"Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya.
"Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan."Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang."Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang."Cuih!Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku tak ingat masih berada di tempat keramaian mungkin aku sudah menggila karena semua ucapannya yang ia anggap saran itu. Bisa-bisanya dia mengatakannya dengan begitu tega untuk tidak menunggui anakku sendiri. Aku orangtuanya, ibunya. Melihat anak dengan kondisi sakit, ibu mana yang bisa tidur dengan nyenyak?Aku tak percaya dulu mencintainya. Aku tak menyangka bila laki-laki yang ku anggap bisa mengayomiku justru yang melukaiku sehebat ini. Bahkan begitu tega mengancamku dan anaknya sendiri. Tak membiarkan hidup kami bahagia? Memangnya dia Tuhan yang bisa menentukan kebahagiaan orang atau bukan.Menyesal memang datangnya belakangan, jika di awal namanya pendaftaran. Dan opsi pertama yang sedang aku rasakan sekarang. Mas Bima benar-benar berubah hanya karena harapannya tak sesuai. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Anak itu lahir dengan sehat dan sempurna tanpa kekurangan apapun saja sudah membuatku bahagia. Bagiku laki-laki maupun perempuan tak ada bedanya sama sekali. Hanya jenis kelam*n saja. Kenapa mas Bima begitu mempermasalahkannya?Jam sudah menunjukkan angka 9 malam. Namun, yang namanya rumah sakit pastilah tetap ramai. Meski bukan suster dan dokter yang hilir mudik, melainkan kebanyakan keluarga pasien. Termasuk aku yang sedang menunggu anakku diluar, dokter tak mengijinkanku untuk menjaga anakku di dalam. Untuk menjaga ruangan tetap sterilisasi katanya. Meski begitu berat hati, tapi aku tak mengapa asal anakku segera sembuh.Ucapan dokter kala itu memang benar, karena aku yang terlalu banyak pikiran membuat produksi ASI ku tak sebanyak biasanya. Membuat anakku kekurangan nutrisi dan menjadi dehidrasi. Apalagi aku membawanya di cuaca yang begitu dingin karena hujan. Tak terbayang bagaimana rasa tak nyamannya yang anakku rasakan. Ku seka airmata yang jatuh perlahan. Sakit sekali rasanya tak bisa menjaga anakku dengan baik."Ibu bisa beristirahat, biar saya yang menjaga pasien Debora."Perkataan suster beberapa menit lalu masih terngiang di kepalaku. Ku tolak dengan baik-baik karena bagaimana pun aku masih sanggup menjaganya meski hanya dari luar saja."Baik, nanti kalau ada apa-apa bisa panggil saya saja di bagian informasi."Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Rasa sakit kepala memang membuatku lemas. Bersandar di dinding belakang cukup ampuh meringankan beban kepalaku. Aku harus kuat demi anakku, setidaknya aku harus memperlihatkan pada mas Bima bahwa aku sanggup hidup tanpanya. Ku buang pikiran bahwa aku yang yatim piatu tak bisa hidup tanpanya karena terlalu bergantung padanya bertahun-tahun. Namun, sekarang tidak lagi! Meski aku tak memiliki sanak keluarga, aku harus membuktikan pada mas Bima bahwa aku bisa tanpa bergantung padanya.Jika pun nantinya mas Bima tak mau membayarkan biaya rumah sakit. Biarkan saja, masih ada cincin pernikahanku yang akan aku jual nantinya sebagai biaya kesembuhan anakku. Cincin bisa dibeli dan mencari uang bisa dengan bekerja apa saja, namun kesembuhan anakku jauh lebih penting dari sekedar cincin yang sekarang bagiku tak lagi berarti apa-apa.Cincin bermatakan berlian, di dalamnya juga tergores namaku dan mas Bima. Cincin yang mas Bima pesan sendiri sebagai rasa cintanya padaku dulu. Ia mengatakan bahwa cincin itu istimewa karena ia sendiri yang memesannya khusus. Dulu, aku begitu senang dan bahagia menerimanya. Tak menyangka bahwa mas Bima begitu romantis. Namun, sekarang tidak lagi. Bagiku cincin itu tak lagi istimewa dihadapanku. Sama halnya dengan sikap mas Bima.TingBunyi pesan muncul dari ponselku. Tercetak jelas nama mas Bima muncul di layar. Sebenarnya aku malas membukanya jadi kubiarkan saja ponsel itu berbunyi terus menerus. Namun, karena terlalu bosan dan jengah terpaksa aku membukanya.[Kamu kemana saja? Kenapa lama sekali ke kamar?][Sudah ada suster yang menjaga, kenapa kamu sudah dibilangin si? Biarkan saja anak itu.][Siska, ini sudah setengah jam lebih. Kenapa masih belum datang kesini? Kamu butuh istirahat.][Jangan membuatku marah, Siska!]Lihatlah! Sosok ayah macam apa dia?Bahkan semua rentetan pesan darinya tak ada sama sekali penyemangat untuk anak semata wayangnya. Bisa-bisanya dia menyuruhku datang ke kamar ruanganku berbaring tadi. Sedangkan anakku masih terbaring disini. Meski nanti ada suster yang menjaga, tapi hatiku sebagai ibu tak akan tenang.Tak ku balas pesan darinya bahkan ku matikan ponselku sekalian. Biarkan saja laki-laki itu mengomel tiada henti. Aku sudah tak peduli lagi, rasa empatiku padanya sudah lenyap sewaktu dia mengancam tentang kebahagiaanku dan anakku."Kenapa tidak balas, Siska! Kamu sengaja membuatku emosi?"Benar saja mas Bima pada akhirnya datang kesini sendiri. Tentunya tak lupa dengan omelannya yang tiada henti. Ku hela nafas pelan, percuma menjawab pertanyaannya. Tak ada yang berbobot sama sekali. Sama halnya dengan sampah yang teronggok di pinggir jalan."Siska, jawab kalau suami ngomong! Kamu mau jadi istri durhaka, hah?!" bentak mas Bima.Geram sekali aku mendengarnya. Apa dia bilang? Apa tidak kebalik barusan? Harusnya ucapan itu untuk dirinya. Apa yang dia lakukan itu sudah baik atau tidak? Bahkan dia saja sudah dzolim pada anak sendiri. Kenapa sekarang mengataiku durhaka? Bahkan mungkin saja malaikat sedang tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya yang tak masuk logika itu."Siska!" Teriak mas Bima.Astaga, hampir saja aku melonjak kaget karena teriakannya barusan. Dan beruntung saja lorong ini mulai sepi, hanya ada beberapa orang itu pun jaraknya berjauhan dengan kami. Semoga saja, mereka tak mendengar teriakkan mas Bima."Jangan teriak mas, Ini bukan hutan!" Kataku menatapnya dengan tajam. Pandangan kami saling bertemu, tentunya bukan pandangan yang bagus untuk dilihat.Mungkin mas Bima tak terima karena aku membentaknya. Terlihat sekali wajahnya yang berkulit putih itu tampak memerah, terdengar giginya saling bergemelatuk menahan amarahnya. Meski begitu, aku tidak takut sama sekali. Justru ku layangkan tatapanku padanya dengan nyalang. Sebagai bukti bahwa aku tak bisa diremehkan."Jika mas Bima masih membuat keributan, lebih baik mas pergi dari sini!" Ucapku dengan tatapan masih menyalang padanya.3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan
Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk
"Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku
Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju
Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada
"Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si