Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.
Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.
“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.
Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.
Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.
“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”
Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisik maupun emosional. Saat ritsleting dinaikkan perlahan, napasnya makin sesak. Dia bukan gadis kecil yang bermimpi memakai gaun pengantin. Dia adalah wanita dewasa yang menyerahkan diri pada pernikahan kontrak, demi menyelamatkan ibunya.
Saat dia berdiri, gaun itu melambai lembut mengikuti langkahnya. Tapi hatinya tidak selembut itu. Di luar ruangan, dia mendengar sayup-sayup suara para tamu. Ada suara tawa ringan, ada tepuk tangan pelan, dan ada...
"...semoga saja, dia tidak seperti yang sebelumnya. Kau tahu maksudku kan? Nadine, tentunya."
Naira nyaris terpeleset saat mendengar nama itu disebut. Jantungnya berdetak keras. Dua wanita yang tampaknya sepupu jauh Arvin sedang berjalan melewatinya.
“Sampai sekarang, Oma belum bisa melupakan skandal itu,” bisik salah satu dari mereka.
“Kalau perempuan ini juga bermasalah, reputasi keluarga bisa benar-benar hancur.”
Mereka terus berjalan, tidak menyadari bahwa pengantin perempuan mereka adalah adik tiri dari Nadine yang mereka bicarakan. Naira menunduk, kedua tangannya menggenggam keras lipatan gaunnya. Kepalanya berputar. Ia hampir muntah oleh gugup.
“Tenang, Naira,” bisiknya pada diri sendiri. “Kau hanya perlu melalui hari ini. Satu hari saja.”
Tapi hari itu tak semudah itu untuk dilewati.
Beberapa menit kemudian, ketika ia hendak menuju aula utama, seseorang menghentikannya. Seorang wanita tua dengan rambut putih keperakan dan mata tajam berdiri di ambang pintu. Oma Ratna.
“Naira,”
Naira membungkuk, mengangguk sopan.
“Oma harap kau bukan seperti perempuan terakhir yang membuat Arvin hampir menghancurkan dirinya sendiri. Kau tahu siapa yang Oma maksud.”
Naira menahan napas, menunduk dalam-dalam.
“Saya tahu, Oma,” jawabnya lirih. “Saya berbeda.”
Tatapan Oma Ratna menyelidik wajahnya selama beberapa detik, lalu wanita itu berlalu, meninggalkan aroma mawar tua dan tekanan tak kasatmata di udara.
---
Pintu utama gereja megah itu terbuka. Iringan musik mulai mengalun. Semua berdiri. Naira menarik napas panjang sebelum melangkah, dengan tatapan lurus ke depan, seolah-olah dunia di sekelilingnya bukan miliknya.
Arvin berdiri di ujung altar, mengenakan tuksedo hitam pekat dengan dasi abu gelap. Tatapannya tenang, tak tergoyahkan. Tapi saat matanya bertemu dengan Naira, ada seberkas sorot yang hanya bisa dibaca oleh mereka berdua—tajam, menilai, dan penuh beban perjanjian yang tak bisa diucap lantang.
Lima langkah terakhir terasa seperti lima tahun. Tapi akhirnya dia sampai di sana. Mereka saling berhadapan, saling mengangguk kecil, seperti dua aktor yang siap menjalani babak klimaks sebuah drama besar.
Pendeta mulai membacakan naskah. Suara hening menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada mereka.
“Arvin Mahendra dan Naira Azzahra, apakah kalian siap menjalani pernikahan ini dengan sepenuh hati?”
Ada jeda singkat.
Arvin menjawab lebih dulu. “Saya siap.”
Naira nyaris tidak mendengar suaranya sendiri ketika membalas, “Saya... siap.”
Janji diucapkan, cincin disematkan, dan ciuman simbolis sekadar menyentuh pipi, namun tetap menghasilkan tepuk tangan meriah dari para tamu.
Setelah prosesi selesai, acara bergeser ke bagian resepsi. Aula besar telah dihias sedemikian rupa. Lantai marmer memantulkan cahaya lampu gantung kristal. Meja-meja tertata elegan dengan bunga mawar putih dan lilin aroma.
Naira berdiri di sisi Arvin, tersenyum pada setiap tamu yang datang memberi selamat. Tapi senyum itu seperti topeng yang semakin lama terasa berat.
“Bagus. Kau bertahan,” bisik Arvin di sela-sela waktu.
Naira hanya menatap ke depan.
Beberapa kerabat datang untuk berfoto. Ada tawa. Ada pelukan formal. Ada satu-dua komentar bernada ramah tapi menyelidik. Lalu, tiba-tiba, suasana berubah.
Seorang wanita muda dengan dress merah darah mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Bibirnya merah menyala. Tatapannya menusuk.
“Nadine?” bisik salah satu tamu.
Naira membeku.
Bukan. Bukan Nadine. Tapi kemiripan wanita itu dengan Nadine sangat nyata. Sorot mata, tinggi badan, gaya bicara.
“Aku Viena ,” ucap wanita itu sambil menjabat tangan Arvin, lalu menoleh pada Naira. “Teman dekat Nadine. Dulu. Dan... sekarang ingin kenalan dengan penggantinya.”
Naira hanya tersenyum kecil, berusaha tak terpancing.
Viena menyeringai. “Kau tahu? Nadine dulu berdiri di tempatmu juga. Hampir menikah dengan Arvin. Sayang sekali, ya... semua itu berakhir begitu saja.”
Seorang petugas mendekat, membisikkan sesuatu pada Arvin. Dia mengangguk singkat, lalu menoleh pada Naira.
“Aku harus ke belakang sebentar. Tunggu di sini.”
Naira mengangguk. Tapi saat Arvin pergi, Viena kembali mendekat.
“Dengar, aku tidak tahu apa rencanamu, atau apa yang membuat Arvin memilihmu. Tapi Nadine takkan diam saja. Dia tahu pernikahan ini terjadi. Dan dia sedang mencari cara untuk kembali.”
“Apa maksudmu?” tanya Naira pelan, tenggorokannya mengering.
Viena hanya tersenyum miring. “Semoga kau kuat. Dunia Arvin bukan tempat yang bisa kau taklukkan hanya dengan wajah polos dan niat baik.”
Tak lama kemudian, Arvin kembali, raut wajahnya tegang.
“Kita harus percepat sesi foto,” katanya cepat. “Ada tamu-tamu penting yang akan pulang lebih awal.”
Naira mengangguk pelan. Ia berjalan di sampingnya menuju area foto.
“Arvin,” panggil seseorang sambil menjabat tangan sepupunya dengan senyum tipis. “Selamat.”
“Daniel. Terima kasih sudah datang.”
Daniel menoleh pada Naira, menatapnya dari ujung kaki hingga ke mata. Ia tidak berkata apa-apa sejenak, lalu ikut berdiri di sisi mereka untuk berfoto.
Tiga kali jepretan. Lalu fotografer meminta mereka sedikit lebih dekat.
Daniel mendekat. Sangat dekat.
Dan tepat saat kamera mengabadikan momen itu, bibirnya bergerak pelan di dekat telinga Naira.
“Aku tahu siapa kau.”
Klik.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling
Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.
Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu
Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi
Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad
Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh