DITALAK LIMA MENIT SETELAH AKAD
BAB 7 MENUNJUKKAN BUKTI Dalam perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Kepalaku rasanya mau pecah dengan semua kemungkinan dan kebenaran yang ada. Juga, mengenai alasan mengapa orang tuaku menyembunyikan rahasia krusial seperti ini jika memang benar aku memiliki saudara kembar. "Aku harus memastikan kebenaran dari semua ini! Apa pun yang terjadi. Nama baik adalah taruhannya." Tekadku dalam hati. "Kamu baik-baik saja, Aisyah?" tanya Yudha, seraya melirik. Dia tetap fokus mengemudikan mobilnya untuk mengantarku kembali ke apartemen. "Ya? Maaf. Banyak sekali yang tak kumengerti, Yud. Rasanya seperti mimpi, dalam dua hari saja aku dihadapkan pada beberapa peristiwa yang sama sekali tak dapat kupahami.” "Bertahanlah, aku rasa tak lama lagi semua ini akan terjawab. Segera lakukan apa yang kusampaikan tempo hari karena hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah, Aisyah. Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan sekarang ini.” Ucapan Yuda membuatku merasa tenang. Dia memang selalu bisa meredakan segala situasi sulit yang aku alami selama ini dengan dalih persahabatan. Waktu sudah beranjak sore, kondisi jalanan pun sudah mulai padat. Sesekali Yudha melirik padaku, Ah, andai saja tidak ada dia entah bagaimana aku harus menjalani ini semua sendirian. “Kita beli makan take away aja, ya?” ungkap Yudha yang kujawab dengan anggukan. Kami memasuki area restoran cepat saji dan memilih jalur take away. Aku menyerahkan semua pesanan pada Yudha. Menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Itu yang kulakukan. Tak butuh waktu lama, semua pesanan sudah didapatkan dan kami pun segera meluncur untuk kembali ke apartemen. "Aisyah, kamu ingat tidak kalau kita dulu sering bolos sekolah waktu SMA hanya untuk menonton bioskop?” tanya Yudha tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sama sekali enggak penting. "Ehm.” Aku hanya mendeham tanpa membuka mata. "Hahaha. Isi kepalamu itu hanya ada Adnan, ya." Aku tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. Memang benar, aku tidak pernah berhenti mendambakan pria itu sampai kini, bahkan ketika dia sudah mempermalukan aku di depan banyak orang, dan hati ini membelanya dengan alasan, "Wajar dia seperti itu jika meyakini bahwa wanita yang dicintainya telah berhubungan dengan pria lain. Pria mana pun pasti akan kecewa." Namun, ada rasa sakit yang membuncah di dada, kenapa Mas Adnan tidak memilih untuk membicarakan dulu sebelum bertindak. Setibanya di apartemen, aku langsung masuk kamar untuk menunaikan salat Asar yang hampir habis waktunya, begitu pun Yudha, ia salat di kamar sebelah. Selesai salat, aku memilih duduk berlama-lama di atas sajadah dan memanjatkan segala pinta, khususnya untuk jalan yang akan kutempuh saat ini karena aku yakin hanya cara ini satu-satunya yang akan mengembalikan nama baikku. Ketukan kecil di pintu menyadarkan ku, rupanya aku sudah terlalu lama membiarkan Yudha menunggu. “Ya ....” “Aisyah, kamu baik-baik saja?” tanyanya dari balik pintu. “Iya, sebentar aku keluar.” Setelah melipat mukena dan meletakkannya di atas sajadah, gegas kukenakan hijab instan dan menemui Yudha. “Makanlah dulu, makan siang kita sudah sangat terlambat,” ujarnya seraya meletakkan makanan yang telah ia buka dan susun di atas mini bar. “Yud, aku mau telepon Ibu,” ucapku. “Ya, lebih cepat lebih baik, tapi sekarang ... selesaikan dulu makanmu. Isi perutmu jangan sampai sakit,” ucap Yudha dengan mulut penuh makanan. Aku mengangguk dan melanjutkan makan walau tanpa selera. "Ibu tidak mau mengangkat teleponku,” lirihku setelah beberapa kali melakukan panggilan ke nomor Ibu. Aku merasa kecewa dan marah, ingin cepat-cepat menyelesaikan semua masalah yang membelenggu kepala, masalah yang membuatku jatuh terperosok begitu dalam dan membuatku kehilangan banyak hal. Ya, setelah kejadian kemarin. Namaku benar-benar tercemar. Kulihat namaku dikeluarkan tanpa konfirmasi dari beberapa WAG komunitas literasi yang di dalamnya aku didaulat sebagai Founder sekaligus Mentor, tak apa. Akan kubuktikan jika aku memang tidak bersalah dan setelah semuanya selesai, aku akan kembali. Namun, jika memang kejadian kemarin telah mematikan karierku, aku ikhlas. "Coba kamu kirim pesan, Aisyah. Siapa tahu Ibu membaca pesannya." "Baiklah, semoga saja Ibu membacanya." Aku kemudian mengirimkan pesan teks yang berisi, [Bu, tolong Aisyah. Beri Aisyah kesempatan untuk membuktikan bahwa yang di foto itu benar-benar bukan Aisyah, Bu.] kirim. Beberapa menit berlalu, pesanku tidak ada balasan, jangankan membalas, ternyata dibaca pun tidak. Entah nomorku diblokir atau jaringan internetnya sengaja dimatikan karena tanda centang di aplikasi chating itu hanya satu. "Bagaimana? Sudah dibaca pesannya?" Aku menggeleng, tertunduk lesu. "Bagaimana cara menjelaskan semuanya jika mereka tidak memberikan aku kesempatan untuk membela diri dan mengatakan kebenarannya?" "Tenang, Aisyah. Aku yakin pasti ada jalan. Berikan mereka sedikit waktu untuk berpikir. Kita tunggu saja dulu. Jika masih belum dibalas juga, sepertinya harus mencoba cara lain." “Cara lain?” “Ya, sedang kupikirkan.” Aku pasrah dan mengikuti usulan Yudha. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit tanpa kepastian apa pun, hingga akhirnya …. Satu notifikasi pesan masuk yang berasal dari aplikasi chatting. Aku membukanya dengan hati berdebar-debar. Memicingkan mata, berharap bahwa sang pengirim pesan adalah Ibu dan ternyata benar! "Yudha! Yudha!" "Dibalas?" Yudha baru selesai membuat dua gelas teh untuk kami minum bersama. "Iya! Ibu membalas pesanku." "Apa katanya?" Gegas kubuka pesan balasan dari Ibu. [Caranya?] Hanya itu balasan yang dikirimkan Ibu. Tak apa, ini sudah cukup untuk membuka komunikasi di antara kami. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera kukirimkan pesan terpenting untuk Ibu. [Baiklah, jangan membuat kami kecewa lagi, Aisyah.] Itu merupakan balasan selanjutnya dari Ibu, aku mengucap syukur. Akhirnya aku akan segera memberikan bukti yang merupakan kunci dari masalah ini. Malam ini aku sungguh tidak dapat memejamkan mata hingga waktu Subuh menjelang. Tak sabar ingin segera melaksanakan apa yang telah direncanakan. Sebentar lagi sudah masuk waktu Subuh, segera kuambil wudu dan melaksanakan salat sunat qabliah dan dilanjut dengan salat wajib. Dering ponsel berkali-kali, membuatku terbangun. Rupanya setelah salat tadi aku tertidur di atas sajadah. Telepon dari Yudha. [Aku di depan pintu.] Gegas aku keluar kamar untuk membukakan pintu tanpa melepas mukena. “Kok belum siap?” tanya Yudha saat melihat aku masih mengenakan mukena dengan wajah kuyu. “Maaf, aku ketiduran,” jawabku seraya melihat jam yang tergantung di dinding. Ya Tuhan, sudah jam delapan! Ternyata selama itu aku tertidur. “Bersiaplah, aku sudah membawakan sarapan,” ucap Yudha seraya melangkah menuju mini bar. Tanpa menjawab aku masuk kamar dan gegas membersihkan diri lalu bersiap. Kini, kami telah di perjalanan menuju rumah sakit untuk bertemu dengan Dokter yang tentu saja untuk urusan membuat janji sudah dilakukan Yudha, entah kapan dia melakukan itu yang pasti aku dijadwalkan bertemu Dokter pukul 9.30 WIB. Setelah sampai, kami menitipkan catatan pada resepsionis agar memberitahukan orang tuaku bahwa aku menunggu di lantai dua. "Baik, kami akan menyampaikan pesan Anda." “Terima kasih.” "Aisyah, aku tidak ikut masuk. Aku tunggu di luar saja. Jangan sampai kebersamaan kita menjadikan masalah baru untukmu. Bisa saja orang tuamu salah sangka padaku jika melihat aku bersamamu kan?" Ucapan Yuda ada benarnya. Ayah dan Ibu memutuskan untuk tidak percaya dengan kata-kata putri mereka sendiri, terlebih pada orang asing tanpa ikatan darah, meskipun mereka sudah mengenal Yuda dengan baik sejak kami kecil. "Tenang saja. Aku akan tunggu sampai semuanya selesai.” Aku mengangguk. Yudha membalikkan badan dan berjalan keluar. “Yudha ....” Laki-laki itu menghentikan langkahnya yang belum jauh saat mendengar aku memanggilnya. “Ya, ada apa?” “Terima kasih,” ucapku dengan menahan rasa hangat di kelopak mata. “Ah, kamu ini. Sudah, sana naik.” Aku tersenyum dan segera naik ke lantai dua untuk bertemu dengan Dokter. Aku duduk dengan gelisah sambil menunggu orang tuaku, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya Ibu dan Ayah datang. Wajah mereka tetap dingin, sama seperti waktu itu. Tidak memberikan pelukan hangat atau ucapan kasih sayang seperti yang biasanya mereka lakukan. Terlebih Ayah, yang sedari tadi memalingkan wajah dariku. Bersambung ..Bab 36:Rencana “Saya butuh bantuan Anda … mengenai keberadaan Azmina—” “Tidak! Dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk! Elo jangan menuduhnya sembarangan tanpa bukti!” ucap Raja kesal memotong perkataanku. Dia menarik rambutnya frustrasi, melihat lagi foto-foto itu dengan teliti. “Kenapa? Anda ingat sesuatu?” tanyaku. “Foto-foto ini … memang benar asli, gue ingat sering memesan hotel untuk kami berdua, tapi pelaku yang menyebarkannya ….” “Saya menduga pelakunya adalah Azmina.” “Apa?” Mata Raja membesar, menatapku dengan marah. Napasnya memburu, dia menarik kerah pakaianku dan memojokkanku. “Hei! Gue bilang jangan sembarangan menuduh! Menuduh tanpa bukti itu adalah kejahatan! Lagi pula, orang sinting mana yang mau menyebarkan foto mereka sendiri dengan adegan seperti ini pada orang banyak? Tidak ada?!” Aku melepaskan cengkeraman Raja dan balas melakukan hal yang sama padanya, kali ini aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi, “Karena itu saya butuh bantuan Anda u
Bab 35 Terbongkar ( PoV Yudha ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??! Aku telah bersiap untuk menangkis serangan Adnan, tetapi saat dia mengucapkan kalimat itu, arah pandanganku berubah mengikuti arah tatapan matanya. Mataku membelalak kaget! Wanita yang dimaksud oleh Adnan adalah Azmina! Meski wajahnya terhalang oleh tubuh CEO gila itu, perawakannya sangat mirip dengan Aisyah! Gegas aku mengejarnya menggunakan mobil. Kulihat Adnan pun melakukan hal yang sama. Kami melakukan kejar-kejaran di jalan raya. Aku memojokkan mobil yang dinaiki oleh Azmina di sebelah kanan, kemudian Adnan melakukannya di sebelah kiri. Sialnya, tidak beberapa lama kemudian, Adnan menghentikan aksinya dan malah tertinggal di belakang. Astagfirullah, bagaimana ini? Bisa-bisa aku kehilangan jejak! Benar saja! Saat ada sebuah truk yang melintas di depan, mobil yang kukejar raib entah ke mana. Si*l! “Ke mana perginya mobil itu?” Kuedarkan pandangan ke sekitar, sayangnya mobil itu tidak kunjung kutemu
Bab 34:Aku harus melakukan sesuatu! ( PoV Adnan ) “Sebentar! Wanita itu … A-Aisyah??!” Tanganku berhenti di udara sebelum berhasil menggapai wajah Yudha. Sementara kaki ini melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti dua orang yang membuat darahku mendidih itu! Benar! Aku tak salah lihat, perawakan wanita itu sangat mirip dengan Aisyah, tetapi kenapa dia tidak mengenakan hijab? “Tunggu! Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. Dia juga pada akhirnya melihat dua orang yang berjalan saling berangkulan. Kami berdua mengejar mereka yang sudah mulai menjalankan kendaraannya. Aku dan Yudha saling beradu kecepatan untuk bisa menghentikan mobil mereka. Astagfirullah! Kalau jalannya seramai ini, aku bisa kesulitan untuk menyalip. Selain itu, ada banyak kendaraan yang sama dengan mobil yang kukejar. Mudah untuk kehilangan jejak kalau begini, sial! Sinar merah pada lampu lalu lintas mulai menyala. Semua kendaraan berhenti. Aku menebarkan pandanganku ke sekitar sampai akhirnya menemukan ide untu
Bab 33Aisyah??! Semua yang datang terkejut dengan sikap Yudha. Keadaan menjadi ricuh tidak terkendali. Pria itu, yang kerah bajunya masih dicengkeram oleh Yudha malah tertawa mengejek. “Kenapa, Bro? Cewek mana yang gue rebut sampai lo begini? Toh di club ada banyak sekali cewek bayaran. Sekali bayar saja ranjangmu akan—” Kesal, aku melerai Yudha yang hampir melayangkan tinjunya. Tentu saja … aku tidak menyangka Yudha akan bereaksi seperti ini. Dia berhasil mencuri momenku. “Jangan bersikap kekanak-kanakan, Yud! kita sedang melakukan pertemuan resmi. Tidak ada yang boleh membuatkan keributan di sini,” ucapku pada Yudha. Aku menarik tangannya untuk mundur ke belakang, kembali pada tempat duduknya. Yudha menepis tanganku kasar. “Apa keributan yang saya buat lebih besar dari yang pernah Anda lakukan?!” Meski dengan perasaan campur aduk setelah melihat pria itu, juga kekesalanku pada Yudha, aku tetap melakukan pertemuan itu dengan serius. Bahkan presentasi yang aku lakukan b
Bab 32PoV Adnan “Aku yang salah, Aisyah. Aku laki-laki brengsek!” ucapku dengan gusar. Lampu kamar sengaja kupadamkan sejak pulang dari rumah Aisyah dan sejak saat itu pula, tidak ada sedikit pun makanan yang aku masukan ke dalam perut, menyebabkan tubuhku sangat lemas dan hanya terkulai lemah di atas kasur. Aku menderita atas kecerobohan yang kulakukan. Seberapa sering pun air mata ini keluar, tidak akan menebus sedikit pun rasa sakit, rasa kecewa, dan penderitaan yang Aisyah rasakan … juga, tidak akan membawanya kembali padaku. Biasanya, aku adalah seorang pria yang berpikiran rasional dan realistis. Aku selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari semua hal yang berkaitan dengan hidupku. Namun, saat foto-foto itu datang, daya pikirku tidak bisa bekerja dengan baik. Aku terlanjur dilingkupi rasa kecewa dan jijik melihat dua pasang manusia yang sedang memadu kasih di atas ranjang, tanpa memikirkan kebenarannya. “Saat itu, aku marah dan kecewa, Aisyah. Aku tidak berpikir pa
Bab 31PoV Yudha Sejak masuk kantor pagi tadi, perasaanku tidak enak. Aku terus memikirkan Aisyah tanpa alasan yang jelas. Padahal, ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. “Pak? Anda baik-baik saja? Muka Anda pucat sekali. Perlu saya undur jadwal hari ini?” tanya Tiara. Dia sedang menyampaikan jadwal pekerjaan yang harus kulakukan hari ini. “Tidak, saya baik-baik saja. Lanjutkan laporannya.” Tiara mengangguk. “ … selanjutnya, Anda harus pergi ke satu perusahaan besar atas undangan mereka yang kita terima bulan lalu. Anda juga harus—“ “Sebentar, saya terima telepon dulu,” ucapku setelah mendengar dering panggilan dari ponselku. Aku pikir, telepon dari pihak perusahaan yang akan konfirmasi dengan jadwal pertemuan. Ternyata … seseorang yang sangat berharga lebih dari ini semua, Aisyah! “Waalaikumsalam, Aisyah. Aku di kantor, nih, ada apakah?”Aisyah berbicara mengenai keinginannya untuk kembali mendatangi panti karena kecurigaannya terhadap seseorang di sana. Tentu saj