Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku.
Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian."Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu."Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja.Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang."Mas jangan keras-keras, gak enak sama pasien yang lain. Ini rumah sakit bukan di rumah sendiri." Tegurku sehalus mungkin. Tetap saja mas Bima tak merespon sama sekali. Namun, setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arahku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Mas.." panggilku sekali lagi. Ku coba untuk bangun agar bisa duduk dan melihat mas Bima dengan lapang."Keadaan anak kita bagaimana mas?"Entah berapa kali aku bertanya perihal Bora pada mas Bima. Namun, tetap saja tak kunjung ada jawaban darinya membuatku semakin keheranan. Karena tak ingin terlalu lama menunggu, segera ku lepas infus yang terpasang di tangan kiriku. Setelah mencari alas kakiku segera aku keluar ruangan tanpa berpamitan pada mas Bima yang sikapnya begitu aneh.Meski rasa pusing masih menjalar di area kepala, tetap tak menyurutkan niatku untuk berjalan menghampiri tempat informasi. Meski harus berjalan dengan pelan-pelan untuk sampai kesana. Setelah sekian lama berjalan dengan terseok-seok akhirnya sampai juga. Segera ku hampiri bagian pelayanan untuk menanyakan dimana anakku berada di ruangan mana."Pasien berada di ruangan Gemilang nomor 3 di lantai nomor 2 ya Bu." Ucap suster bername tag Dila."Baik sus, terimakasih atas informasinya."Setelah mengucapkannya, lekas aku mencari-cari dimana ruangan tersebut. Setelah berjalan cukup lama karena harus menahan rasa pusing di kepala. Pintu ruangan yang dimaksud sudah berada tepat di sampingku. Gemilang 3. Terdapat pembatas dengan kaca berukuran lebar yang bisa membuatku melihat dari luar. Anakku terbaring dengan selang infus berada di tangan kirinya. Seketika, aku tak sanggup melihatnya.Berkali-kali ku pukul dadaku karena rasa sesak yang menghimpit secara tiba-tiba. Sakit sekali melihat anak yang baru beberapa hari lalu aku lahirkan tergolek lemah tak berdaya."Apa yang aku katakan? Anak perempuan pertama itu lemah. Kalau dia anak laki-laki pasti tubuhnya kuat dan tidak mudah sakit seperti ini."Tiba-tiba mas Bima berucap tepat disampingku. Entah kapan dia datangnya, tapi bukan itu yang menjadi fokusku kali ini. Ucapan yang baru saja ia katakan padaku membuat rasa kesalku bangkit kembali. Kenapa dia mengungkit masalah ini lagi?"Apa maksudmu bilang begitu mas? Semua bayi pasti bisa saja sakit, tak peduli dia laki-laki atau perempuan." Ucapku dengan suara parau. Rasanya aku tak ada tenaga lebih untuk berdebat dengan mas Bima."Aku cuma bilang aja. Buktinya sekarang bisa dilihat kan? Baru beberapa hari lahir malah opname disini. Ya, karena anak itu lemah."Gampang sekali ucapan itu meluncur dari mulut mas Bima. Seperti tak ada beban sama sekali, bahkan matanya lebih fokus melihat para suster juga dokter yang berseliweran di depan kami."Mas! Jangan membuat keributan disini. Kamu sendiri sudah minta maaf sama aku dan Bora. Harusnya kamu khawatir sama anak kita bukannya mendebatkan imun tubuh anak laki-laki dan perempuan." Ucapku dengan kesal.Mas Bima tak menanggapi ucapanku, hanya saja tubuhnya ia condongkan lebih dekat ke arahku. Berbisik dengan begitu pelan namun berhasil membuatku naik pitam. Mas Bima benar-benar tidak berubah. Aku tak menyangka dirinya bisa mengatakan hal yang lebih buruk dari binatang. Bahkan, binatang liar pun tak akan tega pada anaknya."Kamu gila mas!" Pekikku. Meski sakit kepalaku masih mendera bahkan jauh lebih hebat karena terlalu memikirkan ucapan mas Bima yang begitu keterlaluan."Apa salahnya? Kita tetap bisa merawatnya meski tak harus serumah kan?"Ku pijit kepalaku dengan cukup keras. Entahlah rasanya aku ingin pingsan saja detik ini. Aku tak lagi sanggup mendengarkan semua penawaran mas Bima yang begitu menyakitkan."Bagaimana Siska? Tenang saja, disana kan banyak temannya. Anak itu tak akan kesepian. Hanya merubah posisi tempatnya saja.""Lusa nanti semua teman kantorku ingin mengadakan acara di rumah kita. Aku tak ingin malu karena sudah salah memberi informasi jenis kelam*n anakku pada mereka. Mereka bisa saja menertawakanku karena aku dianggap berbohong. Apa kamu tidak kasihan denganku?"Ku tepis tangan mas Bima dengan kasar. Tak peduli kalau saja akan ada yang melihat pertengkaran kami. Mas Bima benar-benar sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia mendapatkan ide buruk bahkan sekejam itu."Kamu bilang aku harus kasihan denganmu mas? Apa kamu tidak punya perasaan lagi sampai-sampai punya niatan untuk memisahkan kami. Dia anak kita loh mas, anak kamu. Bisa-bisanya kamu punya ide mau menukarnya dengan anak dari panti asuhan.""Jika kamu masih bersikukuh dengan pendirianmu. Lebih baik kita pisah mas, aku ikhlas kamu talak. Bahkan jika harus mendapatkan talak tiga darimu, akan aku terima. Daripada harus dipisahkan dari darah dagingku sendiri karena kepentingan egomu." Sambungku dengan setiap kalimat penuh penekanan.Astaga!Rasanya sakit sekali bahkan jauh lebih sakit daripada ditikam sebilah pisau. Entah terbuat dari apa hati suamiku itu? Aku tak menyangka bila sikapnya masih belum berubah. Bahkan dia datang membawa ide kejamnya padaku. Meski hatiku saat ini begitu kesal sekali bahkan mungkin hancur berantakan tetap aku berusaha untuk mengontrol nada suaraku agar tak sampai menjadi bahan perhatian orang lain. Setidaknya aku harus tetap menjaga harga diri suamiku, meski kenyataannya ingin sekali diri ini menghantam mulut kejamnya.Semua orangtua begitu mengharapkan hadirnya sosok makhluk kecil dari rahim mereka. Tak peduli laki-laki maupun perempuan asalkan ia lahir dengan sehat dan sempurna. Aku yakin semua orangtua pastilah memiliki pikiran yang sama denganku. Tapi, kenapa mas Bima berbeda? Bisa-bisanya dia memiliki ide untuk menukar anaknya sendiri dengan anak orang lain hanya karena ingin memiliki anak laki-laki yang sesuai keinginannya."Jadi kamu menolakku?" Suara mas Bima yang begitu dekat denganku terasa seperti ancaman bagiku. "Jika kamu melakukannya, jangan harap hidupmu dengan anak itu akan bahagia."3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan
Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk
"Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku
Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju
Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada
"Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si