Share

6. Kukuh Di Mata Dunia

Author: A. D. Liris
last update Huling Na-update: 2025-07-18 22:03:53

Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira.

"Aku tahu siapa kau."

Naira membeku.

Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.

Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.

Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu? Dan kenapa baru sekarang bicara?

“Ayo satu pose lagi, sedikit lebih dekat,” ujar fotografer ceria, tanpa menyadari badai dalam diri sang pengantin wanita.

Arvin membenahi posisi tubuhnya, tanpa sadar menarik Naira mendekat. Dia menunduk sedikit, berbisik lembut, “Tenang saja. Hanya beberapa menit lagi.”

Naira mengangguk pelan, mencoba menenangkan napasnya yang tidak stabil. Namun ujung matanya terus melirik Daniel, yang kini berdiri di barisan tamu pria, dengan ekspresi datar yang terlalu misterius untuk dianggap wajar.

Setelah sesi foto selesai, Arvin sempat mengajak Naira ke lounge kecil di belakang aula. Beberapa orang dari keluarga inti ikut masuk, termasuk Oma Ratna dan tante dari pihak ayah Arvin. Aroma mawar dan teh melati memenuhi udara.

Naira duduk diam di sofa, mencoba tersenyum sopan meski napasnya masih terasa sesak. Jemarinya menggenggam sisi kain gaun, kaku.

“Pernikahannya indah,” ujar Tante Vina sambil menyesap lemon tea. “Tapi semoga saja, dia tidak seperti yang sebelumnya. Kau tahu maksudku, kan? Nadine tentunya.”

Kata itu menggantung di udara seperti kabut beracun.

Naira tak berani menoleh. Napasnya kembali tersendat. Jari-jarinya mengepal semakin kuat hingga buku-bukunya memutih. Ia mencoba menahan getaran halus yang mulai muncul di bahunya.

Arvin menegakkan punggungnya. “Naira berbeda,” katanya tegas, menatap lurus ke arah Tante Vina.

Tante Vina mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap menggantung curiga. “Semoga.”

Tatapan Oma Ratna menyapu pelan ke arah Naira, dalam dan mengamati, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah dan menyesap tehnya tanpa berkata sepatah pun.

Tak lama setelah itu, salah satu asisten Arvin masuk dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajah Arvin berubah. Sorot matanya mengeras, rahangnya mengatup.

“Aku keluar sebentar,” katanya singkat, lalu meninggalkan ruangan.

Naira diam beberapa saat, sebelum akhirnya ia berdiri dan menyusulnya. Ia berjalan melewati lorong samping aula, sepatu hak tingginya menimbulkan suara pelan yang teredam oleh karpet. Ia menemukannya berdiri di koridor yang sepi, ponsel masih di tangan, dan ekspresi wajahnya ... dingin. Bukan sekadar serius, tapi dingin seperti badai yang sedang dikekang.

“Ada apa?” tanya Naira pelan, berdiri di dekatnya.

Arvin menoleh perlahan. Matanya menatap dalam, seperti sedang menimbang sesuatu yang berat. Ia menekan tombol di ponsel untuk mengunci layar, lalu memasukkannya ke saku jas.

“Kita harus segera pulang malam ini. Dan...” Ia menatap lurus padanya. “Besok pagi, kita terbang ke luar negeri.”

Naira mengernyit. “Untuk apa?”

Arvin menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya nyaris seperti bisikan, namun tegas.

“Pernikahan ini perlu dikukuhkan secara hukum internasional. Pengesahan yang akan mengikat kita secara legal, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara tempat kantor pusat perusahaan berada. Dan di mana para investor besar berada.”

Naira terdiam. Matanya menyempit pelan, mencoba memahami urgensi di balik langkah yang mendadak itu.

“Kenapa mendadak sekali?” tanyanya akhirnya.

Arvin memastikan tidak ada siapa pun di sekitar mereka sebelum kembali bicara. “Seseorang tahu tentang ini. Tentang pernikahan kita. Tentang kontraknya.”

Ucapan itu menghantam Naira seperti palu godam.

“Siapa?” bisiknya, tenggorokannya mengering.

“Belum pasti. Tapi dia mencoba menghubungi salah satu dewan komisaris. Menanyakan keabsahan status pernikahan kita. Dengan nada... mengancam.”

Naira menelan ludah, tubuhnya menegang. Ini bukan lagi soal berpura-pura di depan keluarga Arvin. Ini sudah sampai ranah hukum dan reputasi global.

“Kita harus membuat ini legal di mata hukum internasional. Jika ada celah, mereka bisa memakainya untuk menjatuhkan kita. Untuk membatalkan pengangkatan yang akan kukukuhkan minggu depan di Singapura.”

“Arvin...”

“Aku tahu ini mendadak.” Matanya melembut sedikit. “Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengguncang ini sebelum waktunya.”

Naira mengangguk pelan. “Jadi... besok?”

“Besok pagi.”

Hening menyelimuti mereka beberapa detik.

“Siapkan paspormu. Kita akan pergi ke Zurich. Pengesahan akan dilakukan di sana, bersama notaris dari lembaga bisnis internasional. Semuanya akan selesai dalam dua hari.”

Zurich.

Nama kota itu terasa asing sekaligus mewah di telinga Naira. Tapi juga menakutkan. Semua ini terlalu cepat. Terlalu nyata.

Dan dia belum sempat bernapas sejak hari ini dimulai.

Arvin memegang bahunya dengan kedua tangan. “Jangan khawatir. Aku akan mengurus semuanya. Kau hanya perlu ikut dan menandatangani dokumen.”

Naira mengangguk, walau tubuhnya terasa ringan seperti kapas. “Oke.”

Arvin mengamati wajahnya. “Kalau kau butuh waktu sendiri, ambillah sebentar. Kita akan kembali ke ballroom setelah ini untuk pamit pada keluarga.”

Setelah Arvin berjalan lebih dulu, Naira menyandarkan punggungnya ke dinding koridor. Tangannya menyentuh dadanya yang sesak, napasnya tercekat.

Pernikahan yang harusnya hanya akting, kini berubah menjadi kenyataan yang harus diikat secara global. Dan seseorang yang entah siapa, tengah bergerak.

Naira memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi satu suara terngiang kembali dalam benaknya.

Aku tahu siapa kau.

Kata-kata Daniel itu menempel di pikirannya seperti duri.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   8. Rahasia Diantara Kita.

    “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   7. Ini baru Permulaan.

    Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   6. Kukuh Di Mata Dunia

    Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   5. Aku Tahu Siapa Kau.

    Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   4. Besok?

    Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   3. Aturan

    Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status