Share

Bab 2. Keputusan Final

“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.

Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.

Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.

“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.

“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.

Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.

“Ayumi ....”

Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya Mas Abi memanggilku dengan nada yang sangat lembut. Atau mungkin, ini adalah pertama kalinya dia memanggil namaku. Selama ini, kami berbicara tanpa ada nama yang terucap dari lisan lelaki itu. Maksudku, jika dirinya mengatakan sesuatau tak pernah kudengar dia menyebut namaku. Melainkan langsung ke pokok bahasan saja. Ke inti apa yang ingin dia katakan. Namun sekarang ....

“Mama apa kabar, Mas? Kita sudah lama tidak berkunjung,” tanyaku antusias. Mengalihkan gugup yang semakin mendera hati. Aku mencoba mencarikan topik yang dapat mengurai kecanggungan ini.

“Ayumi, aku ingin berbicara serius,” ujarnya lagi. Mas Abi masih menatapku lekat.

Sepertinya dia sadar aku tengah mengalihkan pembicaraan.

“Iya, Mas. Bicaralah,” sahutku lirih.

Aku sadar, sekarang ataupun nanti pembicaraan serius ini akan terjadi. Maka, lebih baik aku diam menunggu apa yang ingin lelaki di seberangku itu katakan.

Mas Abi berdeham pelan lalu berkata pelan, “Aku merasa jika pernikahan kita ini tidak baik-baik saja.” Kedua tangannya saling bertautan di atas meja. “Kita sama-sama tidak saling mencintai ....”

“Kita bisa mencobanya, Mas. Jika kita ingin.” Aku menyela ucapan lelaki itu.

Mas Abi menghela napas panjang. Apa pembicaraan ini sangat berat baginya? Seperti yang tengah kurasakan. Atau dia tidak setuju dengan perkataanku barusan?

“Jangan kira aku tidak mencobanya, Ayumi. Aku sudah mencobanya.”

“Tetapi tetap tidak bisa,” imbuhku.

“Ya.”

Satu kata yang terlontar dari lisan Mas Abi disertai anggukan itu menyayat hatiku. Sebegitu tak bergunanya diriku memperjuangkan cintanya selama ini. Aku telah mencoba, berulang kali, tetapi gagal karena dia membangun benteng terlalu tinggi.

“Lalu?” tanyaku dengan suara bergetar. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Percuma saja. Sekuat tenaga kutahan air mata ini agar tidak tumpah, nyatanya hatiku tak sekuat itu. Aku lupa membangun pertahananku sendiri, sebab selama ini terlalu sibuk membuat lubang benteng Mas Abi agar diriku bisa masuk.

“Aku ingin jujur kepadamu.”

Aku memalingkan wajah ke samping. Mengusap air mata dengan gerakan cepat.

“Sebenarnya, aku telah memiliki kekasih. Dan ... aku telah melakukan kesepakatan kepada mama juga jika ....” Jeda sejenak. Dia menatapku dengan tatapan yang entah.

“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa,” gumamku lirih.

“Jika dalam waktu enam bulan aku tidak bisa mencintaimu. Mama bersedia merestui hubungan kami,” terangnya.

Aku tersenyum kecut. Sebegitu hinanya aku di mata lelaki itu, sampai-sampai kesepakatan seperti itu pun aku tidak diberi tahu.

“Lakukan apa maumu, Mas,” balasku pelan.

“Aku tidak tahu apa makna air matamu itu, Ayumi. Tapi, aku rasa itu karena kamu menangisi nasib pernikahan kita bukan karena ... cinta.”

Aku terkekeh pelan mendengar penuturannya. Bisa-bisanya Mas Abi berpikir jika aku menangis karena cinta.

“Jangan khawatir, Mas. Aku tidak segampang itu.”

Mungkin bagimu aku akan sangat berdosa jika mencintai suamiku sendiri, Mas.

“Kalau begitu, apa bisa aku mengambil keputusan sekarang?” tanyanya ragu. Suaranya tidak setegas tadi.

“Tentu.” Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan.

“Ayumi Defita kamu kutalak.” Suara Mas Abi terdengar tegas dan bergetar secara bersamaan.

Jangan tanyakan bagaimana hatiku. Hatiku seakan telah berserakan di lantai ini. Entah bagaimana caraku memungut dan menyatukannya kembali. Kubiarkan air mataku mengalir deras. Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.

“Apa dia yang di telepon tadi, Mas?” tanyaku ingin tahu setelah bisa menguasai diri.

“Ya?” Manik hitam Mas Abi mendelik kaget.

“Wanita itu. Apa yang ada di telepon tadi?” tanyaku lagi.

“Ya,” jawabnya singkat.

Aku tersenyum tipis lalu berujar pelan, “Pantas. Aku yakin kamu sangat mencintainya. Terlihat jelas dari tutur katamu.”

“Ya?” Mas Abi mendelik kaget.

Ah, kenapa dari tadi laki-laki itu seakan terkaget-kaget atas apa yang aku ketahui.

“Karena selama ini, Mas tidak pernah berbicara dengan suara lembut begitu kepadaku,” terangku jujur.

“Aku ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status