Bab 3:
Titik Terang Kuberanikan diri mengetuk pintu. Bagaimana pun aku harus bicara kepada orang tuaku. Memejamkan mata dan menyiapkan mental, hanya itu yang dapat kulakukan selain berdoa.Aku melirik Yudha yang bersandar di pintu mobil, ia tersenyum dan mengangguk seakan paham dengan apa yang menjejali benak ini.Satu kali, salamku tak ada jawaban. Dua kali, masih tetap sama. Hingga akhirnya pada ketukan yang ketiga, terdengar langkah mendekat.Seraut wajah penuh kasih muncul saat pintu terbuka dengan perlahan.“Ibu ....”“Aisyah ....” Sontak aku menghambur ke dalam pelukannya dan menumpahkan tangis, dapat kurasakan belaian lembutnya di punggung dan kepalaku yang tertutup hijab.“Untuk apalagi kamu datang ke sini! Dasar anak tidak tahu diri! Bikin malu keluarga. Pergi kamu, Aisyah!” hardik Ayah yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ibu. “Sejak lahir dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih, nyatanya setelah besar bisanya hanya membuat malu keluarga. Pergi kamu dan jangan pernah kembali ke rumah ini!” Ayah melepas paksa aku dari pelukan Ibu dan menyeretku menjauh dari teras. kemudian tubuh ini didorongnya, beruntung Yudha berhasil meraihku hingga tak sampai terjatuh. Dua koper besar itu dilemparkannya ke halaman lalu masuk dengan membanting pintu.Masih kulihat Ibu yang menangis seraya memanggil namaku. Namun, Ayah menyeretnya masuk dan membanting pintu dengan keras. Aku lunglai dalam rengkuhan Yudha. Hati ini hancur mendengar ucapan Ayah yang menyakitkan. Dengan sigap Yudha memapah dan membawaku kembali ke dalam mobilnya. Setelah memasangkan self belt, Yudha kemudian megangkat koperku dan menyimpannya di bagasi mobil.“Kita pergi,” ucapnya setelah duduk di belakang kemudi. "Aku gak tahu harus ke mana---“ ucapku gamang.“Aku punya tempat yang aman untukmu, Aisyah. Setidaknya, cukup layak untukmu beristirahat.”Aku mengangguk, tak ingin bertanya apa pun. Pasrah saja Yudha mau membawaku ke mana. Kami sudah bersahabat sejak dulu, hanya saja setelah aku menjalin hubungan dengan Mas Adnan, komuikasi kami jadi terbatas dan sangat jarang sekali bertemu. Terakhir saat aku mengabarkan tentang pernikahanku, Yudha tengah berada di Singapore untuk mengurus bisnis ayahnya. Dia bilang akan lama di sana dan meminta maaf tak bisa menghadiri acara sakralku. Namun, ternyata dia bisa datang dan menemaniku di saat terpuruk seperti ini. Jika tak ada Yudha, entahlah ... Beberapa menit perjalanan, akhirnya kami sampai di sebuah apartemen. Aku menatap Yudha, minta penjelasan. "Tinggallah di unitku, setidaknya layak untukmu beristirahat." “Kamu---““Oh, enggak, aku tidak tinggal di sini. Unit ini memang kosong. Tapi tenang saja, kondisinya bersih, kok, setiap hari ada yang membersihkan.” Aku mengangguk, tak mau banyak bertanya. Badan ini sudah sangat lelah, pikiranku terkuras habis. Malam ini aku ingin beristirahat. Besok, aku akan mulai mencari tahu siapa dalang dan ada motif apa di balik semua ini. *** Keesokan harinya, aku terbangun dengan kepala sangat berat, mataku perih dan bengkak.Aku mengecek ponsel yang ternyata sudah mati karena kehabisan daya. Lalu aku mengisinya untuk melihat apakah Mas Adnan mengirimkan pesan untuk menanyakan keadaanku. Aku tidak pernah berhenti berharap bahwa yang kemarin itu hanyalah mimpi belaka, dan Mas Adnan masih tetap mencintaiku, mengkhawatirkan aku. Setelah menunggu beberapa saat, ponsel kuaktifkan. Niat untuk membuka ruang chat harus harus gagal karena terpaku pada judul berita yang muncul dari notifikasi di ponsel. "Apa ini …." 'Video syur seorang Penulis terkenal berinisial A.M.S.' Penulis? Berinisial A.M.S? Bukankah itu .... Aku meng-klik laman berita itu dengan perasaan tak karuan. Berbagai pikiran buruk dan ucapan jahat dari orang-orang terdekatku kemarin seketika teringat kembali, berputar-putar memenuhi isi kepala. Aku menutup mulut dengan menggunakan tangan saat mata ini melihat sesuatu di layar ponsel. Ya, di bawah judul tadi, terdapat beberapa gambar yang sepertinya tak asing. "Astaghfirullah, siapa yang tega menyebarluaskan ini?" Rupanya, ada seseorang yang merekam kerusuhan kemarin dan menyebarkannya di internet dengan judul tidak senonoh, bahkan merusak citraku sebagai Penulis dengan karya sudah banyak dikenal orang. Selain itu, ada banyak judul lain yang menampilkan video yang sama, bahkan ada sebuah judul yang sangat sadis.‘Penulis terkenal berinisial A.M.S ditalak lima menit setelah akad karena terbukti berselingkuh’. Ponselku terjatuh, aku syok berat. "Apakah semua kejadian kemarin belum cukup untuk mengujiku, Tuhan? Dosa apa yang sudah kuperbuat? Aku selalu berusaha bersikap baik pada siapa pun, selalu menjalankan kewajibanku sebagai hamba yang taat. Lalu kenapa?" Sementara itu, notifikasi dari ponselku tidak berhenti berdering, saling sahut-sahutan. Berita itu dengan cepat menyebar di berbagai platform digital. Aku dihujat banyak orang, akun sosial mediaku di-tag ribuan warganet, bahkan tak sedikit teman-temanku sendiri menanyakan perihal ini di ruang pesan pribadi. Komentar-komentar yang beredar semuanya berisi ujaran kebencian. "Duh, gak nyangka banget, ya! Kelihatannya aja alim, banyak tulisan bernuansa Islami, ternyata kelakukannya kaya se**n!" "Iya anj*r, dia sok-sokan banget sering ngeposting tentang dakwah, seakan-akan cewek beriman, ternyata cuma topeng, cuma ajang pamer biar orang-orang pada muji dia kalau dia itu cewek alim, baik, luas wawasan agamanya. Dih! Jijik banget gue." "Dulu ngefans banget sama Kakak ini karena sering sharing info-info bermanfaat dan orangnya alim. Tapi sekarang enggak deh! Buku-bukunya aku buang aja." "Dasar lon*e udah gak segel. Kasihan suaminya. Sok iye banget jadi manusia. Udah untung mau dinikahin sama cowok ganteng, pengusaha muda. Dasar gak tahu diri!" "Kasihan banget si cowok diguna-guna sama pel**ur." "Sumpah ini bener? Murahan banget. Boikot aja tuh sekalian buku-bukunya biar dia berenti jadi Penulis." "Jijik ih! Mukanya sok polos padahal cewek murahan!" "Gila! Jelas banget itu kelihatan badannya tela**ang! Mirip anu tapi lumayan lah buat cuci mata." Ada juga beberapa komentar yang mengarah pada pelecehan seksual mengenai tubuh yang telanj**g "Pengen ikut main dong! Gratis, ‘kan?" Orang-orang itu … padahal mereka tidak mengenalku. Namun, kenapa mereka memberikan komentar seakan-akan sangat mengenalku, mengetahui semua tentang hidupku … padahal kami hanya orang asing yang terhubung melalui buku-buku yang ku tulis. Mengapa video yang beredar hanya saat Mas Adnan menjatuhkan talak dan membeberkan bukti-bukti foto itu? Seakan memang disengaja untuk menggiring opini publik bahwa aku, "Bukan wanita baik-baik." Seseorang mengetuk pintu, aku bangkit lalu mengintip melalui lobang kecil di pintu. Ah, ternyata Yudha. Gegas kuputar anak kunci dan Yudha masuk dengan mimik muka serius.“Aisyah ... berita tentangmu---““Ya, aku sudah tahu,Yud,” jawabku getir.“Lalu?” tanyanya.“Entahlah, yang pasti aku harus segera menemukan pelakunya.”“Maaf, Aisyah, apa kamu menyimpan foto-foto itu? Satu saja cukup.”“Untuk?”“Membantumu keluar dari masalah ini.”Aku tak harus bertanya lagi untuk apa, gegas kuambil foto-fotob yang menghancurkan hidupku ini lalu kuberikan kepada Yudha.Terlihat alis Yudha bertaut saat melihat foto itu, aku tidak merasa malu membiarkan Yudha menatapnya, toh bukan aku yang ada di foto itu.“Aisyah ... bolehkah aku bertanya hal yang sangat pribadi? Mohon maaf, karena ini sangat penting menurutku,” ungkap Yudha.“Apa yang ingin kamu tahu?”Yudha memutar badannya sehingga posisi kami saling berhadapan, kemudian ia melontarkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat netraku membulat sempurna, dan mengemukakan alasannya mempertanyakan hal itu padaku. Tak terasa air mata telah mengalir deras, tanpa sadar aku memeluk Yudha,”Terima kasih,Yudha, akan kulakukan.”Bab 40Kisah Kelam Hidup Azmina. “Azmina! Keluar sebentar, aku mau bicara! Aku minta maaf soal yang tadi. Aku benar-benar minta maaf, Sayang! Aku mohon, buka pintunya, kita bicarakan baik-baik.” Ketukannya di pintu rumah tidak juga berhenti. Dia berulang lagi memencet bel agar aku keluar. “Aku tahu kamu ada di dalam, Sayang. Sebentar saja, aku minta maaf.” Karena kasihan, aku turun dari ranjang kamar menuju ruang depan dan membuka pintu rumah perlahan. Begitu pintu terbuka, Raja langsung memelukku sangat erat. Dia mengusap rambutku dan berulang kali mengucapkan kata maaf meski kuabaikan semua itu. “Mau apa kamu kemari, Raja? Tidak ada gunanya kamu minta maaf. Semuanya sudah terlanjur terjadi,” ucapku melemah karena sikapnya. “Kalau begitu, kamu mau aku bagaimana agar kesalahanku bisa dimaafkan? Apa pun! Kamu bisa meminta atau menyuruhku melakukan apa pun, Sayang, asalkan kamu memaafkanku.” Aku menggeleng. Membuka lebar-lebar pintu rumah. “Aku cuma minta satu hal. Selama b
Bab 39PoV Azmina. Mataku memerah, menatap nyalang pada sosok pria yang selama ini sangat kupercaya. Sosoknya yang kuanggap sebagai rumah tempat berpulang dari semua rasa sakit dan kekejaman takdir, malah menipuku untuk bertemu dengan wanita sialan itu! “Tidak ada sisi dalam kehidupanku yang adil, Raja! Semuanya buruk, semuanya sial! Semuanya membuatku muak! Tapi, kamu masih juga menipuku demi membantu wanita itu? Kenapa? Kenapa Raja? Kenapa semua orang berpihak padanya? Kenapa semua orang menganggapnya spesial sementara aku tidak? Kenapa dia dianggap sebagai pembawa keberuntungan, anak manis dan cantik yang suci dalam semua hal, sementara aku? Aku begini karena takdir, Raja! Wanita mana yang mau hidup hina sepertiku jika bukan karena keadaan?!” Semua emosi terpendam dalam diriku luruh seketika setelah mengatakan semua itu. Aku menangis sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Azmina, aku tidak bermaksud untuk menipumu atau apa. Justru, aku mau membantu mereka agar s
Bab 38Pertemuan tak berkesan “Raja!” Kami bertiga sontak menengok ke arah sumber suara. “Azmina ….” Mataku membelalak terkejut. Saat melihatnya langsung, aku seperti melihat diriku sendiri tanpa hijab, secara keseluruhan kami memang sangat mirip, bahkan terlalu mirip! Azmina sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Dia memakai gaun sederhana sepanjang lutut dan memakai sepatu hak tinggi. Melihatnya, aku langsung bangkit dari tempat duduk agar bisa melihat Azmina dengan lebih jelas. Saat mata kami bertatapan, dia itu berhenti tersenyum. Matanya membulat besar, langkah kakinya terhenti di seperempat jalan. “Kamu …,” ucapnya. Gegas aku berlari menghampiri Azmina yang masih terkejut dengan situasi ini. Aku membuka lebar-lebar tanganku dan hendak meraihnya ke dalam pelukan. Namun, dia menepisku dengan kasar! “Apa-apaan ini?! Kamu bilang mau bertemu dengan klien, apa mereka klien nya?!” tanya Azmina dengan marah tanpa menatapku sama sekali. Dia mengabaikan aku dan menghampir
Bab 37Kembar Identik Usai mengucapkan salam tanpa menunggu jawaban dari Yudha, aku menutup sambungan telepon itu secara sepihak. Lelah dengan informasi yang tiba-tiba ini, aku merebahkan diriku di kasur. Bingung apakah aku harus datang ke sana dan bertemu dengan Azmina walau tidak siap, atau berdiam diri saja di rumah? “Bukannya apa, aku cuma masih takut jika harus bertemu dengan Azmina. Kami pasti bakalan canggung, kan? Apalagi bertemunya bukan karena moment haru seperti kebanyakan orang, tapi karena suatu masalah.” “Dan, bagaimana jika ternyata pelakunya bukan Azmina? Bagaimana kalau selama ini aku salah menduga dan cuma menuduhnya sebagai pelaku tanpa bukti yang kuat … bagaimana kalau ternyata, dia juga korban dari kejadian ini, aku harus melakukan apa kalau kenyataannya berbeda dari yang selama ini aku pikirkan?” Kepalaku sakit memikirkan jawabannya. Aku memutuskan untuk tidur. Namun, Ibu masuk kamar dengan raut wajah khawatir. “Nak, kamu belum makan malam? Ibu panggil
Bab 36:Rencana “Saya butuh bantuan Anda … mengenai keberadaan Azmina—” “Tidak! Dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk! Elo jangan menuduhnya sembarangan tanpa bukti!” ucap Raja kesal memotong perkataanku. Dia menarik rambutnya frustrasi, melihat lagi foto-foto itu dengan teliti. “Kenapa? Anda ingat sesuatu?” tanyaku. “Foto-foto ini … memang benar asli, gue ingat sering memesan hotel untuk kami berdua, tapi pelaku yang menyebarkannya ….” “Saya menduga pelakunya adalah Azmina.” “Apa?” Mata Raja membesar, menatapku dengan marah. Napasnya memburu, dia menarik kerah pakaianku dan memojokkanku. “Hei! Gue bilang jangan sembarangan menuduh! Menuduh tanpa bukti itu adalah kejahatan! Lagi pula, orang sinting mana yang mau menyebarkan foto mereka sendiri dengan adegan seperti ini pada orang banyak? Tidak ada?!” Aku melepaskan cengkeraman Raja dan balas melakukan hal yang sama padanya, kali ini aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi, “Karena itu saya butuh bantuan Anda u
Bab 35 Terbongkar ( PoV Yudha ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??! Aku telah bersiap untuk menangkis serangan Adnan, tetapi saat dia mengucapkan kalimat itu, arah pandanganku berubah mengikuti arah tatapan matanya. Mataku membelalak kaget! Wanita yang dimaksud oleh Adnan adalah Azmina! Meski wajahnya terhalang oleh tubuh CEO gila itu, perawakannya sangat mirip dengan Aisyah! Gegas aku mengejarnya menggunakan mobil. Kulihat Adnan pun melakukan hal yang sama. Kami melakukan kejar-kejaran di jalan raya. Aku memojokkan mobil yang dinaiki oleh Azmina di sebelah kanan, kemudian Adnan melakukannya di sebelah kiri. Sialnya, tidak beberapa lama kemudian, Adnan menghentikan aksinya dan malah tertinggal di belakang. Astagfirullah, bagaimana ini? Bisa-bisa aku kehilangan jejak! Benar saja! Saat ada sebuah truk yang melintas di depan, mobil yang kukejar raib entah ke mana. Si*l! “Ke mana perginya mobil itu?” Kuedarkan pandangan ke sekitar, sayangnya mobil itu tidak kunjung kutemu