Share

Bab 6

"Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya.

"Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan."

Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang.

"Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang."

Cuih!

Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku tak ingat masih berada di tempat keramaian mungkin aku sudah menggila karena semua ucapannya yang ia anggap saran itu. Bisa-bisanya dia mengatakannya dengan begitu tega untuk tidak menunggui anakku sendiri. Aku orangtuanya, ibunya. Melihat anak dengan kondisi sakit, ibu mana yang bisa tidur dengan nyenyak?

Aku tak percaya dulu mencintainya. Aku tak menyangka bila laki-laki yang ku anggap bisa mengayomiku justru yang melukaiku sehebat ini. Bahkan begitu tega mengancamku dan anaknya sendiri. Tak membiarkan hidup kami bahagia? Memangnya dia Tuhan yang bisa menentukan kebahagiaan orang atau bukan.

Menyesal memang datangnya belakangan, jika di awal namanya pendaftaran. Dan opsi pertama yang sedang aku rasakan sekarang. Mas Bima benar-benar berubah hanya karena harapannya tak sesuai. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Anak itu lahir dengan sehat dan sempurna tanpa kekurangan apapun saja sudah membuatku bahagia. Bagiku laki-laki maupun perempuan tak ada bedanya sama sekali. Hanya jenis kelam*n saja. Kenapa mas Bima begitu mempermasalahkannya?

Jam sudah menunjukkan angka 9 malam. Namun, yang namanya rumah sakit pastilah tetap ramai. Meski bukan suster dan dokter yang hilir mudik, melainkan kebanyakan keluarga pasien. Termasuk aku yang sedang menunggu anakku diluar, dokter tak mengijinkanku untuk menjaga anakku di dalam. Untuk menjaga ruangan tetap sterilisasi katanya. Meski begitu berat hati, tapi aku tak mengapa asal anakku segera sembuh.

Ucapan dokter kala itu memang benar, karena aku yang terlalu banyak pikiran membuat produksi ASI ku tak sebanyak biasanya. Membuat anakku kekurangan nutrisi dan menjadi dehidrasi. Apalagi aku membawanya di cuaca yang begitu dingin karena hujan. Tak terbayang bagaimana rasa tak nyamannya yang anakku rasakan. Ku seka airmata yang jatuh perlahan. Sakit sekali rasanya tak bisa menjaga anakku dengan baik.

"Ibu bisa beristirahat, biar saya yang menjaga pasien Debora."

Perkataan suster beberapa menit lalu masih terngiang di kepalaku. Ku tolak dengan baik-baik karena bagaimana pun aku masih sanggup menjaganya meski hanya dari luar saja.

"Baik, nanti kalau ada apa-apa bisa panggil saya saja di bagian informasi."

Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Rasa sakit kepala memang membuatku lemas. Bersandar di dinding belakang cukup ampuh meringankan beban kepalaku. Aku harus kuat demi anakku, setidaknya aku harus memperlihatkan pada mas Bima bahwa aku sanggup hidup tanpanya. Ku buang pikiran bahwa aku yang yatim piatu tak bisa hidup tanpanya karena terlalu bergantung padanya bertahun-tahun. Namun, sekarang tidak lagi! Meski aku tak memiliki sanak keluarga, aku harus membuktikan pada mas Bima bahwa aku bisa tanpa bergantung padanya.

Jika pun nantinya mas Bima tak mau membayarkan biaya rumah sakit. Biarkan saja, masih ada cincin pernikahanku yang akan aku jual nantinya sebagai biaya kesembuhan anakku. Cincin bisa dibeli dan mencari uang bisa dengan bekerja apa saja, namun kesembuhan anakku jauh lebih penting dari sekedar cincin yang sekarang bagiku tak lagi berarti apa-apa.

Cincin bermatakan berlian, di dalamnya juga tergores namaku dan mas Bima. Cincin yang mas Bima pesan sendiri sebagai rasa cintanya padaku dulu. Ia mengatakan bahwa cincin itu istimewa karena ia sendiri yang memesannya khusus. Dulu, aku begitu senang dan bahagia menerimanya. Tak menyangka bahwa mas Bima begitu romantis. Namun, sekarang tidak lagi. Bagiku cincin itu tak lagi istimewa dihadapanku. Sama halnya dengan sikap mas Bima.

Ting

Bunyi pesan muncul dari ponselku. Tercetak jelas nama mas Bima muncul di layar. Sebenarnya aku malas membukanya jadi kubiarkan saja ponsel itu berbunyi terus menerus. Namun, karena terlalu bosan dan jengah terpaksa aku membukanya.

[Kamu kemana saja? Kenapa lama sekali ke kamar?]

[Sudah ada suster yang menjaga, kenapa kamu sudah dibilangin si? Biarkan saja anak itu.]

[Siska, ini sudah setengah jam lebih. Kenapa masih belum datang kesini? Kamu butuh istirahat.]

[Jangan membuatku marah, Siska!]

Lihatlah! Sosok ayah macam apa dia?

Bahkan semua rentetan pesan darinya tak ada sama sekali penyemangat untuk anak semata wayangnya. Bisa-bisanya dia menyuruhku datang ke kamar ruanganku berbaring tadi. Sedangkan anakku masih terbaring disini. Meski nanti ada suster yang menjaga, tapi hatiku sebagai ibu tak akan tenang.

Tak ku balas pesan darinya bahkan ku matikan ponselku sekalian. Biarkan saja laki-laki itu mengomel tiada henti. Aku sudah tak peduli lagi, rasa empatiku padanya sudah lenyap sewaktu dia mengancam tentang kebahagiaanku dan anakku.

"Kenapa tidak balas, Siska! Kamu sengaja membuatku emosi?"

Benar saja mas Bima pada akhirnya datang kesini sendiri. Tentunya tak lupa dengan omelannya yang tiada henti. Ku hela nafas pelan, percuma menjawab pertanyaannya. Tak ada yang berbobot sama sekali. Sama halnya dengan sampah yang teronggok di pinggir jalan.

"Siska, jawab kalau suami ngomong! Kamu mau jadi istri durhaka, hah?!" bentak mas Bima.

Geram sekali aku mendengarnya. Apa dia bilang? Apa tidak kebalik barusan? Harusnya ucapan itu untuk dirinya. Apa yang dia lakukan itu sudah baik atau tidak? Bahkan dia saja sudah dzolim pada anak sendiri. Kenapa sekarang mengataiku durhaka? Bahkan mungkin saja malaikat sedang tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya yang tak masuk logika itu.

"Siska!" Teriak mas Bima.

Astaga, hampir saja aku melonjak kaget karena teriakannya barusan. Dan beruntung saja lorong ini mulai sepi, hanya ada beberapa orang itu pun jaraknya berjauhan dengan kami. Semoga saja, mereka tak mendengar teriakkan mas Bima.

"Jangan teriak mas, Ini bukan hutan!" Kataku menatapnya dengan tajam. Pandangan kami saling bertemu, tentunya bukan pandangan yang bagus untuk dilihat.

Mungkin mas Bima tak terima karena aku membentaknya. Terlihat sekali wajahnya yang berkulit putih itu tampak memerah, terdengar giginya saling bergemelatuk menahan amarahnya. Meski begitu, aku tidak takut sama sekali. Justru ku layangkan tatapanku padanya dengan nyalang. Sebagai bukti bahwa aku tak bisa diremehkan.

"Jika mas Bima masih membuat keributan, lebih baik mas pergi dari sini!" Ucapku dengan tatapan masih menyalang padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status