Share

Bab 7

last update Last Updated: 2025-05-24 10:14:09

DITALAK LIMA MENIT SETELAH AKAD

BAB 7

MENUNJUKKAN BUKTI

Dalam perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Kepalaku rasanya mau pecah dengan semua kemungkinan dan kebenaran yang ada. Juga, mengenai alasan mengapa orang tuaku menyembunyikan rahasia krusial seperti ini jika memang benar aku memiliki saudara kembar.

"Aku harus memastikan kebenaran dari semua ini! Apa pun yang terjadi. Nama baik adalah taruhannya." Tekadku dalam hati.

"Kamu baik-baik saja, Aisyah?" tanya Yudha, seraya melirik. Dia tetap fokus mengemudikan mobilnya untuk mengantarku kembali ke apartemen.

"Ya? Maaf. Banyak sekali yang tak kumengerti, Yud. Rasanya seperti mimpi, dalam dua hari saja aku dihadapkan pada beberapa peristiwa yang sama sekali tak dapat kupahami.”

"Bertahanlah, aku rasa tak lama lagi semua ini akan terjawab. Segera lakukan apa yang kusampaikan tempo hari karena hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah, Aisyah. Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan sekarang ini.” Ucapan Yuda membuatku merasa tenang. Dia memang selalu bisa meredakan segala situasi sulit yang aku alami selama ini dengan dalih persahabatan.

Waktu sudah beranjak sore, kondisi jalanan pun sudah mulai padat. Sesekali Yudha melirik padaku, Ah, andai saja tidak ada dia entah bagaimana aku harus menjalani ini semua sendirian.

“Kita beli makan take away aja, ya?” ungkap Yudha yang kujawab dengan anggukan.

Kami memasuki area restoran cepat saji dan memilih jalur take away. Aku menyerahkan semua pesanan pada Yudha. Menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Itu yang kulakukan.

Tak butuh waktu lama, semua pesanan sudah didapatkan dan kami pun segera meluncur untuk kembali ke apartemen.

"Aisyah, kamu ingat tidak kalau kita dulu sering bolos sekolah waktu SMA hanya untuk menonton bioskop?” tanya Yudha tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sama sekali enggak penting.

"Ehm.” Aku hanya mendeham tanpa membuka mata.

"Hahaha. Isi kepalamu itu hanya ada Adnan, ya."

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. Memang benar, aku tidak pernah berhenti mendambakan pria itu sampai kini, bahkan ketika dia sudah mempermalukan aku di depan banyak orang, dan hati ini membelanya dengan alasan, "Wajar dia seperti itu jika meyakini bahwa wanita yang dicintainya telah berhubungan dengan pria lain. Pria mana pun pasti akan kecewa." Namun, ada rasa sakit yang membuncah di dada, kenapa Mas Adnan tidak memilih untuk membicarakan dulu sebelum bertindak.

Setibanya di apartemen, aku langsung masuk kamar untuk menunaikan salat Asar yang hampir habis waktunya, begitu pun Yudha, ia salat di kamar sebelah.

Selesai salat, aku memilih duduk berlama-lama di atas sajadah dan memanjatkan segala pinta, khususnya untuk jalan yang akan kutempuh saat ini karena aku yakin hanya cara ini satu-satunya yang akan mengembalikan nama baikku.

Ketukan kecil di pintu menyadarkan ku, rupanya aku sudah terlalu lama membiarkan Yudha menunggu.

“Ya ....”

“Aisyah, kamu baik-baik saja?” tanyanya dari balik pintu.

“Iya, sebentar aku keluar.”

Setelah melipat mukena dan meletakkannya di atas sajadah, gegas kukenakan hijab instan dan menemui Yudha.

“Makanlah dulu, makan siang kita sudah sangat terlambat,” ujarnya seraya meletakkan makanan yang telah ia buka dan susun di atas mini bar.

“Yud, aku mau telepon Ibu,” ucapku.

“Ya, lebih cepat lebih baik, tapi sekarang ... selesaikan dulu makanmu. Isi perutmu jangan sampai sakit,” ucap Yudha dengan mulut penuh makanan. Aku mengangguk dan melanjutkan makan walau tanpa selera.

"Ibu tidak mau mengangkat teleponku,” lirihku setelah beberapa kali melakukan panggilan ke nomor Ibu. Aku merasa kecewa dan marah, ingin cepat-cepat menyelesaikan semua masalah yang membelenggu kepala, masalah yang membuatku jatuh terperosok begitu dalam dan membuatku kehilangan banyak hal.

Ya, setelah kejadian kemarin. Namaku benar-benar tercemar. Kulihat namaku dikeluarkan tanpa konfirmasi dari beberapa WAG komunitas literasi yang di dalamnya aku didaulat sebagai Founder sekaligus Mentor, tak apa.

Akan kubuktikan jika aku memang tidak bersalah dan setelah semuanya selesai, aku akan kembali. Namun, jika memang kejadian kemarin telah mematikan karierku, aku ikhlas.

"Coba kamu kirim pesan, Aisyah. Siapa tahu Ibu membaca pesannya."

"Baiklah, semoga saja Ibu membacanya."

Aku kemudian mengirimkan pesan teks yang berisi, [Bu, tolong Aisyah. Beri Aisyah kesempatan untuk membuktikan bahwa yang di foto itu benar-benar bukan Aisyah, Bu.] kirim.

Beberapa menit berlalu, pesanku tidak ada balasan, jangankan membalas, ternyata dibaca pun tidak. Entah nomorku diblokir atau jaringan internetnya sengaja dimatikan karena tanda centang di aplikasi chating itu hanya satu.

"Bagaimana? Sudah dibaca pesannya?"

Aku menggeleng, tertunduk lesu.

"Bagaimana cara menjelaskan semuanya jika mereka tidak memberikan aku kesempatan untuk membela diri dan mengatakan kebenarannya?"

"Tenang, Aisyah. Aku yakin pasti ada jalan. Berikan mereka sedikit waktu untuk berpikir. Kita tunggu saja dulu. Jika masih belum dibalas juga, sepertinya harus mencoba cara lain."

“Cara lain?”

“Ya, sedang kupikirkan.”

Aku pasrah dan mengikuti usulan Yudha. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit tanpa kepastian apa pun, hingga akhirnya ….

Satu notifikasi pesan masuk yang berasal dari aplikasi chatting. Aku membukanya dengan hati berdebar-debar. Memicingkan mata, berharap bahwa sang pengirim pesan adalah Ibu dan ternyata benar!

"Yudha! Yudha!"

"Dibalas?" Yudha baru selesai membuat dua gelas teh untuk kami minum bersama.

"Iya! Ibu membalas pesanku."

"Apa katanya?"

Gegas kubuka pesan balasan dari Ibu.

[Caranya?]

Hanya itu balasan yang dikirimkan Ibu. Tak apa, ini sudah cukup untuk membuka komunikasi di antara kami. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera kukirimkan pesan terpenting untuk Ibu.

[Baiklah, jangan membuat kami kecewa lagi, Aisyah.]

Itu merupakan balasan selanjutnya dari Ibu, aku mengucap syukur. Akhirnya aku akan segera memberikan bukti yang merupakan kunci dari masalah ini.

Malam ini aku sungguh tidak dapat memejamkan mata hingga waktu Subuh menjelang. Tak sabar ingin segera melaksanakan apa yang telah direncanakan.

Sebentar lagi sudah masuk waktu Subuh, segera kuambil wudu dan melaksanakan salat sunat qabliah dan dilanjut dengan salat wajib.

Dering ponsel berkali-kali, membuatku terbangun. Rupanya setelah salat tadi aku tertidur di atas sajadah.

Telepon dari Yudha.

[Aku di depan pintu.]

Gegas aku keluar kamar untuk membukakan pintu tanpa melepas mukena.

“Kok belum siap?” tanya Yudha saat melihat aku masih mengenakan mukena dengan wajah kuyu.

“Maaf, aku ketiduran,” jawabku seraya melihat jam yang tergantung di dinding. Ya Tuhan, sudah jam delapan! Ternyata selama itu aku tertidur.

“Bersiaplah, aku sudah membawakan sarapan,” ucap Yudha seraya melangkah menuju mini bar.

Tanpa menjawab aku masuk kamar dan gegas membersihkan diri lalu bersiap.

Kini, kami telah di perjalanan menuju rumah sakit untuk bertemu dengan Dokter yang tentu saja untuk urusan membuat janji sudah dilakukan Yudha, entah kapan dia melakukan itu yang pasti aku dijadwalkan bertemu Dokter pukul 9.30 WIB.

Setelah sampai, kami menitipkan catatan pada resepsionis agar memberitahukan orang tuaku bahwa aku menunggu di lantai dua.

"Baik, kami akan menyampaikan pesan Anda."

“Terima kasih.”

"Aisyah, aku tidak ikut masuk. Aku tunggu di luar saja. Jangan sampai kebersamaan kita menjadikan masalah baru untukmu. Bisa saja orang tuamu salah sangka padaku jika melihat aku bersamamu kan?"

Ucapan Yuda ada benarnya. Ayah dan Ibu memutuskan untuk tidak percaya dengan kata-kata putri mereka sendiri, terlebih pada orang asing tanpa ikatan darah, meskipun mereka sudah mengenal Yuda dengan baik sejak kami kecil.

"Tenang saja. Aku akan tunggu sampai semuanya selesai.”

Aku mengangguk.

Yudha membalikkan badan dan berjalan keluar.

“Yudha ....”

Laki-laki itu menghentikan langkahnya yang belum jauh saat mendengar aku memanggilnya.

“Ya, ada apa?”

“Terima kasih,” ucapku dengan menahan rasa hangat di kelopak mata.

“Ah, kamu ini. Sudah, sana naik.”

Aku tersenyum dan segera naik ke lantai dua untuk bertemu dengan Dokter.

Aku duduk dengan gelisah sambil menunggu orang tuaku, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya Ibu dan Ayah datang.

Wajah mereka tetap dingin, sama seperti waktu itu. Tidak memberikan pelukan hangat atau ucapan kasih sayang seperti yang biasanya mereka lakukan. Terlebih Ayah, yang sedari tadi memalingkan wajah dariku.

Bersambung ..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   Bab 40

    Bab 40Kisah Kelam Hidup Azmina. “Azmina! Keluar sebentar, aku mau bicara! Aku minta maaf soal yang tadi. Aku benar-benar minta maaf, Sayang! Aku mohon, buka pintunya, kita bicarakan baik-baik.” Ketukannya di pintu rumah tidak juga berhenti. Dia berulang lagi memencet bel agar aku keluar. “Aku tahu kamu ada di dalam, Sayang. Sebentar saja, aku minta maaf.” Karena kasihan, aku turun dari ranjang kamar menuju ruang depan dan membuka pintu rumah perlahan. Begitu pintu terbuka, Raja langsung memelukku sangat erat. Dia mengusap rambutku dan berulang kali mengucapkan kata maaf meski kuabaikan semua itu. “Mau apa kamu kemari, Raja? Tidak ada gunanya kamu minta maaf. Semuanya sudah terlanjur terjadi,” ucapku melemah karena sikapnya. “Kalau begitu, kamu mau aku bagaimana agar kesalahanku bisa dimaafkan? Apa pun! Kamu bisa meminta atau menyuruhku melakukan apa pun, Sayang, asalkan kamu memaafkanku.” Aku menggeleng. Membuka lebar-lebar pintu rumah. “Aku cuma minta satu hal. Selama b

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   Bab 39

    Bab 39PoV Azmina. Mataku memerah, menatap nyalang pada sosok pria yang selama ini sangat kupercaya. Sosoknya yang kuanggap sebagai rumah tempat berpulang dari semua rasa sakit dan kekejaman takdir, malah menipuku untuk bertemu dengan wanita sialan itu! “Tidak ada sisi dalam kehidupanku yang adil, Raja! Semuanya buruk, semuanya sial! Semuanya membuatku muak! Tapi, kamu masih juga menipuku demi membantu wanita itu? Kenapa? Kenapa Raja? Kenapa semua orang berpihak padanya? Kenapa semua orang menganggapnya spesial sementara aku tidak? Kenapa dia dianggap sebagai pembawa keberuntungan, anak manis dan cantik yang suci dalam semua hal, sementara aku? Aku begini karena takdir, Raja! Wanita mana yang mau hidup hina sepertiku jika bukan karena keadaan?!” Semua emosi terpendam dalam diriku luruh seketika setelah mengatakan semua itu. Aku menangis sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Azmina, aku tidak bermaksud untuk menipumu atau apa. Justru, aku mau membantu mereka agar s

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   Bab 38

    Bab 38Pertemuan tak berkesan “Raja!” Kami bertiga sontak menengok ke arah sumber suara. “Azmina ….” Mataku membelalak terkejut. Saat melihatnya langsung, aku seperti melihat diriku sendiri tanpa hijab, secara keseluruhan kami memang sangat mirip, bahkan terlalu mirip! Azmina sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Dia memakai gaun sederhana sepanjang lutut dan memakai sepatu hak tinggi. Melihatnya, aku langsung bangkit dari tempat duduk agar bisa melihat Azmina dengan lebih jelas. Saat mata kami bertatapan, dia itu berhenti tersenyum. Matanya membulat besar, langkah kakinya terhenti di seperempat jalan. “Kamu …,” ucapnya. Gegas aku berlari menghampiri Azmina yang masih terkejut dengan situasi ini. Aku membuka lebar-lebar tanganku dan hendak meraihnya ke dalam pelukan. Namun, dia menepisku dengan kasar! “Apa-apaan ini?! Kamu bilang mau bertemu dengan klien, apa mereka klien nya?!” tanya Azmina dengan marah tanpa menatapku sama sekali. Dia mengabaikan aku dan menghampir

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   Bab 37

    Bab 37Kembar Identik Usai mengucapkan salam tanpa menunggu jawaban dari Yudha, aku menutup sambungan telepon itu secara sepihak. Lelah dengan informasi yang tiba-tiba ini, aku merebahkan diriku di kasur. Bingung apakah aku harus datang ke sana dan bertemu dengan Azmina walau tidak siap, atau berdiam diri saja di rumah? “Bukannya apa, aku cuma masih takut jika harus bertemu dengan Azmina. Kami pasti bakalan canggung, kan? Apalagi bertemunya bukan karena moment haru seperti kebanyakan orang, tapi karena suatu masalah.” “Dan, bagaimana jika ternyata pelakunya bukan Azmina? Bagaimana kalau selama ini aku salah menduga dan cuma menuduhnya sebagai pelaku tanpa bukti yang kuat … bagaimana kalau ternyata, dia juga korban dari kejadian ini, aku harus melakukan apa kalau kenyataannya berbeda dari yang selama ini aku pikirkan?” Kepalaku sakit memikirkan jawabannya. Aku memutuskan untuk tidur. Namun, Ibu masuk kamar dengan raut wajah khawatir. “Nak, kamu belum makan malam? Ibu panggil

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   BAB 36

    Bab 36:Rencana “Saya butuh bantuan Anda … mengenai keberadaan Azmina—” “Tidak! Dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk! Elo jangan menuduhnya sembarangan tanpa bukti!” ucap Raja kesal memotong perkataanku. Dia menarik rambutnya frustrasi, melihat lagi foto-foto itu dengan teliti. “Kenapa? Anda ingat sesuatu?” tanyaku. “Foto-foto ini … memang benar asli, gue ingat sering memesan hotel untuk kami berdua, tapi pelaku yang menyebarkannya ….” “Saya menduga pelakunya adalah Azmina.” “Apa?” Mata Raja membesar, menatapku dengan marah. Napasnya memburu, dia menarik kerah pakaianku dan memojokkanku. “Hei! Gue bilang jangan sembarangan menuduh! Menuduh tanpa bukti itu adalah kejahatan! Lagi pula, orang sinting mana yang mau menyebarkan foto mereka sendiri dengan adegan seperti ini pada orang banyak? Tidak ada?!” Aku melepaskan cengkeraman Raja dan balas melakukan hal yang sama padanya, kali ini aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi, “Karena itu saya butuh bantuan Anda u

  • Ditalak Lima Menit Setelah Akad   BAB 35

    Bab 35 Terbongkar ( PoV Yudha ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??! Aku telah bersiap untuk menangkis serangan Adnan, tetapi saat dia mengucapkan kalimat itu, arah pandanganku berubah mengikuti arah tatapan matanya. Mataku membelalak kaget! Wanita yang dimaksud oleh Adnan adalah Azmina! Meski wajahnya terhalang oleh tubuh CEO gila itu, perawakannya sangat mirip dengan Aisyah! Gegas aku mengejarnya menggunakan mobil. Kulihat Adnan pun melakukan hal yang sama. Kami melakukan kejar-kejaran di jalan raya. Aku memojokkan mobil yang dinaiki oleh Azmina di sebelah kanan, kemudian Adnan melakukannya di sebelah kiri. Sialnya, tidak beberapa lama kemudian, Adnan menghentikan aksinya dan malah tertinggal di belakang. Astagfirullah, bagaimana ini? Bisa-bisa aku kehilangan jejak! Benar saja! Saat ada sebuah truk yang melintas di depan, mobil yang kukejar raib entah ke mana. Si*l! “Ke mana perginya mobil itu?” Kuedarkan pandangan ke sekitar, sayangnya mobil itu tidak kunjung kutemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status