Share

Penganiayaan mertuaku

Dengan gemetar, aku pun berdiri dan berusaha menarik gerbang rumahku yang besar dan tinggi ini. Ku lebarkan pintu gerbang itu lalu mas hanif pun melajukan mobilnya keluar dari rumah dengan cepat. Ku tarik kembali gerbang itu namun ku masih gemetar tak karuan, aku pun terjatuh dan air mataku yang lain tak tertahankan lagi. Segitunya mas hanif menyakiti hatiku, apa selama ini kenangan kita tak ada harganya di matamu mas? Kesetiaan ku padamu, mengurus kamu, melayani kamu, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tak ada apa-apanya untukmu mas?

“huhuhuhuhuu” tangis ku dengan memegang dadaku yang terasa sesak.

Aku menangis terduduk di bawah gerbang tak lama kemudian, tiba-tiba mama keluar dan memarahi ku.

“RINAAAAA! Kamu apa-apaan ini? Nasi berserakan, cepat bereskan! Sebentar lagi teman-teman ku mau pada datang,” teriak mama padaku.

Air mata ku masih ingin mengalir, dadaku juga masih sangatlah sesak. Aku tak bisa menjawab teriakan mama itu. Akan tetapi, mama malah menjambak rambutku dengan keras.

“Aaaah, maaa … sakitttt …” aku berusaha untuk melepaskan tangan mama yang menjambak rambutku.

“Kamu ini ya, setiap hari buat masalah kamu itu pembawa sial! Cepat bersihkan! Sebentar lagi pada datang! Dasar istri bodoh tak bisa merawat diri! Kamu pantas di ceraikan tau ga? Bikin malu saja!” ucap mama lalu dia melepaskan rambutku dan mendorongku sampai aku jatuh tersungkur ke depan.

“Huhuhuhu …” Aku menangis dengan keras karena kekerasan fisik dan mental dari suami dan mertuaku.

Tiba-tiba ku dengar suara anakku datang dan berteriak.

“MAMA! Mama kenapa ma? Nenek! Kenapa nenek sakiti mama! Nenek jahat!” teriak anakku.

“Awas kamu! Kamu anak kecil jangan ikut-ikut, ini urusan orang dewasa!” ucap mama pada abhi anakku.

“NENEK JAHAT!” teriak abhi anakku.

“Lihat? Lihat didikan kamu! Kamu ini ga becus ngurus anak, lihat anak mu jadi anak yang tak tau sopan santun, dengar ya abhi, nenek melakukan ini karena mama kamu yang salah!” ucap mama lagi.

“Gak! Mama ga salah! Nenek yang salah! Jangan marahi mama! Jangan sakiti mama! Nenek jahat! Nenek sudah tua seharusnya nenek banyak ibadah!” ucap abhi berteriak.

Ku terkejut mendengar hal yang dikatakan oleh abhi, aku sama sekali tak pernah mengajarinya hal seperti ini. Tiba – tiba ku terkejut karena mama menjambak ku lagi.

“Aaaawww ma sakitt … lepasin maa … aaaaa” rintih ku kesakitan.

“Nek lepasin nek! Neek” teriak abhi dengan sekuat tenaga mendorong mama.

Ku lihat mama duduk terjatuh, rupanya abhi anakku yang mendorong mama. Aku sontak melirik abhi dan ku berusaha membantu mama. Namun mama malah mendorong ku, lalu berdiri dan berjalan menuju abhi. Ku lihat anakku ketakutan, aku pun mencoba menghalangi mama agar tak menyakiti anakku.

“Maa, maafkan abhi ma, dia masih kecil ma,” ucapku dengan menghalangi jalan.

“Awas kamu! Dasar menantu jelek! Gak bisa urus anak! Sini kamu anak gak tau diri! Cucu durhaka!” ucap mama.

Akhirnya mama pun menjewer telinga abhi hingga abhi menangis, aku berusaha agar mama melepaskan anakku. Rupanya keributan kami didengar dan dilaporkan oleh tetangga samping kanan ku pada pak Rw komplek setempat. Ku lihat mereka berbondong—bondong mendekati kami. Sementara mama yang juga melihat pak Rw makin mendekat, melepaskan tangannya pada telinga abhi. Aku sontak langsung memeluk abhi.

“Permisi, bu halimah, bu rina. Ada apa ini ya?” tanya pak Rw.

“Ohh pak Rw ga ada apa-apa pak, ini cuma lagi main sama cucu saya, kenapa pada kumpul-kumpul begini ya?”

“Kumpul? tadi saya lihat kau jambak menantu mu,” sahut tetangga ku itu.

“Mana ada ku jambak, dia malah akan aku tolong! Kamu sok tau sekali!” teriak mama.

“Sudah-sudah, bu halimah sebaiknya anda ceritakan dengan jujur mengenai masalah ini”

“Tidak ada masalah pak, bu mita kamu salah lihat, saya hanya mengelus kepala menantu” ucap mama dengan bohong.

“Ngelus? Rina aja kesakitan kok mengelus, Bu, jadi orang jangan jahat bu ini menantu ibu sendiri loh bu” sahut lagi tetangga.

“Ehh serius pak, saya sama menentu saya tidak ada masalah kok, Tanya saja sama dia, rina! Bicara kamu” lanjut mama lalu dengan memanggilku.

“i-iyaa pak” jawabku dengan ragu-ragu.

“Tuh kan ga ada apapun”

“Bohong pak! Bu halimah, ingat umur bu, jangan bohong”

“Eh bu mita, jangan fitnah saya ya, lebih baik kamu pulang tuh urus suamimu yang lagi sakit”

“Ni orang ya …” ucap bu mita tak terima

Bu mita tetangga ku pun seperti ingin berkelahi dengan mama, namun pak rw memisahkan mereka.

“Sudah bu ibu, kenapa malah jadi ribut sendiri? Kalau rina bilang tidak apa-apa ya berati memang tidak apa-apa, bu mita sepertinya ibu salah melihatnya bu” ucap pak rw.

“Pak rw saya jujur loh pak, kok bisa orang kaya gini dibela pak? Kita laporkan saja ke polisi pak”

“Tenang bu mita tenang dulu semuanya sabar yang sabar, baiklah bu kalau begitu kami pamit pulang ya bu, bu rina kalau ada apa-apa bisa hubungi saya ke nomer ini ya bu, dan bu mita kalau anda melihat lagi bu halimah sedang menyiksa bu rina, lain kali tolong di foto ya bu, sudah sudah kami permisi bu,” ucap pak rw.

Ada alasan kenapa aku tak menceritakan semua yang mama lakukan tadi, ku hanya tak ingin membuat masalah ini panjang. Tapi aku akan meminta tolong pada mereka jika semua siksaan batin dan mental ku semakin dalam. Aku lipat kertas yang di berikan pak rw padaku.

“Terimakasih pak, insyaallah ga akan terjadi apa-apa lagi kok pak” jawabku pada pak rw.

“Mba rina kalau ada apa-apa ke rumah saya saja ya mba, hati-hati sama nenek sihir ini” ucap bu mita lagi.

“Kamu …” ucap mama yang sudah menunjukan tanduk nya.

“Dasar nenek sihir, masih aja jahat, Rin jangan lupa ya, jauhi aja nenek sihir ini walaupun dia mertua kamu!” lanjut tetanggaku.

“Baik, Terimakasih bu mita perhatian nya ...”

Pak rw beserta beberapa warga pun meninggalkan rumah kami, abhi melepaskan tanganku seperti ingin mengejar mereka, namun ditangkap oleh mama. setelah mereka menjauh, mama menatapku dan berkata.

“Bersihkan ini! Setelah ini masuk ke kamar, jangan keluar lagi kecuali kalau semuanya sudah pulang, awas kamu ya malu-maluin, dan jangan pernah sekalipun kamu lapor—lapor apapun pada rw itu atau si mita itu, awas kamu ya! Memang saya salah apa, ini memang salah kamu, cuhhhh” ucap mama lalu meludah.

Mama pun masuk ke dalam rumah, ku memasukan nasi yang sudah terjatuh itu ke tempat sampah dengan kedua tangan ku. Ku lihat tangan kecil yang juga memunguti nasi yang terjatuh juga, ku menengok kearahnya dan berkata padanya.

“Sayang sudah biar mama saja, tangan kamu nanti kotor” ucapku padanya.

“Ga papa mah, biar abhi aja, mama duduk saja di situ, ini cuma sebentar kok”

Anakku menuntun ku ke kursi yang ada di depan rumah, dia menyuruhku untuk duduk, aku pun mengelus tangan kecilnya, dan tak terasa ku menitikkan air mataku.

“mama jangan nangis ma, abhi sedih kalau mama nangis” ucap abhi mengelap air mataku.

~

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status