Share

Kamu Anak Mama

Bab 4

"Ibu macam apa kamu? Menenangkan satu bayi saja tidak bisa. Dari tadi nangis terus. Bosan aku mendengarnya!" sembur Yudha yang seketika membuat Zakia mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar kamar, karena orang yang akan dicarinya sudah berada di sini.

Zakia menghela nafas kesal. "Mas, Naya menangis karena kelaparan dan kehausan. Bahkan badannya sampai panas begini. ASI ku tidak mencukupi, karena hanya beberapa tetes. Mas ngerti nggak sih?"

"Kalau dia haus, kamu tinggal kasih minum saja. Apa susahnya?!"

"Kasih minum pakai apa, Mas?!" Dada Zakia bergemuruh. Antara marah dan kesal yang membumbung hingga ke ubun-ubun. 

"Tolong Mas belikan Naya susu formula, biar dia tidak nangis terus dan demamnya bisa segera turun," pinta Zakia dengan berani.

"Susu formula? Kamu pikir susu formula itu murah? Jangan ngada-ngada kamu, Zakia! Kalau anak itu haus, kasih minum air putih atau air tajin. Beres, kan?" sergah Yudha enteng.

"Air putih? Apa Mas sudah gila?! Mana boleh, Mas?! Makanan bayi itu hanya ASI atau kalau tidak ada ASI, ya susu formula yang memang khusus diformulasikan untuk bayi yang baru lahir...." Ucapan Zakia terhenti saat melihat bola mata Yudha yang melotot seolah ingin keluar dari tempatnya.

"Nggak, nggak, nggak. Aku nggak sudi tambah pengeluaran. Masih bayi saja sudah banyak pengeluaran, apalagi kalau sudah besar nanti." Yudha bergerak semakin dekat, menoyor dahi baby Naya yang masih saja menangis dengan jari telunjuknya.

Refleks Zakia menepis tangan Yudha. Dia tak ingin Yudha berbuat lebih jauh lagi menyakiti putrinya.

"Sudah cukup, Mas. Tega sekali kamu sama putrimu sendiri. Dia darah dagingmu, Mas! Terlepas dari cara dia dilahirkan. Dia itu hadir ke dunia ini, karena keinginan kita berdua yang ingin memiliki seorang anak...." pekik Zakia. Sakit hatinya tak terperi, mengalahkan sakitnya luka bekas operasi yang memang belum sembuh.

"Tapi dia anak perempuan, bukan anak laki-laki. Ingat, Zakia. Anak perempuan itu nanti setelah besar, dia akan ikut orang, menjadi istri orang, menjadi milik orang. Kalau anak perempuan, kita nggak perlu capek-capek ngurusin dia, nyekolahin dia, apalagi sampai bela-belain beli susu formula segala. Pemborosan!" balas Yudha. Emosinya semakin tersulut tatkala Zakia menepis tangannya dari dahi mungil Naya.

"Tapi anak itu adalah titipan dari Tuhan. Mau laki-laki atau perempuan, kita nggak bisa milih. Kita nggak bisa minta. Semua terserah Tuhan yang memberikan kita anak laki-laki atau perempuan!" bantah Zakia. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. Padahal sepanjang kehamilannya, Yudha tak pernah menyinggung soal jenis kelamin anaknya. Paling-paling hanya berantem soal ongkos untuk kontrol ke dokter kandungan.

"Dasar perempuan tak berguna! Sudah capek-capek aku nikahi, tapi tidak bisa memberi anak laki-laki untukku, malah yang lahir perempuan. Susah pula lahirannya! Banyak pengeluaran!" geram laki-laki itu. 

Yudha menelan ludahnya sebelum melanjutkan sumpah serapah. "Sekarang begini saja. Kalau kamu masih ingin tetap mengurus anak itu, sebaiknya kamu pindah ke kamar belakang sana! Aku tidak sudi mendengar tangisnya! Membuatku pusing saja!" Yudha spontan menutup telinganya saat tangis Naya kembali melengking, karena merasa terusik dengan pertengkaran mereka.

"Apa?! Aku harus pindah kamar?! Yang bener aja kamu, Mas! Kamar belakang itu gudang dan tempatnya sangat kotor."

"Aku serius, Zakia. Kalau kamu menolak, aku akan membawa anak ini dan menyerahkannya ke panti asuhan atau membuangnya sekalian. Aku tidak sudi punya anak perempuan!" umpat lelaki itu. Yudha benar-benar kehilangan kontrol diri. Perkataannya seperti orang gila saja.

Zakia tergugu, menatap Yudha tak percaya. Entah setan apa yang sudah bersarang di tubuh suaminya. Tega nian Yudha menolak darah dagingnya sendiri, hanya karena terlahir berjenis kelamin perempuan. Apa salahnya dengan anak perempuan? Bukankah laki-laki dan perempuan itu sama saja?! 

Sesak sekali rasanya dada Zakia. Namun sebelum sempat ia berpikir, Yudha keburu membuka lemari pakaian, mengeluarkan baju-bajunya yang tak seberapa, yang kemudian ia satukan dengan baju-baju milik Naya.

"Aku serius dengan ucapanku, Zakia. Sana, segera pindah kamar belakang. Lebih baik aku tidur sendiri di kamar ini. Nanti kalau aku ada perlu sama kamu, kamu bisa masuk ke sini lagi. Akan tetapi ingat, jangan pernah membawa anak ini ke kamarku. Aku tidak sudi mendengar tangisnya."

Yudha melemparkan buntalan besar itu tepat di samping Zakia duduk, kemudian lelaki itu keluar dari kamar. Zakia pikir Yudha tidak akan kembali lagi setelah puas mengucapkan kata-kata kasar kepadanya, tetapi ternyata lelaki itu kembali lagi dengan membawa segelas air hangat

"Beri minum anak ini. Jangan sampai dia menangis  terus. Setelah dia tenang, pergilah dari kamar ini. Sekarang kamar belakang adalah tempat tinggalmu selama kamu mengurus bayi ini," ucap Yudha dingin sembari meletakkan gelas berisi air putih hangat di meja dekat pembaringan, lalu bergegas keluar lagi dari kamar ini.

Zakia meraup udara sebanyak-banyaknya kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Dadanya masih terasa sesak. Perlakuan Yudha sungguh menyakitkan. Dia masih bisa menerima jika seandainya Yudha memperlakukan dirinya dengan kasar, tetapi tidak bagi putrinya. Putrinya adalah nyawanya. Dia tidak bisa membiarkan laki-laki itu memperlakukan putrinya dengan buruk. 

Naya masih saja menangis. Akhirnya dengan berat hati, Zakia mulai memasukkan pucuk payudara yang sudah ia tetesi dengan air hangat ke mulut putrinya. Naya menghisap pucuk payudaranya dengan kuat. Zakia terus menetesi payudaranya dengan air hangat itu sembari berurai air mata.

Dia tahu ini salah. Andai ia masih punya pegangan uang, Zakia sendiri yang akan membelikan susu formula untuk putrinya. Akan tetapi saat ini dia benar-benar tidak punya uang sama sekali. Tak sepeser pun uang ada padanya sepulangnya dari rumah sakit.

"Mudah-mudahan saja perutmu tidak kembung, Nak. Untuk sementara minum air putih dulu ya. Nanti Mama akan pikirkan solusinya," ucap Zakia lirih. 

Naya sudah mulai tenang. Rona wajahnya berangsur-angsur normal, meski nafasnya masih turun naik, pun suhu di tubuhnya belum juga turun.

Setelah Naya lebih tenang, dia segera menggendong putrinya menuju kamar belakang. Kamar belakang itu sebenarnya merupakan sebuah gudang tempat penyimpanan barang-barang. Dulu Marina, ibu mertuanya memiliki sebuah toko yang menjual bahan kebutuhan pokok. Namun setelah suaminya alias bapak mertua Zakia meninggal dunia, toko akhirnya ditutup dan gudang itu pun dibiarkan kosong.

Zakia membuka pintu dengan hati-hati. Suasana agak gelap, karena tak ada penerangan. Dia membuka jendela untuk membuat udara lebih segar.

Ruangan ini memiliki ukuran 4x4 meter, cukup luas untuk tempat tinggal ia berdua dengan Naya. Hanya saja, ruangan ini penuh dengan debu. Dia harus membersihkannya lebih dulu. Zakia menyapu seluruh ruangan sambil tetap menggendong putrinya. 

Setelah semuanya bersih Zakia pun segera memindahkan barang-barangnya dari kamar suaminya ke kamar ini.

"Tak apa kita tinggal di tempat ini, Nak. Kalau ayahmu tidak bisa menerimamu, Mama lah yang akan menjaga dengan segenap jiwa raga Mama. Kamu anak Mama. Kamu permata hati Mama. Jangan takut," ucap Zakia lirih sembari merebahkan putrinya di kasur tipis yang ia ambil dari kamar suaminya. Yudha mengizinkan Zakia membawa kasur itu karena kondisinya yang sudah nyaris tidak lagi layak pakai. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Zakiah klau kamu masak simpan tersendiri yg kamu mau makan, krn tau sendiri kan tdk akan menyimpankan kamu dan bantahlah suamimu kalau dia sewenang-wenang atau tinggal dia sekalian
goodnovel comment avatar
Rya Pattiasina
suami spt ini enaknya ditinggal, emang itu suami lahir dari ibu laki2 ya, edan
goodnovel comment avatar
Casper Mas
geram nyer lelaki mcm ni..harus dibuang aja..buat apa dipertahankan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status