“Apa yang kau lakukan pada wanitaku?”
Suara Rey seketika. membuat Hana dan Juna membeku. Dengan Cepat Hana menoleh pada sosok tinggi tegap itu, begitu pula Juna yang reflek melepaskan cengkramannya juga. Pipi Hana memanas, dan jantungnya berdetak tak karuan, tapi dia tidak tahu apakah itu karena malu, marah, atau bingung. Pandangannya terarah pada Rey, yang tampak begitu tenang, seolah ucapan tadi adalah sesuatu yang wajar saja. "Tu-Tuan Rey," gumamnya hampir seperti bisikan. Juna, di sisi lain, tampak benar-benar terusik. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam pada Rey, penuh dengan rasa tidak percaya sekaligus kemarahan yang terpendam. Tangannya mengepal, seakan mencoba mengendalikan emosinya. "Wanitamu?" tanya Juna dengan nada bergetar. Hana menoleh sekilas ke arah Juna. Dia mengenali nada itu, nada pria yang egonya terluka. 'Seharusnya aku merasa puas melihatnya seperti ini. Tapi kenapa aku malah merasa ... canggung?" batin Hana. Matanya kembali pada Rey, yang tetap berdiri tegap dan tak tergoyahkan. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan niat untuk memperbaiki suasana, malah terlihat seperti sengaja memanaskan situasi. "Tolong jangan melewati batas, Tuan Juna." Suara Rey tetap tenang, berdiri di sana seperti perisai yang tak bisa ditembus. Juna, di sisi lain, terlihat semakin kecil. "Hana, kita harus kembali ke kantor," pinta Rey lagi sembari menatap Hana tanpa ekspresi. "Ba-baik Tuan Rey," sahut Hana tergagap masih berselimut keterkejutan, tapi ia segera beranjak dari sana mengikuti Rey di depannya, meninggalkan Juna yang tengah menatap kepergian begitu tajam. Langkahnya terburu-buru, nyaris mengikuti ritme langkah Rey yang tegap dan penuh kendali. Hingga akhirnya mereka tiba di lobi belakang yang lebih sepi. Rey berhenti, Ia berbalik, dan menatap dingin pada Hana yang sekarang sedang menunduk, seolah di pergoki melakukan kesalahan. Menyadari itu, perlahan Hana mendongakkan kepala menatap atasannya gugup. "Maafkan saya Tuan, itu tak akan terjadi lagi," ujarnya kembali menunduk. "Jika kau tidak bersalah, jangan tundukkan pandanganmu, aku melihat semuanya." Rey berdiri menyembunyikan tangan di saku celananya. Hana mendongak perlahan lagi, menyadari Rey benar, kata-kata singkat atasannya itu membuat kepercayaan dirinya meningkat. "Ya, Tuan. Terima kasih atas bantuan Anda." Hana tersenyum gugup. "Apa pun masa lalumu, kuharap tak mencampuri urusan kantor." "Tentu Tuan! Saya akan lebih hati-hati kedepannya." Hana membungkuk sopan, tapi hanya di balas dengan helaan nafas dari Rey, dan CEO-nya itu berbalik melanjutkan langkah meninggalkannya. Menyadari itu, Hana kembali menegakkan tubuh, bahu yang semula menegang ia turunkan bersamaan hembusan nafasnya, membuang ketegangan. "Tadi itu sangat ... menegangkan ...," gumamnya sembari melangkah lagi menyusul Rey yang terlihat memasuki mobilnya. 'Apa aku harus naik mobilnya lagi?' batin Hana semakin canggung. Namun ketika ia sampai di depan mobil Rey, Bastian sudah membukakan pintu untuknya di kursi penumpang, yang artinya harus duduk bersebelahan dengan Rey lagi. Hana tak bisa mengelak, padahal ia bermaksud untuk naik taksi saja kembali ke kantor, tapi keadaannya malah seperti ini ... "Terima kasih Tuan Bastian," ujar Hana sungkan, ia pun duduk dengan cepat, tahu bahwa atasannya ini tak suka menunggu lama. Di dalam mobil, suasana begitu sunyi hingga deru mesin terdengar jelas. Hana duduk kaku, tangannya terkepal di pangkuan, berusaha mengatur napas agar tak terlihat gelisah. Rey di sebelahnya, duduk tenang, memandang keluar jendela seolah dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Hana. Namun, keheningan itu justru membuat Hana semakin tidak nyaman. Dia melirik sekilas ke arah Rey, tetapi tatapannya segera beralih kembali ke pangkuannya begitu melihat ekspresi pria itu, dingin, seperti tembok kokoh yang tak bisa ditembus. Tiba-tiba suara telepon memecah suasana. Rey merogoh saku, mengeluarkan ponselnya, dan melihat nama yang tertera di layar. Wajahnya berubah sedikit, ada gurat ketidaksukaan yang jelas terbaca oleh Hana. Tanpa sepatah kata, Rey menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. “Ada apa, Kakek?” tanyanya datar, nyaris tanpa emosi. “Sudah menungguku di kantor?” Rey mengulang ucapan dari telepon, suaranya terdengar lebih berat. Dia menutup telepon tanpa banyak basa-basi, lalu menoleh ke depan. “Bastian, percepat ke Agensi.” Mobil melaju lebih cepat, membuat Hana semakin terpojok pada kursinya. Tapi dia tetap tidak berani berkata apa pun. Saat mereka tiba di depan gedung, Rey hanya menoleh sedikit. “Turunlah.” “Terima kasih, Tuan Rey,” ucap Hana, terburu-buru keluar dari mobil tanpa menunggu balasan. Dia melangkah menuju ruangannya, berusaha menenangkan diri dari keadaan canggung di depan mobil. Rey melangkah masuk ke ruangannya dengan ekspresi serius. Dari kejauhan, Hana dapat melihat seorang pria tua namun tetap berwibawa, duduk di kursi tamu ruangan Rey. Kakek Rey tampak elegan, mengenakan setelan jas hitam Armani yang pas membalut tubuh tegapnya. Dia memegang tongkat dengan ukiran mewah, meski terlihat lebih sebagai simbol kekuasaan daripada alat bantu jalan. Dinding kaca ruang kerja Rey yang sebelumnya transparan perlahan berubah buram. Hana tahu pertemuan itu bukan untuk sembarang orang mendengar. Rey berdiri di hadapan pria tua itu, tangannya bersembunyi di dalam saku celananya. Tatapannya tegas, tidak menunjukkan rasa hormat yang biasanya ditunjukkan seorang cucu pada kakeknya. “Langsung saja. Ada apa?” tanya Rey dingin. Kakeknya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ancaman daripada keramahan. “Kau tahu apa yang aku inginkan, Rey. Pernikahan ini adalah langkah yang tepat. Kau akan menikah dengan wanita yang sudah kupilih.” Rey mendesah pelan, tapi tetap berdiri tegak. “Aku sudah bilang sebelumnya, Kakek. Aku tidak tertarik.” Wajah kakeknya mengeras. Tatapannya menjadi lebih tajam, seolah mencoba mencari celah di balik sikap keras Rey. “Apakah kau menolak karena sudah memiliki wanita di sisimu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh tekanan. Rey menatap lurus ke arah kakeknya, tidak berkedip sedikit pun. “Ya, aku punya pilihan sendiri,” jawabnya dengan nada datar, meski dalam hati dia tahu itu kebohongan besar. Kakeknya tersenyum tipis, senyuman yang penuh skeptisisme. “Pilihanmu sendiri?” Kemudian, dia melanjutkan, “Apakah dia wanita yang bersamamu tadi?”Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup
Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara
Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara
Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se
Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang
Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,