Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.
Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.
“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.
Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”
Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.
“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.
Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan. “Ya ... karena seseorang mulai menyelidiki. Tentangmu. Tentang kontrak kita.”
"Kau sudah tahu, siapa seseorang itu?”
“Seseorang yang pernah dekat dengan Nadine,” jawab Arvin pelan.
Naira menoleh cepat. Matanya membelalak. " Na ... Nadine?
“Dia mencium bau aneh dari pernikahan ini. Dan aku tak akan membiarkan siapa pun merusak semuanya.”
Mobil berhenti. Hotel itu menjulang seperti benteng. Kaca-kacanya memantulkan langit biru, namun bagi Naira, semuanya terasa suram. Dia bisa merasakan udara di dalam mobil berubah, lebih dingin dan berat.
---
Kamar hotel itu luas dan mewah. Tapi Naira merasa seakan berada dalam ruang interogasi. Ia mengganti pakaiannya, bersiap menghadiri makan malam dengan dewan direksi yang juga menjadi saksi pengukuhan. Tapi pikirannya terus kembali pada kalimat Arvin.
Seseorang yang pernah dekat dengan Nadine.
Ia membuka koper. Di dalamnya ada dokumen kontrak pernikahan mereka, disimpan rapi dalam map cokelat. Jari-jarinya menyentuh permukaan map itu, dingin dan kaku seperti tulang di bawah tanah.
Hatinya menegang. Bagaimana jika seseorang benar-benar tahu? Bagaimana jika dunia tahu ia menikah demi uang? Apa yang akan terjadi pada Arvin? Pada reputasinya? Pada dirinya sendiri?
Ia menatap wajahnya di cermin. Senyum tipis mengembang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Di balik segala kemewahan, ia hanyalah pion dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang ia duga.
---
Makan malam diadakan di sebuah ruangan eksklusif. Hidangan mewah disajikan di atas meja panjang yang didekorasi elegan dengan bunga putih dan lilin kecil. Arvin tampak tenang, tapi tangannya yang berada di bawah meja menggenggam tangan Naira erat.
“Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya. “Selama kau tetap dalam peranmu.”
Peran. Kata itu mengiris. Bukan sebagai istri, bukan sebagai pasangan, tapi sebagai peran.
Mereka duduk menghadap jendela besar dengan panorama Pegunungan Alpen yang menjulang di kejauhan. Pemandangan seindah itu bahkan tak cukup menenangkan Naira saat melihat seorang pria berjas abu-abu dengan wajah serius melangkah mendekati meja mereka.
Ricard.
Salah satu partner kerja Arvin di kantor Zurich. Tinggi, rapi, dengan sorot mata yang sulit ditebak. Arvin berdiri menyambutnya, keduanya bersalaman singkat.
"Ricard, ini Naira. Istriku."
Tatapan Ricard bergeser padanya. Sorot matanya tak kasar, tapi juga tidak hangat. Sejenak, Naira merasa seperti sedang dinilai.
"Senang akhirnya bisa bertemu," ucap Ricard, nada bicaranya sopan tapi dalam.
"Saya juga," balas Naira dengan senyum kecil.
Ricard duduk. Beberapa menit mereka berbasa-basi, membicarakan Zurich, proyek-proyek lintas negara, dan sesekali bercanda ringan. Namun, di tengah tawa yang menggantung, Ricard tiba-tiba mengalihkan pandangan ke Naira.
"Aku dengar pernikahan kalian cukup ... mengejutkan," katanya pelan, matanya tajam. "Cepat, ya? Beberapa pihak di dewan penasihat penasaran."
Naira menegang. Ia mengangguk kecil. "Ya. Kadang hidup bergerak lebih cepat dari yang kita duga."
"Begitu, ya?" Ricard bersandar, lalu melipat tangan di depan dada. "Hanya saja, agak aneh saat perubahan status Arvin dikirim ke sistem internal tanpa upacara publik yang jelas. Biasanya, pasangan eksekutif besar melalui verifikasi ... yang lebih teliti."
Arvin menyela cepat. "Pernikahan kami sah. Dikukuhkan secara hukum internasional oleh cabang legal utama. Tak ada yang perlu dipertanyakan."
Ricard tak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya, lalu menatap Naira lagi. "Tentu. Tapi ... kau tahu, Nadine juga hampir menjadi istri sahmu."
Seketika, tubuh Naira membeku.
Ricard menyunggingkan senyum tipis. "Semoga saja, Naira bukan seperti Nadine. Kau tahu maksudku kan? Ada kalanya, seseorang hanya datang dengan agenda yang berbeda. Dan kita terlambat mengetahuinya."
Tak ada tawa. Udara terasa menegang. Naira menggenggam tangannya di bawah meja, berusaha tak terlihat gelisah. Ia tahu maksud kalimat itu lebih dari sekadar peringatan.
Ricard tahu sesuatu.
Atau setidaknya, dia mencurigai ada hal yang disembunyikan.
Setelah Ricard pamit, keheningan melingkupi mereka. Arvin sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Naira diam, pikirannya berkecamuk.
Siapa yang bicara ke Ricard? Apakah Daniel? Atau seseorang dari kantor? Atau lebih mengerikannya, Nadine sendiri?
---
Saat mereka kembali ke apartemen malam itu, tubuh Naira terasa ringan karena lelah, tapi pikirannya semakin berat. Ia baru saja selesai membersihkan make up-nya ketika layar ponselnya tiba-tiba menyala.
Satu pesan masuk.
Nomor tidak dikenal.
-- “Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”
Naira terpaku.
Tangannya mendadak dingin, gemetar tanpa peringatan. Napasnya tercekat. Ia membaca ulang pesan itu ... berkali-kali. Tapi kata-katanya tak berubah. Nama itu … namanya.
Siapa?
Bagaimana orang itu bisa tahu?
Ia mendadak merasa telanjang, seperti ada sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan atau bahkan lebih parah, dari dekat. Jantungnya berdegup kencang, hampir tak beraturan, sementara pikirannya mencoba mengurai kepanikan yang mulai menyelubungi.
Zurich ... sudah cukup membuatnya limbung. Tapi ini ... ini terasa seperti bayangan gelap yang akhirnya menampakkan wujudnya.
Naira menoleh ke cermin.
Bayangannya sendiri menatap balik, dengan mata yang mulai kehilangan kendali. Wajahnya yang sudah bersih kini tampak pucat dan panik. Ia meraih wastafel, mencoba menenangkan diri. Tapi tubuhnya malah makin gemetar, seolah firasat buruk itu merayap ke tulangnya.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar.
Pelan. Berat. Menghampiri dari belakang.
Naira menatap ke arah cermin yang menangkap pantulan seseorang yang mendekat.
“Naira?” Suaranya tenang, tapi ada nada curiga yang tak bisa disembunyikan.
Naira buru-buru mengunci layar ponselnya dan menyembunyikannya di balik handuk.
Terlambat.
Arvin sudah berdiri di belakangnya, memperhatikan bayangan wajah Naira yang pucat. Tatapan matanya terlihat sedikit lebih tajam dari biasanya.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
Deg
Naira menahan nafas.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling
Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.
Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu
Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi
Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad
Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh