Dengan gemetar, aku pun berdiri dan berusaha menarik gerbang rumahku yang besar dan tinggi ini. Ku lebarkan pintu gerbang itu lalu mas hanif pun melajukan mobilnya keluar dari rumah dengan cepat. Ku tarik kembali gerbang itu namun ku masih gemetar tak karuan, aku pun terjatuh dan air mataku yang lain tak tertahankan lagi. Segitunya mas hanif menyakiti hatiku, apa selama ini kenangan kita tak ada harganya di matamu mas? Kesetiaan ku padamu, mengurus kamu, melayani kamu, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tak ada apa-apanya untukmu mas?
“huhuhuhuhuu” tangis ku dengan memegang dadaku yang terasa sesak.Aku menangis terduduk di bawah gerbang tak lama kemudian, tiba-tiba mama keluar dan memarahi ku.“RINAAAAA! Kamu apa-apaan ini? Nasi berserakan, cepat bereskan! Sebentar lagi teman-teman ku mau pada datang,” teriak mama padaku.Air mata ku masih ingin mengalir, dadaku juga masih sangatlah sesak. Aku tak bisa menjawab teriakan mama itu. Akan tetapi, mama malah menjambak rambutku dengan keras.“Aaaah, maaa … sakitttt …” aku berusaha untuk melepaskan tangan mama yang menjambak rambutku.“Kamu ini ya, setiap hari buat masalah kamu itu pembawa sial! Cepat bersihkan! Sebentar lagi pada datang! Dasar istri bodoh tak bisa merawat diri! Kamu pantas di ceraikan tau ga? Bikin malu saja!” ucap mama lalu dia melepaskan rambutku dan mendorongku sampai aku jatuh tersungkur ke depan.“Huhuhuhu …” Aku menangis dengan keras karena kekerasan fisik dan mental dari suami dan mertuaku.Tiba-tiba ku dengar suara anakku datang dan berteriak.“MAMA! Mama kenapa ma? Nenek! Kenapa nenek sakiti mama! Nenek jahat!” teriak anakku.“Awas kamu! Kamu anak kecil jangan ikut-ikut, ini urusan orang dewasa!” ucap mama pada abhi anakku.“NENEK JAHAT!” teriak abhi anakku.“Lihat? Lihat didikan kamu! Kamu ini ga becus ngurus anak, lihat anak mu jadi anak yang tak tau sopan santun, dengar ya abhi, nenek melakukan ini karena mama kamu yang salah!” ucap mama lagi.“Gak! Mama ga salah! Nenek yang salah! Jangan marahi mama! Jangan sakiti mama! Nenek jahat! Nenek sudah tua seharusnya nenek banyak ibadah!” ucap abhi berteriak.Ku terkejut mendengar hal yang dikatakan oleh abhi, aku sama sekali tak pernah mengajarinya hal seperti ini. Tiba – tiba ku terkejut karena mama menjambak ku lagi.“Aaaawww ma sakitt … lepasin maa … aaaaa” rintih ku kesakitan.“Nek lepasin nek! Neek” teriak abhi dengan sekuat tenaga mendorong mama.Ku lihat mama duduk terjatuh, rupanya abhi anakku yang mendorong mama. Aku sontak melirik abhi dan ku berusaha membantu mama. Namun mama malah mendorong ku, lalu berdiri dan berjalan menuju abhi. Ku lihat anakku ketakutan, aku pun mencoba menghalangi mama agar tak menyakiti anakku.“Maa, maafkan abhi ma, dia masih kecil ma,” ucapku dengan menghalangi jalan.“Awas kamu! Dasar menantu jelek! Gak bisa urus anak! Sini kamu anak gak tau diri! Cucu durhaka!” ucap mama.Akhirnya mama pun menjewer telinga abhi hingga abhi menangis, aku berusaha agar mama melepaskan anakku. Rupanya keributan kami didengar dan dilaporkan oleh tetangga samping kanan ku pada pak Rw komplek setempat. Ku lihat mereka berbondong—bondong mendekati kami. Sementara mama yang juga melihat pak Rw makin mendekat, melepaskan tangannya pada telinga abhi. Aku sontak langsung memeluk abhi.“Permisi, bu halimah, bu rina. Ada apa ini ya?” tanya pak Rw.“Ohh pak Rw ga ada apa-apa pak, ini cuma lagi main sama cucu saya, kenapa pada kumpul-kumpul begini ya?”“Kumpul? tadi saya lihat kau jambak menantu mu,” sahut tetangga ku itu.“Mana ada ku jambak, dia malah akan aku tolong! Kamu sok tau sekali!” teriak mama.“Sudah-sudah, bu halimah sebaiknya anda ceritakan dengan jujur mengenai masalah ini”“Tidak ada masalah pak, bu mita kamu salah lihat, saya hanya mengelus kepala menantu” ucap mama dengan bohong.“Ngelus? Rina aja kesakitan kok mengelus, Bu, jadi orang jangan jahat bu ini menantu ibu sendiri loh bu” sahut lagi tetangga.“Ehh serius pak, saya sama menentu saya tidak ada masalah kok, Tanya saja sama dia, rina! Bicara kamu” lanjut mama lalu dengan memanggilku.“i-iyaa pak” jawabku dengan ragu-ragu.“Tuh kan ga ada apapun”“Bohong pak! Bu halimah, ingat umur bu, jangan bohong”“Eh bu mita, jangan fitnah saya ya, lebih baik kamu pulang tuh urus suamimu yang lagi sakit”“Ni orang ya …” ucap bu mita tak terimaBu mita tetangga ku pun seperti ingin berkelahi dengan mama, namun pak rw memisahkan mereka.“Sudah bu ibu, kenapa malah jadi ribut sendiri? Kalau rina bilang tidak apa-apa ya berati memang tidak apa-apa, bu mita sepertinya ibu salah melihatnya bu” ucap pak rw.“Pak rw saya jujur loh pak, kok bisa orang kaya gini dibela pak? Kita laporkan saja ke polisi pak”“Tenang bu mita tenang dulu semuanya sabar yang sabar, baiklah bu kalau begitu kami pamit pulang ya bu, bu rina kalau ada apa-apa bisa hubungi saya ke nomer ini ya bu, dan bu mita kalau anda melihat lagi bu halimah sedang menyiksa bu rina, lain kali tolong di foto ya bu, sudah sudah kami permisi bu,” ucap pak rw.Ada alasan kenapa aku tak menceritakan semua yang mama lakukan tadi, ku hanya tak ingin membuat masalah ini panjang. Tapi aku akan meminta tolong pada mereka jika semua siksaan batin dan mental ku semakin dalam. Aku lipat kertas yang di berikan pak rw padaku.“Terimakasih pak, insyaallah ga akan terjadi apa-apa lagi kok pak” jawabku pada pak rw.“Mba rina kalau ada apa-apa ke rumah saya saja ya mba, hati-hati sama nenek sihir ini” ucap bu mita lagi.“Kamu …” ucap mama yang sudah menunjukan tanduk nya.“Dasar nenek sihir, masih aja jahat, Rin jangan lupa ya, jauhi aja nenek sihir ini walaupun dia mertua kamu!” lanjut tetanggaku.“Baik, Terimakasih bu mita perhatian nya ...”Pak rw beserta beberapa warga pun meninggalkan rumah kami, abhi melepaskan tanganku seperti ingin mengejar mereka, namun ditangkap oleh mama. setelah mereka menjauh, mama menatapku dan berkata.“Bersihkan ini! Setelah ini masuk ke kamar, jangan keluar lagi kecuali kalau semuanya sudah pulang, awas kamu ya malu-maluin, dan jangan pernah sekalipun kamu lapor—lapor apapun pada rw itu atau si mita itu, awas kamu ya! Memang saya salah apa, ini memang salah kamu, cuhhhh” ucap mama lalu meludah.Mama pun masuk ke dalam rumah, ku memasukan nasi yang sudah terjatuh itu ke tempat sampah dengan kedua tangan ku. Ku lihat tangan kecil yang juga memunguti nasi yang terjatuh juga, ku menengok kearahnya dan berkata padanya.“Sayang sudah biar mama saja, tangan kamu nanti kotor” ucapku padanya.“Ga papa mah, biar abhi aja, mama duduk saja di situ, ini cuma sebentar kok”Anakku menuntun ku ke kursi yang ada di depan rumah, dia menyuruhku untuk duduk, aku pun mengelus tangan kecilnya, dan tak terasa ku menitikkan air mataku.“mama jangan nangis ma, abhi sedih kalau mama nangis” ucap abhi mengelap air mataku.~Bersambung …Ku tak tau kenapa menangis, ku sangat terharu melihat anakku yang masih kecil tapi dia sudah harus melihat yang seperti ini. Aku bersyukur memiliki anakku.“Maafin mama ya nak …” ucapku.“Mama kenapa minta maaf? Seharusnya nenek yang minta maaf ke mama, nenek jahat” ucapnya.“Abhi sayang, anak mama, mama bersyukur masih punya abhi” ucapku meneteskan air mata.“Mama … mama jangan nangis ma … mama yang paling hebat, abhi sayang mama” jawab nya.Abhi memelukku, setelah beberapa menit kemudian, tiba—tiba ada mobil yang datang. Dan seseorang itu pun turun dari mobilnya. Aku dan abhi bersama-sama melihat siapa orang itu.“Rina …” ucap seseorang itu.Ku kaget ternyata dia adalah adik kandung mama yang bernama tante sofi. Dia mendekati aku dan anakku. Aku hapus air mataku dan aku juga hapus air mata abhi. Aku hanya tak ingin orang lain tau kami berdua menangis.“Rina, udah lama ya ga ketemu … kamu gimana kabarnya?” tanya dia dengan memegang tanganku.“Ka
Aku hanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ku tak ingin melihat tante, bahwa aku ingin menangis. Aku hanya bisa menunduk agar dia tak melihat air mataku yag akan menetes. “Hanif itu yah ga tau di diri sekali, Apa kamu tidak menasehati nya mba? Semua ini salah. Apa salah rina pada hanif? Ini pasti salah hanif,” ucap tante membelaku.“Eh sofi, apa mata kamu buta? Lihat dia! Kenapa kamu nyalahin aku dan hanif? Kamu lihat dia, semua yang ada padanya adalah sebuah kesalahan,” ucap mama mertua dengan nada tinggi.Aku mendekati tante sofi dan ku coba agar tante sofi tak bertengkar dengan mama mertuaku. Namun aku melirik anakku abhi yang terlihat ketakutan melihat para nenek nya ribut. Aku pun berbisik dan berkata pada anakku, “Abhi, kamu temani kresna lagi makan ya sayang sekalian kamu makan juga, abhi bisa ambil nasi dan makan sendiri?” ucapku pada anakku abhi. “Tapi ma, abhi takut mama di sakiti lagi sama nenek ma,”jawabnya. “Engga sayang, mama gak papa, nanti mama nyusul abhi dan k
(Di dalam kamar)“Sayang, duduk di sini. Mama ingin bicara pada kalian,” ucapku dengan menyuruh kedua anakku duduk.“Mamaa …” panggil anakku kresna seperti ketakutan.Dengan menghela nafas, aku pun berkata padanya, “Sayang, mama hanya ingin tau apa benar yang menyemprot saos dari botol ke baju tante itu adalah kalian? Sayang, coba jujur pada mama, kenapa kalian seperti ini? Apa mama pernah mengajari kalian jahil seperti ini?” “Maaf ma, ini salah abhi bukan salah kresna ma. Abhi hanya tidak suka bibi itu datang ke rumah kita ma. Tadi bibi itu mencubit lengan abhi ma, bibi itu jahat,” ucap abhi.“Mencubit? Maksud nya bagaimana sayang? Kenapa bisa-bisa nya mencubit?” tanyaku lagi.“Iya ma, bibi itu jahat matanya meloto ke kresna ma, kresna takut sembunyi di belakang kakak,” lanjut kresna menjelaskan. “Iya maksud mama itu, kok bisa tiba-tiba mencubit itu bagaimana awalnya?” “Nenek pertama datang ma ke dapur, terus bibi itu tiba-tiba berbicara dengan nenek kalau mama akan di usir dari s
Kami yang mendengar suara mas hanif menjadi saling menatap dan bingung akan hal yang membuat marah mas hanif. “Ayo rin, coba kita keluar saja, kita lihat pasti mertua kamu menyuruh hanif pulang atau bahkan wanita itu yang cepuin hal ini ke hanif,” ucap tante menganalisa.“Tidak tau tan, coba lihat saja bagaimana dia,” jawabku dengan singkat.Aku dan tante sofi pun berdiri dan keluar dari kamarku, dari kejauhan aku melihat mas hanif yang berdiri melotot ke arahku dengan kedua tangannya di pinggang nya. Semakin dekat, aku melihat mama mertua dan wanita itu duduk di sofa dengan melirik dan meremehkan ku. Aku dan tante sofi berhenti, mas hanif menyuruhku agar mendekatinya. “Kemari!” ucapnya. “Kenapa mas? Kamu mau apakan aku dengan wajah penuh kemarahan seperti itu? Apa salahku mas?”Mas hanif makin melotot dan berjalan mendekati ku, semakin dekat dan semakin dekat denganku. Setelah dia sudah berdiri di hadapan ku, ku melihat matanya yang penuh kebencian padaku. Aku tak menyangka mas ha
“PAPA!” teriak anakku dan berlari mendekatiku.Kami semua menengok ke arah anak ku abhi yang terlihat marah pada papa nya. Anakku berlari lalu berkata lagi, “Papa jahat … Jangan sakiti mama, Papa udah berubah, Papa gak sayang lagi sama abhi, Jangan dekati mama,” ucap abhi dengan berteriak lalu dia mencoba meninju perut mas hanif. Namun karena abhi masih kecil tentu dia kalah, kedua tangan nya di cengkram oleh mas hanif. Aku dan tante sofi mencoba melepaskan tangan mas hanif dari tangan anakku, namun tidak berhasil. “Kamu masih kecil! Lebih baik kamu kembali ke kamar mu dan belajarlah agar tidak menjadi bodoh seperti ibu mu, sana!” bentak mas hanif.“Gak mau! Papa yang seharusnya belajar! Belajar memperlakukan istri papa dengan layak,” jawab anakku abhi.Mas hanif mendekat lagi pada abhi, dia mengayunkan tangannya kepadanya. Abhi bukan nya menghindar malah makin menantang papa nya. “Tampar pa! papa tau, hal yang papa lakukan pada mama dan abhi dan juga kresna adalah dosa besar. Kata
“Mira,” panggil mama mertua pada wanita itu.Mereka saling menatap dan saling mengkode sesuatu. Ku merasa itu hal yang buruk. Dan benar saja, wanita itu dan mama menerobos ku, membuka semua lemari beserta laci-laci di lemari bajuku dan di meja riasku. Mereka tak tau kalau kotak itu sudah aku masukan kedalam koper. Karena mereka sibuk mencari kotak perhiasanku, aku menyeret kedua koperku dan keluar dari kamarku. Setelah keluar dari kamarku, ku lihat mas hanif yang sedang duduk di sofa sendirian. Dia menatapku, lalu dia berkata padaku, “Aku akan berbaik hati memberikan sebagian hartaku untuk kedua anakku, Dan setiap bulan aku akan memberikan bantuan untuk anakku. Tapi kamu, jangan mengharapkan apapun dariku,” ucapnya.Aku terus bejalan tanpa menatap matanya lagi. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Berbaik hati? Bukan kah itu memang kewajibannya? Abhi dan Kresna kan juga anak-anak nya. Tapi tanpa bantuan dari mas hanif pun aku akan terus berusaha mencukupi semua kebutuhan anak-anakk
Kami semua duduk di sofa ruang tamu besama-sama. Jantung ku jadi berdegup kencang karena aku belum memberitahu megenai masalahku ini. “Oh ya, sofi. Kapan kamu pulang ke sini?” tanya papa basa-basi.“Tadi pagi sampai, langsung ke rumah rina, untung saja aku datang kalau tidak …” “Kalau tidak? Memang nya kamu kenapa rina?” tanya papa lagi.“Pah …” panggilku.“Hem? Kenapa? Ada apa? Ceritakan pada papa,” ucap papa padaku.“Pa, Rina dan mas hanif sudah memutuskan bercerai pa,” ucapku dengan jujur.“Hah? Bercerai? Kok bisa? Kalian ada masalah apa sehingga memutuskan untuk bercerai?” tanya papa lagi.“Biar saya jelaskan dulu ka, begini intinya hanif yang salah bukan rina, dia tiba-tiba datang suruh rina tanda tangan surat perceraian,” jelas singkat tante.“Kok bisa tiba-tiba? Masalah nya apa?” “Mas hanif meninggalkan rina karena rina sudah gendut, jelek, dan gak cantik pa, Rina juga sudah gak tahan lagi dengan perlakuan mas hanif sekarang, seperti jijik pada rina,” jelasku sambil menahan
“Maa … Aku hanya ingin semua ini cepat berakhir ma, Rina merasa kalau melakukan itu menambah beban saja, biarkan Allah yang balas maa …” ucapku.“Sebaiknya kamu masuk ke kamar kamu rina dan beristirahatlah. Setidaknya tidur bisa membuatmu melupakan sejenak kesedihanmu, Biar anak-anakmu dengan mama saja,” ucap mama padaku.“Biar aku yang antar rina ka ke kamarnya,” sahut tante sofi.“Baiklah,” “Ayo rin,” ajak tante sofi. Dengan merangkulku, tante sofi menemani ku sampai masuk kedalam kamarku. “Rina, tidurlah walau sebentar, Jangan lupa pikirkan mengenai ajakan ku rina. Aku akan menunggu jawaban kamu,” ucap tante sofi lalu dia pun pergi dari kamarku. Setelah tante sofi pergi, aku pun merebahkan tubuhku di tempat tidurku. Dengan memandang langit-langit, aku dengan singkat membayangkan semua hal indah yang terjadi di hidupku agar ku tak teringat akan mas hanif lagi. Namun setelah itu aku malah teringat akan semua kenangan indah ku bersama nya dulu. Air mataku menetes lagi, namun aku l