Di dunia ini, setiap manusia memiliki jenis kelamin sekunder, yang bukan hanya menentukan pasangan hidup, tetapi juga hierarki sosial dan bagaimana mereka dipandang dalam masyarakat.
Alpha, pemegang hierarki tertinggi yang kuat dan dominan. Beta, populasi terbesar tanpa feromon. Sedangkan omega, sering dianggap sebagai lambang kecantikan. Di usia remaja, naluri Alpha dan Omega semakin kuat, membuat keinginan mereka untuk memiliki satu sama lain meningkat. Daya tarik ini terasa seperti magnet yang tidak bisa mereka kendalikan, bagian dari insting alami mereka. Sementara itu, Beta tidak mengalami ketertarikan semacam itu dan menjalani hidup mereka tanpa benar-benar terikat dalam sistem ini, meski tetap berada di dalam lingkup sosial Alpha dan Omega. Alpha bisa berteman, bekerja, atau bahkan memimpin Beta dalam lingkungan sosial. Namun, ada satu hal yang jarang terjadi, Alpha tidak punya alasan untuk bermain-main atau mengganggu Beta. Itu bukan sesuatu yang menarik bagi mereka. Jika ada yang melakukan perundungan, biasanya itu terjadi di antara sesama Beta. Jadi kenapa Reksa mengganggunya? Kenapa seorang Alpha sepertinya begitu peduli untuk membuat hidup seorang Beta seperti Fiora menjadi sulit? Tidak masuk akal. Sama sekali tidak masuk akal. Fiora berjalan dengan kepala tertunduk, kedua tangannya menggenggam erat tali tas besar milik seseorang, jelas tas itu milik Reksa. Dia berjalan persis di belakang pemilik tas, mengikuti langkah santai Reksa yang begitu kontras dengan langkahnya sendiri. Selain Reksa, ada dua orang lain, Dion dan Andi, dua sahabat setianya yang tak kalah suka mencari masalah. “Hei!” panggil Dion, menoleh ke belakang. “Apakah kau kesusahan membawa tas itu? Kalau tidak, bawakan punyaku dan milik Andi juga.” Andi menepuk bahu Dion sambil terkekeh, "jangan terlalu kejam, membawa satu saja tangannya sudah gemetaran." "Ah benar! Kenapa kau sangat lemah meski seorang beta?" Keduanya tertawa. Tapi Fiora sama sekali tidak berniat untuk menjawab. Dia membuang muka dan mendengus diam-diam. Reksa tiba-tiba menghentikan langkahnya membuat Fiora, yang tidak siap, hampir menabrak punggungnya. “Cepatlah,” kata Reksa tanpa menoleh, suaranya terdengar malas namun sedikit gelisah. “Aku tidak punya waktu seharian.” “Dari tadi juga kita mengikuti langkahmu,” ujar Dion dengan merotasikan bola matanya. Reksa menoleh sedikit, melirik Dion dengan tatapan dingin. “Tidak usah banyak komentar. Jalan saja.” Dion hanya menatapnya sinis, sementara Andi tertawa kecil. Mereka melanjutkan langkah menuju parkiran. Suasana sudah sepi ketika mereka sampai. Motor-motor siswa yang lain sudah banyak yang meninggalkan tempat, hanya beberapa kendaraan yang masih terparkir milik anggota osis atau anak-anak yang mengikuti kegiatan sekolah. Fiora segera mengulurkan tas besar Reksa. “Ini,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. Reksa menerima tasnya begitu saja, bahkan tidak menoleh ke arah Fiora. Dion dan Andi sudah menyalakan motor mereka, suara mesinnya menggema di area parkiran yang mulai lengang. Reksa melemparkan tasnya ke pundak sebelum melangkah ke arah motornya yang terparkir di tengah. “Sampai jumpa besok fiona~” ujar Dion dengan senyum mengejek, nada suaranya sengaja dibuat memanjang sebelum dia memutar gas motornya dan melaju lebih dulu. Fiora hanya diam, menatap kepergian mereka tanpa berkata apa-apa. "Kau menggunakan parfum?" Fiora kembali menghadap Reksa, sedikit tidak mengerti dengan obrolan tiba-tiba ini. "Tidak." "Hm.. tapi baumu seperti omega." Fiora mengernyit, tersinggung. "Aku bukan seseorang dengan pemikiran licik seperti itu." Reksa mengangkat bahunya sebelum menyalakan motornya dengan gerakan tenang, lalu bergabung dengan teman-temannya. Dia melaju keluar dari parkiran, meninggalkan suara mesin yang memecah keheningan dan jejak debu yang mengambang di udara. Setelah mereka pergi, Fiora berjalan perlahan menuju halte sekolah. Tempat itu ramai oleh siswa, beberapa menunggu jemputan atau angkutan umum, sementara sebagian lainnya duduk santai mengobrol. Suara obrolan riuh menyelimuti suasana, tapi Fiora tetap tenang, bergabung tanpa benar-benar melibatkan diri. Ia memilih berdiri di sisi halte, matanya sesekali melirik ke jalan, menanti angkutan umum yang belum juga datang. * Setibanya di rumah, Fiora meletakkan tas sekolahnya di kursi dekat meja belajar, lalu merebahkan diri di atas kasur. Menghirup udara di kamar yang terasa nyaman dengan aroma citrus dari diffuser kecil di sudut ruangan. Ia menghembuskan napas panjang, merasakan kelelahan hari itu perlahan memudar. Tangannya meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Tidak ada pesan baru, hanya grup kelas yang ramai membahas gosip pasangan alpha dan omega yang melakukan tindakan asusila di sekolah. Fiora tidak terlalu tertarik untuk bergabung dalam percakapan itu. Dia mulai membuka sosial medianya untuk mengetahui kabar terbaru yang mungkin menarik minatnya. Dari luar kamar, terdengar suara ibunya berteriak. "Aku sudah tidak tahan lagi!" Fiora terdiam, jemarinya berhenti menggulir layar ponsel. Suara ibunya begitu jelas, penuh emosi, dan tidak lama kemudian, terdengar suara ayahnya membalas dengan nada sama tingginya. Mereka bertengkar. Lagi. Botol kaca dipukul sampai nyaring. "Kau pikir aku bodoh?!" suara ayahnya menggema, menusuk telinga Fiora. "Jangan pura-pura tidak tahu! Aku bisa mencium baunya! Feromon itu!" "Tolong, jangan mulai lagi," suara ibunya melemah, tetapi masih cukup jelas. "Aku sudah bilang, aku tidak—" "Omong kosong!" bentak ayahnya, memotong kalimat yang belum selesai. "Beta tidak mengeluarkan feromon! Tapi kau pulang dengan aroma itu! Bau seorang Alpha!" Plak! Fiora bisa menebak bahwa tamparan itu berasal dari telapak tangan ibu dan kulit pipi ayahnya. Kemudian hening beberapa detik sebelum suara langkah tergesa terdengar. Pintu depan terbuka dan tertutup kembali dengan keras. Ibunya pergi. Lagi. Fiora mengepalkan tangannya, berusaha menekan gemetar yang menjalar di ujung jarinya. Dia tahu, meskipun Alpha tidak pernah benar-benar tertarik pada Beta, banyak dari mereka yang tetap mencari kesenangan dari Beta. Tidak ada ikatan, tidak ada risiko besar, hanya hubungan sementara yang bisa diakhiri kapan saja. Mungkin itulah yang terjadi pada ibunya. Fiora tidak bisa menyalahkan ibunya sepenuhnya. Hidup dengan seorang penjudi dan pemabuk pasti terasa seperti neraka. Namun, itu tidak berarti ia membenarkan perselingkuhan. Rasa pahit menyelusup ke dalam dadanya. Keluarganya sudah berantakan sejak lama, tetapi setiap kali kejadian seperti ini terjadi, lukanya terasa semakin dalam. * Fiora menghela napas berat ketika matanya jatuh pada bangku mejanya. Permukaan itu kini dipenuhi coretan-coretan, tulisan-tulisan konyol dan ejekan yang memberi 'motif' baru pada mejanya. Tidak hanya itu, di tengah dan paling banyak menarik perhatian, terdapat gambar kartun Fiona versi Shrek dengan wajah tersenyum lebar yang lebih terlihat menyeramkan daripada lucu. Ia menatap meja itu tanpa suara, membiarkan rasa kesal mengendap di dadanya. Goresan tinta hitam dan jenis tulisan yang serupa membuatnya mudah menebak bahwa semua ini adalah hasil karya satu orang saja. Fiora tidak perlu berpikir keras untuk tahu siapa dalangnya. Lagipula, mudah menemukan orang di dunia ini yang dengan senang hati memanggilnya 'Fiona'. Bisik-bisik mulai terdengar dari arah teman-teman sekelasnya. Beberapa dari mereka mencuri pandang ke arah Fiora, sementara yang lain pura-pura sibuk dengan buku catatan atau ponsel mereka. Fiora tahu mereka tidak akan ikut campur, tapi bukan berarti mereka akan melewatkan membuat gosip untuk hari ini. 'Tidak apa-apa. Ini hal yang biasa. Aku hanya perlu mengabaikannya,' pikirnya, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu berubah menjadi ketegangan begitu seseorang masuk ke dalam ruang kelas. Reksa melangkah dengan langkah santai, jaketnya yang dibiarkan terbuka dan tas yang hanya disampirkan di satu bahu. Saat melewati meja Fiora, sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman miring yang sudah sangat Fiora kenal. Senyum itu penuh rasa puas, seolah ia tahu. Ruangan kelas kini penuh dengan bisik-bisik yang lebih keras dari sebelumnya. Namun, Reksa tidak berkata apa-apa. Ia hanya melewati Fiora begitu saja, berjalan menuju bangkunya yang terletak di belakang. Setelah duduk dengan nyaman, Reksa menyandarkan punggungnya dan menyilangkan tangan di depan dada. Matanya masih terfokus pada bagian belakang Fiora, seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi Fiora tetap diam.Meski hasil pemeriksaan menyatakan tidak ada kecacatan maupun kekurangan perawatan, pihak sekolah tetap menjatuhkan hukuman skors kepada Fiora atas tersebarnya foto-foto di forum sekolah.Di sisi lain, Sarah akhirnya mengambil keputusan besar. Ia menggugat cerai Dito. Kejadian di depan rumah tempo hari hanya mempercepat langkah yang sebenarnya sudah lama ia persiapkan. Bahkan sebelum semua ini terjadi, Sarah telah menyiapkan rumah sewa untuk dirinya dan Fiora.Namun sebelum proses itu rampung, Fiora tinggal bersama Reksa selama seminggu penuh. Hari-hari itu memberinya jeda, ruang untuk bernapas, sebelum ia akhirnya dijemput oleh ibunya.Hari pertama Fiora kembali ke sekolah bertepatan dengan berakhirnya efek penandaan sementara. Begitu efek itu habis, ia serasa diterpa badai feromon, aroma orang-orang di sekitarnya menyesakan, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Rupanya penandaan itu selama ini menjadi semacam penghalang, mengurangi intensitas aroma yang sampai padanya. Tanpa itu, ia
Udara di ruang pemeriksaan rumah sakit tercium samar antiseptik. Fiora duduk di kursi yang disediakan, jari-jarinya meremas ujung roknya. Reksa berdiri di samping, diam namun waspada, tatapannya tak lepas dari dokter yang sedang membacakan hasil akhir pemeriksaan.“Seluruh hasilnya normal,” kata dokter itu akhirnya. “Tidak ada tanda kerusakan atau risiko yang membahayakan.”Fiora mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.Namun, wajah salah satu petugas dari Pusat Pembinaan Dinamika Sekunder yang ikut menyaksikan pemeriksaan itu terlihat masam. “Sayang sekali, kami pikir akan ada alasan kuat untuk membawamu ke pusat pembinaan.”Nada suaranya kasar, menyiratkan kekecewaan yang tak seharusnya diucapkan di tempat seperti ini. Reksa langsung menegang, matanya menyipit.“Kenapa Anda berminat sekali membawa seorang omega ke sana? Untuk merawat mereka? Kalian baik sekali.”Senyum yang dia berikan terlihat manis di permukaan, tapi dingin di ujungnya.Petugas di seberangnya sempat terdiam s
Pagi itu, Reksa berdiri di depan gerbang rumah Fiora, menunggu pemilik rumah keluar. Alpha tersebut hanya berharap Fiora mau memaafkan dan mendengarkan penjelasannya. Mereka bahkan belum sempat menikmati satu kencan pun sebagai pasangan resmi, kenapa takdir begitu kejam padanya? Senyum tipis muncul di wajah Reksa saat melihat Fiora keluar, rapi dengan seragam sekolahnya.“Selamat pagi,” sapanya.Fiora membalas senyum, disertai dengusan kecil. “Pagi. Ada apa dengan kantung matamu? Kau lupa tidur semalam?”"Setelah kejadian kemarin bagaimana aku bisa tidur?" Reksa mengusap tengkuknya. “Aku bisa,” jawab Fiora ringan, meski tatapannya tetap terfokus ke kantong mata Reksa."Kau... " Reksa berkata dengan ragu-ragu. "Kau sudah tidak marah padaku?""Tidak. Aku tidak marah. Baiklah sedikit." Fiora mengoreksi setelah melihat tatapan menuduh Reksa. "Itu karena kau masih menyimpan fotoku. Kenapa tidak menghapusnya?"Reksa menarik napas, menunduk seolah mencari kata yang tepat. “Kau terlihat bag
Reksa memarkirkan motornya tepat di depan pagar besi yang catnya mulai mengelupas. Lampu teras rumah itu memancarkan cahaya pucat, sekadar cukup untuk menyingkap bayangan seorang pria berpostur tegap di ambang pintu.Fiora turun dari motor dengan pelan, menghindari melakukan tindakan yang menarik perhatiannya. Pria itu Dito, ayahnya, menatap sekilas. Tak ada sapaan, maupun senyuman. Hanya tatapan singkat yang terasa dingin sebelum ia memutar badan dan mendorong pintu. Dentumannya memecah kesunyian malam.Reksa mengerjap, kaget. “Ayahmu masih marah?”Fiora menghela napas pendek. “Tidak. Memang seperti itu. Sekarang… suka membanting barang yang disentuhnya.”Reksa menatap pintu yang tertutup. “Kedengarannya sehat sekali.”Fiora diam.“Serius,” katanya lagi, “kau bisa saja keluar dari rumah ini.”“Aku tidak bisa.”“Bisa.” Reksa menatapnya lebih lama. “Cari tempat lain. Tinggal di rumah sewa. Atau di tempatku.”Fiora menarik napas. “Tidak semudah itu.”"Kenapa?""Aku tidak bisa meninggal
Fiora merasa panik, matanya bergerak gelisah mencari tanda-tanda kemarahan pada Reksa. Ia tak bisa menahan cemasnya, khawatir Reksa akan langsung meledak terhadap provokasi yang dilakukan Cakra. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Reksa hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang meski matanya terlihat tajam. Dia menarik napas sejenak sebelum menjawab, intonasinya rendah namun jelas. “Kalau begitu aku berterima kasih padamu.”Fiora terkejut mendengar reaksi Reksa yang jauh lebih sabar dan terkendali dari yang ia duga. Ia menatap Reksa, agak bingung, namun merasa lega.Cakra, di sisi lain, tampak tidak puas. Senyum nakalnya sedikit memudar, digantikan ekspresi yang lebih datar. “Tsk. Kalian benar-benar membosankan.” Dengan satu lambaian tangan, Cakra mundur.Baru saat itu Fiora menyadari keberadaan kerumunan di sekitar mereka. Para siswa yang tadinya menunggu tontonan drama picisan gratis di sekolah mulai bubar, kecewa karena pertunjukan yang dinanti tak kunjung terjadi."Fiora, ki
Bayangan itu bergerak, melangkah pelan keluar dari kegelapan. Di bawah lampu jalan yang remang, wajahnya mulai terlihat. Rahang tegas, mata menatap tajam, tapi senyum kecil menghias wajah yang familiar.“Cakra,” gumam Fiora, suara tercekat keluar dari bibirnya.Cakra, mendekat perlahan, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa kabur. “Lama tidak bertemu, Fiora.”Fiora mundur selangkah. “Apa… apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”Cakra menyeringai, bahunya terangkat sedikit seakan Meledek. “Mengikutimu? Serius, kau pikir aku punya waktu untuk itu?” Dia menatap Fiora dari ujung kepala hingga ujung kaki, bibirnya masih melengkung, tersenyum nakal. “Tapi ya, harus kuakui, ekspresimu tadi cukup menghibur.”Fiora mendengus kesal, memutar bola matanya. Ia mencoba berjalan melewati Cakra, tetapi lengannya dihentikan dengan lembut.“Di mana wingman-mu itu? Jarang sekali aku melihatmu sendirian,” ujar Cakra, nadanya setengah bercanda.“Biarkan aku pergi, Cakra,” jawab Fiora datar.