Share

Bab 4

Aku begitu terkejut dengan kedatangan mas Bima yang secara tiba-tiba. Dia begitu terlihat marah, berdiri dengan berkacak pinggang di belakang tak jauh dariku dan Reyden.

"Ma-mas Bima!" Seruku.

"Ya ini aku. Kenapa? Kamu terkejut Siska? Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku? Apa tidak ada tempat lain untuk kalian berkencan selain di rumah sakit!" Ucapnya lantang. Beruntung lorong ini sepi jadi tak mungkin akan ada yang terganggu dengan keributan yang kami ciptakan.

Aku menggeleng dengan keras mencoba membantah tuduhan yang mas Bima layangkan. Aku juga masih begitu sadar diri tak mungkin berpikiran semacam itu. Meski mas Bima baru beberapa jam menalakku bukan berarti aku langsung berpihak pada hati yang lain.

"Aku bisa jelaskan mas, Ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Reyden tidak ada hubungan apa-apa. Justru, Reyden yang membantuku membawa anak kita kesini. Anak kita sakit mas!" Ucapku menjelaskan apa yang terjadi.

"Benar begitu?" Mas Bima tampak tak yakin dengan perkataanku. Kedua alisnya tampak saling ingin bertautan.

"Iya mas, iya. Kamu bisa tanyakan pada Reyden kalau tidak percaya." Kataku mencoba menyakinkan mas Bima.

"Lagipula mas kok bisa tau aku ada disini? Aku bahkan belum melihat ponselku sama sekali untuk mengabarkan pada mas." Sambungku.

Entah kenapa mas Bima tampak seperti orang yang sedang kebingungan mencari jawaban. Aku tau betul sifatnya ketika sedang gelisah bahkan tampak gugup seperti sedang mencari jawaban. Seperti ada yang disembunyikan oleh mas Bima.

"Aku itu mencarimu kemana-mana Siska. Sampai kepalaku pusing dan berakhir kesini. Ini salahmu sendiri yang tidak mengangkat telfonku sama sekali."

"Aku hanya mau minta maaf dan ingin kembali bersama. Aku bersalah atas tindakanku tadi sore. Tak seharusnya aku berkata seperti itu padamu dan anak kita." Ucapnya yang sesekali melirik ke arah Reyden yang sedari tadi diam saja. Mungkin, Reyden mengerti batasan bahwa ini bukan ranahnya untuk ikut campur.

Mataku berbinar dengan jawaban mas Bima. Aku tak menyangka bila selama ini aku salah paham dengannya. Ternyata mas Bima benar-benar mencintaiku. Ya, cukup wajar jika mas Bima sedang mengalami emosi sesaat karena keinginannya yang tak sesuai harapan. Saat ini rasanya separuh beban di hatiku sedikit memudar.

Ku hampiri mas Bima lalu memeluknya. "Terimakasih mas. Maafkan aku juga yang sudah salah paham dengan mas. Aku pikir mas benar-benar tak lagi mau menginginkan kami." Ucapku dengan raut wajah yang bahagia.

"Anak kita sakit apa?" Tanya mas Bima. Segera ku lepaskan pelukanku dan menjelaskan pada mas Bima kejadiannya yang membuatku harus datang kesini dengan Reyden. Bahkan awal pertemuanku dengannya.

"Maafkan aku mas. Aku sudah membuat anak kita sakit." Ucapku merasa bersalah.

Mas Bima memegang pundakku dan mengalihkan pandanganku yang menunduk untuk melihat ke arahnya. Kini pandangan kami saling bertemu. Mas Bima tersenyum membuatku sedikit terpesona sesaat.

"Kamu tidak bersalah Siska. Harusnya aku yang minta maaf sama kalian. Andai aku tidak terbawa emosi waktu itu, mungkin saja anak kita tidak sakit saat ini." Kata mas Bima mengelus pucuk kepalaku. Kebiasaannya ketika menenangkanku saat sedang sedih atau pun gelisah juga panik. Dan caranya selalu berhasil, kini aku jauh lebih tenang daripada tadi.

Kemunculan suamiku seolah menjadi magnet penguat dalam diriku yang sedang kalut dan lemah ini. Berkali-kali ku ucapkan rasa bersyukur di dalam hati. Aku merasa begitu berdosa karena sudah memberikan prasangka buruk pada mas Bima. Ya, harusnya aku lebih menyakinkan diriku. Bahwa mas Bima tak mungkin setega itu pada istri dan anaknya. Aku saja yang terlalu tergesa-gesa pergi dari rumah karena terbawa emosi atas ucapan mas Bima.

"Kalau begitu, aku pergi dulu Ska, Bim. Kayaknya urusanku disini sudah selesai. Untuk kopermu biar nanti aku bawakan kesini, Ska."

"Iya Rey, Terimakasih. Maaf sudah merepotkanmu." Ucapku tak enak hati.

"Its okay Ska. Gak ada yang direpotkan kok." Reyden menghampiri mas Bima sembari menepuk bahunya. Entah apa yang Reyden katakan, namun ekspresi mas Bima tampak seperti orang yang tak suka.

Setelahnya Reyden pamit pergi padaku juga mas Bima. Aku pun tak berani untuk bertanya banyak hal pada mas Bima. Karena, saat ini mas Bima tampak seperti seseorang yang tak ingin diajak berbincang. Jadi, ku pegang lengannya menyuruhnya untuk duduk di ruang tunggu. Sembari menunggu pintu ruang UGD terbuka. Aku berdoa begitu banyak dalam hati, agar anakku tidak kenapa-kenapa di dalam sana. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku tak akan memaafkan diriku sendiri.

Cklek

Akhirnya pintu ruangan yang ku tunggu-tunggu terbuka. Seorang suster menggendong Debora membuatku lekas berdiri menghampirinya. Sedang tampak dokter berada di sampingnya.

"Ada apa dengan anak saya dok?" Tanyaku dengan harap-harap cemas.

"Sebaiknya ibu dan bapak tenang dulu. Pasien Debora mengalami demam karena infeksi. Penyebabnya bisa saja karena dehidrasi, efek samping vaksinasi, atau kegerahan karena mengenakan pakaian yang terlalu ketat dan tertutup. Apa pasien Debora meminum Asi atau susu formula?"

"Anak saya minum Asi saya dok. Gak mungkin anak saya mengalami dehidrasi. Sudah 3 hari ini anak saya minum Asi. Baju juga tidak terlalu ketat."

Pernyataan dari dokter membuatku lemas seketika. Mendengar kabar buruk yang terjadi pada bayiku membuatku semakin menyalahkan diriku sendiri.

"Tenang Bu, tenang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begini saja, saran saya coba ibu pompa dulu ASI-nya. Takutnya apa yang saya khawatirkan benar terjadi."

"Maksud dokter apa?" Tanya mas Bima.

"Maaf pak, saya hanya memberi saran untuk memompa ASI dengan alat khusus. Agar kami tau kebutuhan Asi yang masuk ke dalam pasien Debora. Takutnya jika pasien menyus*i langsung tidak keluar atau sedikit karena ada saluran yang terhambat sehingga pasien mengalami dehidrasi."

Jderr

Penjelasan dokter membuat jantungku seperti ditusuk ribuan paku. Aku tak pernah terfikirkan hal itu karena semenjak kelahiran Debora, Asiku begitu lancar. Jadi, kemungkinan untuk dehidrasi itu tak mungkin terjadi.

"Apa ada hal yang istri anda fikirkan pak? Karena jika memang benar ada, bisa jadi itu adalah salah satu penyebab Asi istri bapak terhambat dan tidak lancar seperti biasanya."

Ku lihat mas Bima tak lagi menimpali ucapan dokter. Entah apa yang sedang mas Bisa pikirkan. Namun, aku merasa ucapkan dokter kali ini benar. Jika karena pikiran, ini semua karena aku terlalu banyak memikirkan ucapan talak dari mas Bima sore tadi. Aku tak menyangka jika karena itu justru berdampak pada Asiku dan membuat Debora dalam bahaya.

"Tentu ini akan memberikan dampak yang berbahaya bagi kesehatan pasien. Apalagi, pasien masih terlalu kecil. Silahkan ibu cek dahulu, jika memang benar dugaan saya. Kami sarankan untuk memberikan susu formula sebagai pengganti sementara."

Kali ini lututku benar-benar lemas seperti jelly. Pernyataan dari dokter membuatku tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Keinginan untuk menyusui Debora selama waktu yang ditentukan harus sirna sudah karena keegoisanku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status