Bab 5:
PoV Adnan "Ayo kita menikah." Aku menyodorkan cincin lamaranku padanya, berlutut di hadapan Aisyah, juga memberikan sekuntum bunga merah muda yang kupesan jauh-jauh hari bersama cincin itu. "Hah? Kapan? Sekarang?" jawabnya menggemaskan. Matanya membulat, wajahnya memerah, dia tersenyum senang kemudian menangis terharu setelah aku mengucapkan kalimat yang paling ingin didengarnya setelah kami menjalin hubungan selama tiga tahun. "Haha, bukan. Maksudnya, aku ingin segera menikah denganmu. Aku pikir tiga tahun cukup untuk saling mengenal. Orang tua kita juga sudah merestui." "Mas Adnan bicara begini serius, ‘kan? Tidak bercanda?" "Mana mungkin aku bercanda. Aku ingin kita segera ke tahap yang lebih serius, Aisyah." "Mas, terima kasih. Aku terharu juga bahagia. Selama ini pun kamu tidak pernah merendahkan martabatku." "Tentu saja, Aisyah. Tidak ada alasan untuk aku melukai harga diri dan perasaan dari orang yang aku cintai. Kalaupun itu terjadi, artinya aku sudah gila atau terlalu kecewa." Kami saling berbincang dari hati ke hati di sebuah kafe yang menawarkan pemandangan indah, menyegarkan dengan tema taman-taman bunga. Beberapa hari ini aku sibuk mengurus bisnisku yang semakin berkembang. Dan sekarang menumpahkan semua perasaan rinduku dengan meluangkan waktu dengannya, Aisyah, wanita cantik dan terhormat yang sangat aku cintai. "Bagaimana? Kamu belum menjawab lamaranku, loh. Aku tidak sabar mendengarkan jawabannya. Lututku sudah keram," ucapku dengan nada bercanda. Aisyah tersenyum lebar, sudut bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, "Bismillah, aku terima, Mas! Aku terima lamaranmu," jawabnya diiringi tetesan air mata.Walaupun baru lamaran yang belum melibatkan keluarga besar, tetapi itu cukup membuat hatiku bahagia. Impian untuk hidup dengan Aisyah tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Secinta itu aku terhadapnya. Tiga hari kemudian, sedikit mendadak. Kami melakukan acara lamaran sederhana. Setelah lamaran itu disetujui, kami sekeluarga sepakat agar pernikahannya dilakukan sekitar dua bulan kemudian untuk melakukan persiapan yang matang. Isi pikiranku semuanya mengenai wanita berhijab itu. Aku mendambakan kehidupan yang harmonis bersamanya. Hari-hari bahagia yang akan kujalani bersama Aisyah, selalu terbayang jelas setiap detik dalam benakku …. Penantian selama tiga tahun ini … pasti akan berbuah manis. Insya Allah. *** Menurut prakiraan cuaca, seharusnya hari ini cerah tanpa hujan atau awan mendung. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Aku bersiap untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor untuk mengurus beberapa hal. "Aku rindu dengan Aisyah. Dia sedang apa, ya? Apa aku coba telepon saja? Tapi ini masih terlalu pagi. Mungkin dia masih istirahat," ucapku. Padahal kami baru bertemu kemarin untuk makan malam bersama keluarga besarnya. Sedikit taburan garam di atas telur mata sapi, semangkuk sereal, dan segelas air putih hangat, aku siap untuk sarapan. Tak sampai tiga puluh menit, aku telah tiba di kantor. Suasana masih cukup sepi, aku langsung naik dengan menggunakan lift khusus petinggi perusahaan.“Selamat pagi, Pak Adnan,” sapa Nita--sekertarisku--begitu aku melewati mejanya yang terletak di depan ruanganku.“Pagi, Nita. Gimana? Ada update apa kemarin setelah saya pulang?” tanyaku.“Tidak ada, Pak, hanya datang satu paket saja yang ditujukan untuk Bapak dan sudah saya simpan di atas meja,” sahutnya.“Paket? Dari?” tanyaku penasaran.“Tidak ada nama pengirimnya, Pak, tapi ada kartu terselip.”“Oke, baiklah, terima kasih, ya, Nit.”“Sama-sama, Pak.”Kulanjutkan langkah menuju ruang kerjaku dan benar saja, saat pintu didorong tampak terlihat sebuah buket bunga yang sangat cantik dan satu buah kotak kecil yang dihias pita gold. Aku membuka kotak yang begitu menarik perhatianku. Namun, apa yang ada di dalam kotak itu benar-benar membuat otakku mendidih.Bagaimana tidak? Kotak itu berisi beberapa lembar foto yang menampilkan perbuatan dua anak manusia di atas ranjang yang pemeran wanitanya adalah ... Aisyah! Calon istriku! "Astagfirullah hal adzim!.”Perasaan marah, kecewa, dan runtuh karena foto-foto itu. Kepercayaan yang aku berikan selama tiga tahun ini telah dikhianati oleh wanita yang sangat aku cintai. Semua waktu, kasih sayang, dan pengorbanan yang aku berikan dibalas secara kontan oleh Aisyah dengan pengkhianatannya. "Aisyah! Tega kamu melakukan ini. Padahal kamu selalu bilang bahwa kamu bahagia karena aku memperlakukanmu dengan hormat! Tidak pernah berpikiran mesum tentangmu apalagi mencoba untuk menyentuhmu. Tapi kenapa? Kenapa kamu yang bersyukur karena sikapku itu malah memberikan tubuhmu pada pria lain? Kenapa kamu memadu kasih dengan pria lain padahal kamu bilang bahwa kamu mencintai aku? Apa itu semua bohong? Jadi, selama tiga tahun ini kamu menipu aku dengan sikap manismu, Aisyah?!" Aku memukul meja, frustrasi. Tidak tahan rasanya melihat wanita yang akan segera kunikahi malah berbuat asusila dengan pria lain. Selama satu minggu sebelum pernikahan, aku mengurung diri di rumah. Kutolak semua panggilan telepon dari semua orang, termasuk Aisyah. Chat darinya juga kuabaikan karena terlalu sakit hati. "Tidak! Daripada seperti ini terus tanpa kebenaran yang jelas, sebaiknya aku periksa saja foto ini kepada ahlinya." Ya,aku akan mendatangi seorang pakar telematika, untuk memastikan kebenarannya. aku mencoba bertabayun dengan semua ini. Setelah membuat janji, sore ini merupakan jadwal pertemuan kami. Dengan berpakaian asal-asalan dan membasuh muka ala kadarnya, aku yang tidak pernah menjamah makanan berat selama satu minggu ini melajukan mobil dengan menahan rasa sakit yang membelenggu jiwa. "Tolong periksa keaslian foto ini," ujar ku tegas. "Baiklah, tunggu sebentar." Beberapa waktu menunggu, akhirnya beliau angkat bicara. "Sudah dicek berkali-kali pun, saya tidak dapat menemukan bagian mana yang palsu atau dimodifikasi. Semuanya asli." Dia menatapku dengan iba. Lalu menawarkan, "Apa Anda mau agar saya mengeceknya lagi? Mungkin ada kesalahan—" "Tidak!" Aku mengambil kasar semua foto-foto itu tanpa tertinggal satu pun. Kemudian pergi dengan membawa rasa sakit yang teramat sangat. "Aisyah! Aku tak tidak bisa terima dengan semua pengkhianatanmu. Baiklah, kamu akan menuai apa yang telah kamu lakukan padaku!" Hingga tiba waktunya hari yang sejak lama kita impikan, kamu begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantin itu, tiba saatnya aku mengucap ijab, sumpah setia, dan serangkaian acara sakral untuk menjadikan kita sebagai pasangan halal.“Adnan Malik, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya, Aisyah Medina Suryadinata dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai lima puluh juta rupiah dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Medina Suryadinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Tunai. Ya, tunai sudah janjiku untuk menikahimu, Aisyah. Aku bukan lelaki yang dengan mudah mengingkari janji. Namun, aku juga bukan manusia yang memiliki keluasan hati untuk menerima rasa sakit ini. Kutunaikan janjiku, lalu kukembalikan kita pada semula. Kamu dengan orang tuamu dan aku kembali kepada orang tuaku.Bab 36:Rencana “Saya butuh bantuan Anda … mengenai keberadaan Azmina—” “Tidak! Dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk! Elo jangan menuduhnya sembarangan tanpa bukti!” ucap Raja kesal memotong perkataanku. Dia menarik rambutnya frustrasi, melihat lagi foto-foto itu dengan teliti. “Kenapa? Anda ingat sesuatu?” tanyaku. “Foto-foto ini … memang benar asli, gue ingat sering memesan hotel untuk kami berdua, tapi pelaku yang menyebarkannya ….” “Saya menduga pelakunya adalah Azmina.” “Apa?” Mata Raja membesar, menatapku dengan marah. Napasnya memburu, dia menarik kerah pakaianku dan memojokkanku. “Hei! Gue bilang jangan sembarangan menuduh! Menuduh tanpa bukti itu adalah kejahatan! Lagi pula, orang sinting mana yang mau menyebarkan foto mereka sendiri dengan adegan seperti ini pada orang banyak? Tidak ada?!” Aku melepaskan cengkeraman Raja dan balas melakukan hal yang sama padanya, kali ini aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi, “Karena itu saya butuh bantuan Anda u
Bab 35 Terbongkar ( PoV Yudha ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??! Aku telah bersiap untuk menangkis serangan Adnan, tetapi saat dia mengucapkan kalimat itu, arah pandanganku berubah mengikuti arah tatapan matanya. Mataku membelalak kaget! Wanita yang dimaksud oleh Adnan adalah Azmina! Meski wajahnya terhalang oleh tubuh CEO gila itu, perawakannya sangat mirip dengan Aisyah! Gegas aku mengejarnya menggunakan mobil. Kulihat Adnan pun melakukan hal yang sama. Kami melakukan kejar-kejaran di jalan raya. Aku memojokkan mobil yang dinaiki oleh Azmina di sebelah kanan, kemudian Adnan melakukannya di sebelah kiri. Sialnya, tidak beberapa lama kemudian, Adnan menghentikan aksinya dan malah tertinggal di belakang. Astagfirullah, bagaimana ini? Bisa-bisa aku kehilangan jejak! Benar saja! Saat ada sebuah truk yang melintas di depan, mobil yang kukejar raib entah ke mana. Si*l! “Ke mana perginya mobil itu?” Kuedarkan pandangan ke sekitar, sayangnya mobil itu tidak kunjung kutemu
Bab 34:Aku harus melakukan sesuatu! ( PoV Adnan ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??!” Tanganku berhenti di udara sebelum berhasil menggapai wajah Yudha. Sementara kaki ini melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti dua orang yang membuat darahku mendidih itu! Benar! Aku tak salah lihat, perawakan wanita itu sangat mirip dengan Aisyah, tetapi kenapa dia tidak mengenakan hijab? “Tunggu! Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. Dia juga pada akhirnya melihat dua orang yang berjalan saling berangkulan. Kami berdua mengejar mereka yang sudah mulai menjalankan kendaraannya. Aku dan Yudha saling beradu kecepatan untuk bisa menghentikan mobil mereka. Astagfirullah! Kalau jalannya seramai ini, aku bisa kesulitan untuk menyalip. Selain itu, ada banyak kendaraan yang sama dengan mobil yang kukejar. Mudah untuk kehilangan jejak kalau begini, sial! Sinar merah pada lampu lalu lintas mulai menyala. Semua kendaraan berhenti. Aku menebarkan pandanganku ke sekitar sampai akhirnya menemukan ide untu
Bab 33Aisyah??! Semua yang datang terkejut dengan sikap Yudha. Keadaan menjadi ricuh tidak terkendali. Pria itu, yang kerah bajunya masih dicengkeram oleh Yudha malah tertawa mengejek. “Kenapa, Bro? Cewek mana yang gue rebut sampai lo begini? Toh di club ada banyak sekali cewek bayaran. Sekali bayar saja ranjangmu akan—” Kesal, aku melerai Yudha yang hampir melayangkan tinjunya. Tentu saja … aku tidak menyangka Yudha akan bereaksi seperti ini. Dia berhasil mencuri momenku. “Jangan bersikap kekanak-kanakan, Yud! kita sedang melakukan pertemuan resmi. Tidak ada yang boleh membuatkan keributan di sini,” ucapku pada Yudha. Aku menarik tangannya untuk mundur ke belakang, kembali pada tempat duduknya. Yudha menepis tanganku kasar. “Apa keributan yang saya buat lebih besar dari yang pernah Anda lakukan?!” Meski dengan perasaan campur aduk setelah melihat pria itu, juga kekesalanku pada Yudha, aku tetap melakukan pertemuan itu dengan serius. Bahkan presentasi yang aku lakukan b
Bab 32PoV Adnan “Aku yang salah, Aisyah. Aku laki-laki brengsek!” ucapku dengan gusar. Lampu kamar sengaja kupadamkan sejak pulang dari rumah Aisyah dan sejak saat itu pula, tidak ada sedikit pun makanan yang aku masukan ke dalam perut, menyebabkan tubuhku sangat lemas dan hanya terkulai lemah di atas kasur. Aku menderita atas kecerobohan yang kulakukan. Seberapa sering pun air mata ini keluar, tidak akan menebus sedikit pun rasa sakit, rasa kecewa, dan penderitaan yang Aisyah rasakan … juga, tidak akan membawanya kembali padaku. Biasanya, aku adalah seorang pria yang berpikiran rasional dan realistis. Aku selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari semua hal yang berkaitan dengan hidupku. Namun, saat foto-foto itu datang, daya pikirku tidak bisa bekerja dengan baik. Aku terlanjur dilingkupi rasa kecewa dan jijik melihat dua pasang manusia yang sedang memadu kasih di atas ranjang, tanpa memikirkan kebenarannya. “Saat itu, aku marah dan kecewa, Aisyah. Aku tidak berpikir pa
Bab 31PoV Yudha Sejak masuk kantor pagi tadi, perasaanku tidak enak. Aku terus memikirkan Aisyah tanpa alasan yang jelas. Padahal, ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. “Pak? Anda baik-baik saja? Muka Anda pucat sekali. Perlu saya undur jadwal hari ini?” tanya Tiara. Dia sedang menyampaikan jadwal pekerjaan yang harus kulakukan hari ini. “Tidak, saya baik-baik saja. Lanjutkan laporannya.” Tiara mengangguk. “ … selanjutnya, Anda harus pergi ke satu perusahaan besar atas undangan mereka yang kita terima bulan lalu. Anda juga harus—“ “Sebentar, saya terima telepon dulu,” ucapku setelah mendengar dering panggilan dari ponselku. Aku pikir, telepon dari pihak perusahaan yang akan konfirmasi dengan jadwal pertemuan. Ternyata … seseorang yang sangat berharga lebih dari ini semua, Aisyah! “Waalaikumsalam, Aisyah. Aku di kantor, nih, ada apakah?”Aisyah berbicara mengenai keinginannya untuk kembali mendatangi panti karena kecurigaannya terhadap seseorang di sana. Tentu saj