Share

Ditalak Suami, Dikejar Berondong
Ditalak Suami, Dikejar Berondong
Penulis: Ike Frenhas

Bab 1. Hubungan yang Hambar

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku.

Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain.

Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.

“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”

Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar diriku tidak terlalu kecewa akan sikap tak acuhnya selama ini.

Kami memang menikah karena perjodohan. Mama Vani -mertuaku- dan ibuku adalah sahabat dekat. Klise memang, dua orang sahabat karib yang saling mengikat janji untuk menjodohkan putra putrinya agar persahabatan mereka semakin erat. Walaupun ibuku telah lebih dulu meninggalkan dunia ini, tetapi janji itu masih ditepati oleh sahabatnya.

Aku sangat mengerti jika cinta di antara kami memang bukan cinta yang tumbuh begitu saja. Aku dan Mas Abi harus sama-sama berjuang untuk menumbuhkan rasa itu di hati masing-masing. Aku sangat percaya bahwa perasaan itu akan hadir seiring waktu bersama yang akan kami lalui, tetapi tampaknya ... bayangan itu hanya sebatas angan belaka. Sebab, selama beberapa bulan ini diriku merasa bahwa hanya aku yang berusaha mendekat, berusaha menumbuhkan rasa cinta itu sedangkan suamiku malah semakin menjauh.

Aku mendongak, melihat jam dinding yang telah menunjuk ke angka satu saat mendengar deru mobil yang sangat kuhapal itu berhenti di depan pagar. Tanpa berpikir panjang, aku pun bergegas membuka pintu rumah lalu berlari menuju halaman. Mas Abi telah turun dari mobilnya saat tanganku telah mencapai pintu pagar untuk membukanya. Sejenak, pandangan kami bertemu. Namun, Mas Abi buru-buru mengalihkan tatap lalu berlari masuk ke mobil.

Setelah menutup pintu pagar itu, aku pun segera masuk ke rumah. Mas Abi pun tampak melangkah lesu ke dalam rumah. Lelaki itu duduk di ruang tamu dengan penampilan yang telah acak-acakan. Dasinya telah longgar dengan kancing kemeja yang tidak genap, jasnya disampirkan di sandaran sofa.

“Capek banget, ya, Mas?” tanyaku hati-hati seraya melepaskan sepatu beserta kaus kakinya dari kaki suamiku. Aku tersenyum tipis saat tidak ada penolakan dari lelaki itu.

“Udah makan malam belum? Atau mau mandi dulu? Aku siapkan airnya,” tanyaku lagi. Sama seperti tadi, tidak ada jawaban dari lelaki itu. Mas Abi memejamkan mati dengan posisi kepala mendongak.

Aku meletakkan sepatu ke tempatnya lalu membawa tas kerja serta jas Mas Abi ke kamar. Selanjutnya menyiapkan air hangat untuk dia mandi. Setelah itu, barulah kembali ke ruang tamu melihat keadaan suamiku itu. Dia masih dalam posisi tadi, tetapi kemudian tubuhnya bergerak untuk menjawab panggilan telepon di ponselnya.

“Hm, sudah. Iya ....”

Suara Mas Abi terdengar sangat lembut membuat darahku sampai berdesir mengalir ke seluruh tubuh. Tidak pernah dia berbicara kepadaku dengan nada selembut itu. Tiba-tiba, jantungku berdetak cepat. Seperti ada yang mencubit hatiku.

“Iya, jangan khawatir ....”

Setelah memasukkan benda pipih itu ke saku celananya, Mas Abi pun beranjak bangun. Namun tiba-tiba, dia mendelik kaget saat tatapan kami bertemu. Walaupun ekspresi terkejutnya itu hanya sebentar, sebab lelaki itu dengan cepat mengubah ekspresinya kembali datar.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyanya dingin.

“Baru saja,” jawabku singkat. Aku berpura-pura tidak mengetahui ataupun mendengar apa yang baru saja terjadi.

Bisa jadi, itu telepon dari temannya, ibunya atau rekan kerjanya, ‘kan?

Aku menampilkan senyum sebaik mungkin. Jangan sampai lelaki yang tengah menatapku itu mencurigai diriku menyembunyikan prasangka terhadapnya.

“Mas Abi mau mandi? Airnya sudah aku siapkan,” ujarku masih dengan senyuman di bibir.

Mas Abi tidak menjawab. Dia berdiri lalu beranjak ke kamar. Sedangkan aku memilih masuk ke kamarku. Saat tanganku sampai di handel pintu, aku berbalik.

“Mas, kalau mau makan panggil saja nanti aku siapkan. Aku juga sudah menyiapkan baju gantimu di atas ranjang.” Kemudian aku melangkah masuk tanpa peduli dengan ekspresi yang lelaki itu berikan.

Aku duduk di ranjang dengan bersandar di kepala ranjang, menunggu kalau saja Mas Abi akan memanggilku untuk menyiapkan kebutuhannya. Hingga beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda jika lelaki itu memanggilku. Aku putuskan untuk berbaring, menarik selimut sampai ke dada lalu memejamkan mata.

Belum sampai diriku terlelap, terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku segera beranjak, tanpa melihat pun diriku tahu siapa yang ada di luar kamar ini, sebab kami hanya tinggal berdua.

“Iya, Mas. Ada yang bisa aku lakukan?” tanyaku saat pintu telah terbuka.

Mas Abi sudah tampak segar ketimbang saat pulang kerja tadi. Rambutnya basah dan acak-acakan, tetapi malah semakin menampakkan ketampanannya. Wangi sabun menyeruak menggelitik indera penciumanku, membuat sisi diriku yang lain bangkit. Sisi lain dari seorang istri yang tidak pernah disentuh oleh suaminya.

Sejenak, aku memejamkan mata guna menenangkan pikiran yang mulai bermain-main di kepala. Mengusir segala angan yang mulai berani mengusik hati nurani.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Ini pertama kalinya sejak kami hidup bersama. Mas Abi lebih dulu mengajakku berbicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status