Naira hanya ingin bekerja demi membayar utang dan mengobati ibunya. Tapi lamarannya ditolak mentah-mentah. Namun, siapa sangka, keesokan harinya ia justru ditawari sesuatu yang lebih gila: "Menikahlah denganku. Kontrak satu tahun. Setelah itu, selesai." Arvin Mahendra, CEO tampan yang yang terkenal dingin, menawarkan Naira pernikahan kontrak demi menyelamatkan status dan warisan perusahaannya. Sementara Naira, yang terdesak keadaan, tak punya pilihan lain selain menerima. Namun, saat perasaan mulai tumbuh, masa lalu Arvin datang menghantui. Nadine, kakak kandung Naira sekaligus mantan tunangan Arvin, kembali dan ingin merebut semuanya—termasuk Arvin. Di tengah tekanan keluarga dan fitnah yang menyudutkan, Arvin harus memilih: mempertahankan Naira, atau kembali pada wanita dari masa lalunya. Siapa yang akan Arvin pilih saat semuanya dipertaruhkan?
View MoreLobi kantor megah itu terasa sangat asing bagi Naira. Tangannya gemetar menggenggam map lamaran serta kakinya yang berat tapi ia paksa untuk tetap melangkah. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada beban yang semakin menindih di pundaknya.
Namun hanya butuh satu kalimat untuk menghancurkan harapannya.
"Maaf, Anda tidak lolos seleksi."
Dunia Naira seketika runtuh. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak tak percaya. Air matanya mulai menggenang, tapi ia tahan mati-matian, menahan agar tidak jatuh.
"Aku … hanya ingin bekerja …" bisiknya nyaris tak terdengar. Suaranya tercekat, begitu banyak perasaan yang tumpah, tapi tak bisa diungkapkan.
Salah satu staf memalingkan wajah, seolah tak ingin terlibat. Satpam pun sudah bergerak mendekat, memberi isyarat halus agar ia pergi.
"Silakan keluar, Nona. Jangan membuat keributan."
Langkah Naira terayun keluar gedung. Tubuhnya pun terasa seperti ditarik oleh gravitasi yang lebih kuat dari biasanya. Angin dingin pagi hari menusuk kulitnya, seolah alam pun tahu apa yang baru saja terjadi. Tangisnya pecah sesaat setelah ia keluar dari halaman depan kantor.
“Kenapa semuanya harus sesulit ini?” Gumam Naira dengan nafas yang tercekat. “Tuhan … aku sudah berusaha ... Tapi kenapa selalu gagal?"
Ia berjalan tanpa arah, pandangannya buram karena air mata. Setiap langkah terasa berat, menyakitkan, dan tak tahu harus ke mana. Suara-suara di sekitarnya menghilang, dunia seperti mengecil menjadi lorong hampa yang hanya berisi dirinya dan kepedihan.
Tanpa sadar, ia tiba di persimpangan jalan. Lampu pejalan kaki telah lama menyala merah, tapi ia tak melihatnya. Kakinya melangkah begitu saja—terus maju, seperti tubuhnya tak lagi mendengar perintah logika.
Hujan pun mulai turun. Rintik-rintiknya menampar wajah, mengaburkan pandangan, tapi tidak menghentikan langkah.
Dari kejauhan—
Raungan klakson menembus udara.
Suara decitan ban menyeret keras di aspal basah.
Srettttt—!!
BRAK!
Cahaya lampu mobil menyilaukan matanya sesaat sebelum tubuhnya terpental.
Waktu terasa melambat. Ia merasakan tubuhnya melayang, lalu terhempas keras ke aspal. Sakit menusuk dari lutut hingga bahu, dan darah hangat mengalir di antara rintikan hujan.
Tubuh Naira tergeletak di tengah jalan, napasnya terengah, pandangannya berkabut oleh rasa nyeri dan tetesan hujan yang tak henti turun dari langit. Kaki kanannya gemetar hebat, dan bahunya terasa seperti remuk.
Dari balik kabut hujan, pintu mobil terbuka. Suara derap langkah terdengar mendekat. Sepatu kulit mahal menginjak genangan air, menciptakan cipratan kecil yang kontras dengan situasi.
Sosok pria tinggi tegap muncul di hadapannya. Wajahnya datar, rahangnya kokoh, dan sorot matanya dingin seperti malam tanpa bulan.
"Kau masih hidup?" tanyanya datar, suaranya tenang seolah baru saja melihat seekor kucing liar tertabrak,bukan manusia.
Naira memaksakan kepalanya menoleh. Wajahnya basah oleh air hujan dan air mata yang tak bisa dibedakan lagi. Napasnya memburu, tangan gemetar, suara tercekat di tenggorokan.
"Aku ... aku baik-baik saja ..." katanya lirih, "Hanya ... sangat lelah. Dan tolong … jangan marahi aku …” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang ketakutan.
Pria itu—Arvin—menunduk. Pandangannya menangkap lembaran kertas yang berserakan di sekeliling tubuh Naira. Ia memungut satu, membaca sekilas. Surat lamaran kerja. Nama dan foto Naira terpampang jelas di situ.
Ia mendengus pelan. "Begitu rupanya." Lalu kembali menatap Naira. "Kau mau uang?" tanyanya lagi, masih dengan nada tanpa emosi.
Naira menggeleng lemah, tapi air matanya kembali turun.
"Mama sedang di rumah sakit … dan aku tidak tahu harus bagaimana." Suara Naira bergetar. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya yang mulai pucat karena dingin. "Aku ... aku hanya butuh pekerjaan. Bukan belas kasihan."
Tatapan Arvin tak bergeser sedikit pun. Dingin, tajam, seperti sedang menilai barang rusak yang masih bisa dimanfaatkan. Tidak ada empati di matanya, hanya perhitungan.
"Kalau begitu berdiri. Jangan membuang waktuku di sini."
Dengan susah payah, Naira menarik napas dan mendorong tubuhnya untuk bangkit. Lututnya gemetar, tangannya pun ikut gemetaran, tapi akhirnya ia berhasil berdiri meski sedikit terhuyung.
Tak lama kemudian, Arvin merogoh saku jasnya dan mengeluarkan dompet hitam yang tampak mahal. Dengan tenang, ia menarik segepok uang tunai, lalu menyodorkannya ke arah Naira.
"Lima juta. Ambil."
Naira menatap tumpukan uang itu dengan kening berkerut. Matanya bergeser ke wajah pria di depannya, bingung dan waspada.
"Untuk apa ... uang ini?" suaranya nyaris tak terdengar, tertahan di tenggorokan yang tercekat.
Arvin menatapnya datar. "Anggap saja bantuan darurat. Kau membutuhkannya, bukan?"
Bayangan biaya rumah sakit, tagihan obat, dan perawat yang terus menagih melintas cepat di kepala Naira. Ia masih ragu, tapi tangan kirinya perlahan terulur, seolah digerakkan oleh naluri bertahan hidup, bukan logika.
Meski hatinya menjerit senang, ia menggenggam uang itu dengan tangan gemetar.
“Maaf … aku tidak punya pilihan,” katanya pelan, nyaris seperti mengakui dosa.
Arvin menatap wajahnya beberapa detik, seolah mencoba membaca isi kepalanya. Kemudian, ia memasukkan dompetnya kembali ke saku jasnya.
"Datang ke kantorku besok pagi. Aku ada tawaran untukmu."
Naira mengerutkan alis, bingung. "Apa maksudmu?"
"Kerja sama. Kau tak perlu tahu detailnya sekarang."
Naira terdiam. Rintikan hujan masih turun perlahan, menyisakan titik-titik air di rambut dan wajahnya. Baju yang melekat di tubuhnya terasa dingin, tapi tatapannya tetap tak bergeser. Ia menatap pria asing itu lekat-lekat, mencoba mencari celah dari ekspresi dinginnya.
Namun Arvin hanya berdiri tenang, seolah hujan tak pernah menyentuhnya.
"Jika kau setuju sekarang, aku akan transfer lima puluh juta malam ini."
Naira menatapnya tak percaya. Suaranya tercekat, nyaris tak keluar.
"Lima puluh juta ...? Kau ... kau serius?"
Matanya membesar, antara syok dan bingung. Nafasnya tak beraturan. Tawaran itu terdengar seperti mimpi—atau jebakan.
"Apa ini semacam lelucon?" suaranya bergetar. "Kau ... bercanda, kan?"
Arvin menatapnya tanpa tersenyum. Ia mengeluarkan ponselnya, jempolnya melayang di atas layar. “Ya atau tidak?”
Hening beberapa detik.
Hujan. Napas berat. Dada yang sesak.
Lalu …
"... Ya."
Beberapa detik kemudian, notifikasi muncul di ponsel Naira.
Transfer masuk: Rp50.000.000
Tangannya gemetar. Matanya membelalak tak percaya. Bibirnya bergetar, tak sanggup bicara.
“Siapa … sebenarnya kamu?” bisiknya, penuh tanya.
Arvin tak menjawab. Ia berbalik, melangkah kembali menuju mobilnya. Sebelum masuk, ia menunjuk gedung besar di belakang mereka dengan dagunya.Gedung dimana tempat Naira tadi ditolak.
“Kau akan tahu besok.”
Mobilnya melaju pelan, menyisakan cipratan air di belakang. Dari balik kaca spion, Arvin menatap Naira sekali lagi, sorot matanya tajam namun tenang.
“Wanita itu … bisa kugunakan. Selama dia tak melibatkan hati."
Udara pagi yang sejuk mengalir dari jendela terbuka, membawa aroma samar kopi dan sinar matahari yang masih malu-malu menembus tirai. Di meja kecil dekat dapur, Naira duduk membenamkan wajah di antara jemarinya. Tadi malam terlalu aneh, terlalu berat, dan terlalu cepat. Ia bahkan nyaris tak bisa tidur memikirkan isi pesan misterius itu, dan pertanyaan Arvin setelah membaca ekspresi wajahnya sendiri.“Ini baru permulaan, kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Kalimat itu masih menari-nari di kepalanya, membuat jantungnya terasa seperti diperas perlahan. Ia sudah menghapus pesannya, tapi ketakutan itu tetap tertinggal di dalam pikirannya.Arvin muncul dari balik lorong kamar, mengenakan kemeja putih bersih dan celana panjang gelap, dengan lengan tergulung rapi hingga siku. Ia terlihat ... terlalu tenang. Terlalu siap, seperti seseorang yang sudah lama tahu medan pertempuran ini.“Kita berangkat jam sembilan,” katanya sambil memeriksa jam tangan. “Ricard akan menunggu di san
Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.
Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu
Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi
Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad
Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments