereka. Cukup lama aku hanya berdiam diri di dalam mobil hingga akhirnya aku melihat Aisyah berlari seperti sedang mengejar seseorang dan masih mengenakan baju pengantinnya. Aku menyalakan mesin dan bergerak mengikutinya. Bersambung ....Bab 40Kisah Kelam Hidup Azmina. “Azmina! Keluar sebentar, aku mau bicara! Aku minta maaf soal yang tadi. Aku benar-benar minta maaf, Sayang! Aku mohon, buka pintunya, kita bicarakan baik-baik.” Ketukannya di pintu rumah tidak juga berhenti. Dia berulang lagi memencet bel agar aku keluar. “Aku tahu kamu ada di dalam, Sayang. Sebentar saja, aku minta maaf.” Karena kasihan, aku turun dari ranjang kamar menuju ruang depan dan membuka pintu rumah perlahan. Begitu pintu terbuka, Raja langsung memelukku sangat erat. Dia mengusap rambutku dan berulang kali mengucapkan kata maaf meski kuabaikan semua itu. “Mau apa kamu kemari, Raja? Tidak ada gunanya kamu minta maaf. Semuanya sudah terlanjur terjadi,” ucapku melemah karena sikapnya. “Kalau begitu, kamu mau aku bagaimana agar kesalahanku bisa dimaafkan? Apa pun! Kamu bisa meminta atau menyuruhku melakukan apa pun, Sayang, asalkan kamu memaafkanku.” Aku menggeleng. Membuka lebar-lebar pintu rumah. “Aku cuma minta satu hal. Selama b
Bab 39PoV Azmina. Mataku memerah, menatap nyalang pada sosok pria yang selama ini sangat kupercaya. Sosoknya yang kuanggap sebagai rumah tempat berpulang dari semua rasa sakit dan kekejaman takdir, malah menipuku untuk bertemu dengan wanita sialan itu! “Tidak ada sisi dalam kehidupanku yang adil, Raja! Semuanya buruk, semuanya sial! Semuanya membuatku muak! Tapi, kamu masih juga menipuku demi membantu wanita itu? Kenapa? Kenapa Raja? Kenapa semua orang berpihak padanya? Kenapa semua orang menganggapnya spesial sementara aku tidak? Kenapa dia dianggap sebagai pembawa keberuntungan, anak manis dan cantik yang suci dalam semua hal, sementara aku? Aku begini karena takdir, Raja! Wanita mana yang mau hidup hina sepertiku jika bukan karena keadaan?!” Semua emosi terpendam dalam diriku luruh seketika setelah mengatakan semua itu. Aku menangis sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Azmina, aku tidak bermaksud untuk menipumu atau apa. Justru, aku mau membantu mereka agar s
Bab 38Pertemuan tak berkesan “Raja!” Kami bertiga sontak menengok ke arah sumber suara. “Azmina ….” Mataku membelalak terkejut. Saat melihatnya langsung, aku seperti melihat diriku sendiri tanpa hijab, secara keseluruhan kami memang sangat mirip, bahkan terlalu mirip! Azmina sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Dia memakai gaun sederhana sepanjang lutut dan memakai sepatu hak tinggi. Melihatnya, aku langsung bangkit dari tempat duduk agar bisa melihat Azmina dengan lebih jelas. Saat mata kami bertatapan, dia itu berhenti tersenyum. Matanya membulat besar, langkah kakinya terhenti di seperempat jalan. “Kamu …,” ucapnya. Gegas aku berlari menghampiri Azmina yang masih terkejut dengan situasi ini. Aku membuka lebar-lebar tanganku dan hendak meraihnya ke dalam pelukan. Namun, dia menepisku dengan kasar! “Apa-apaan ini?! Kamu bilang mau bertemu dengan klien, apa mereka klien nya?!” tanya Azmina dengan marah tanpa menatapku sama sekali. Dia mengabaikan aku dan menghampir
Bab 37Kembar Identik Usai mengucapkan salam tanpa menunggu jawaban dari Yudha, aku menutup sambungan telepon itu secara sepihak. Lelah dengan informasi yang tiba-tiba ini, aku merebahkan diriku di kasur. Bingung apakah aku harus datang ke sana dan bertemu dengan Azmina walau tidak siap, atau berdiam diri saja di rumah? “Bukannya apa, aku cuma masih takut jika harus bertemu dengan Azmina. Kami pasti bakalan canggung, kan? Apalagi bertemunya bukan karena moment haru seperti kebanyakan orang, tapi karena suatu masalah.” “Dan, bagaimana jika ternyata pelakunya bukan Azmina? Bagaimana kalau selama ini aku salah menduga dan cuma menuduhnya sebagai pelaku tanpa bukti yang kuat … bagaimana kalau ternyata, dia juga korban dari kejadian ini, aku harus melakukan apa kalau kenyataannya berbeda dari yang selama ini aku pikirkan?” Kepalaku sakit memikirkan jawabannya. Aku memutuskan untuk tidur. Namun, Ibu masuk kamar dengan raut wajah khawatir. “Nak, kamu belum makan malam? Ibu panggil
Bab 36:Rencana “Saya butuh bantuan Anda … mengenai keberadaan Azmina—” “Tidak! Dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk! Elo jangan menuduhnya sembarangan tanpa bukti!” ucap Raja kesal memotong perkataanku. Dia menarik rambutnya frustrasi, melihat lagi foto-foto itu dengan teliti. “Kenapa? Anda ingat sesuatu?” tanyaku. “Foto-foto ini … memang benar asli, gue ingat sering memesan hotel untuk kami berdua, tapi pelaku yang menyebarkannya ….” “Saya menduga pelakunya adalah Azmina.” “Apa?” Mata Raja membesar, menatapku dengan marah. Napasnya memburu, dia menarik kerah pakaianku dan memojokkanku. “Hei! Gue bilang jangan sembarangan menuduh! Menuduh tanpa bukti itu adalah kejahatan! Lagi pula, orang sinting mana yang mau menyebarkan foto mereka sendiri dengan adegan seperti ini pada orang banyak? Tidak ada?!” Aku melepaskan cengkeraman Raja dan balas melakukan hal yang sama padanya, kali ini aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi, “Karena itu saya butuh bantuan Anda u
Bab 35 Terbongkar ( PoV Yudha ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??! Aku telah bersiap untuk menangkis serangan Adnan, tetapi saat dia mengucapkan kalimat itu, arah pandanganku berubah mengikuti arah tatapan matanya. Mataku membelalak kaget! Wanita yang dimaksud oleh Adnan adalah Azmina! Meski wajahnya terhalang oleh tubuh CEO gila itu, perawakannya sangat mirip dengan Aisyah! Gegas aku mengejarnya menggunakan mobil. Kulihat Adnan pun melakukan hal yang sama. Kami melakukan kejar-kejaran di jalan raya. Aku memojokkan mobil yang dinaiki oleh Azmina di sebelah kanan, kemudian Adnan melakukannya di sebelah kiri. Sialnya, tidak beberapa lama kemudian, Adnan menghentikan aksinya dan malah tertinggal di belakang. Astagfirullah, bagaimana ini? Bisa-bisa aku kehilangan jejak! Benar saja! Saat ada sebuah truk yang melintas di depan, mobil yang kukejar raib entah ke mana. Si*l! “Ke mana perginya mobil itu?” Kuedarkan pandangan ke sekitar, sayangnya mobil itu tidak kunjung kutemu