Emak adalah istri kedua dari Bapak Mertua. Dari istri pertamalah Mbak Rini lahir. Ibu Mbak Rini sudah menikah lagi dan berpindah di kampung yang berbeda. Sedari kecil, dia ikut bersama ibunya, tetapi karena sering mendapatkan kekerasan verbal, akhirnya diboyong Bapak ke rumah ini. Saat itu dia tertekan dan dirawat Emak.
Walaupun Mbak Rini bukan anak kandung, Emak sangat menyayanginya. Apapun kebutuhannya dipenuhi, walaupun Mbak Rini seperti menutup diri karena trauma di masa kecilnya itu. Dorongan Emak untuk meneruskan sekolah tidak digubrisnya. Dia lebih suka berdagang, walaupun berulang kali gagal karena ketidak pintarannya.
Emak Sayuti, dia begitu cantik dan lincah dalam berdagang. Kesehariannya di pasar, sedangkan Bapak menjadi juru tulis di kantor desa. Praktisnya secara keuangan, Emak mempunyai peran yang begitu besar.
Keinginan Emak Sayuti mempunyai anak sendiri tidak terkabulkan, walaupun segala cara sudah di coba. Akhirnya, Emak Sayuti dan Bapak mengangkat bayi laki-laki yang di beri nama Ridwan Santoso, dialah suamiku itu. Saat itu, Mbak Rini pun sangat menyayangi adik barunya. Dia sangat senang mempunyai teman di keluarga ini.
"Nisa, kamu jangan kawatir akan hak kamu di sini. Emak sudah memikirkan itu. Walaupun Ridwan tidak lahir dari rahim Emak, dia sudah menjadi bagian nyawa Emak. Ini surat dari pengadilan pengangkatan anak. Bapak sudah mengurusnya dari awal kami memilikinya," jelas Emak.
Dia memberikan kertas yang sudah berwarna kekuningan. Di sana tertulis jelas bahwa Ridwan Santoso diangkat anak oleh pasangan Ny Sayuti dan Tn Sardi. Ini bukti legal bahwa Mas Ridwan adalah anak angkat yang sah dimata hukum. Aku sudah tahu dari awal sebelum kami menikah, kalau Mas Ridwan anak angkat, tetapi tidak pernah terbersitpun kejadian akan seperti ini.
"Jadi, kalian jangan pergi. Jangan tinggalkan kami. Apapun yang terjadi. Atau, kamu sudah bosan dengan kami yang sudah renta ini?"
"Emak! Jangan berkata seperti itu! Emak sudah seperti ibuku sendiri!" teriakku dengan menggenggam tangannya.
"Kamu janji, ya."
"Ya, Mak," ucapku dengan menganggukkan kepala dengan yakin.
***Malam ini, Emak memaksa Alif untuk tidur dengannya. Dia seperti ketakutan ketika dibangun tidurnya dia tidak lagi melihat kami lagi.
Aku pandang dinding kamar ini, tergantung foto keluarga kami, foto kami bertiga, aku, Mas Ridwan dan Alif. Saat itu ulang tahun ke lima Alif, aku memaksanya untuk foto bersama.
Sayang sekali, kami belum sempat foto berempat bersama si Dwi kecil. Hanya ada foto Mas Ridwan yang sedang menggendong Dwi dengan senyum sumringahnya. Itupun masih tersimpan di ponselku ini, dan belum sempat aku cetak.
'Mas Ridwan, tidakkah kau rindu anak perempuanmu ini. Dia sudah bisa tersenyum, persis seperti senyumanmu yang bisa menenangkanku. Dwi, anak perempuan yang kau tunggu kehadirannya selama ini dan sekarang sudah hadir, tetapi kau tinggalkan sebelum dia beranjak tumbuh,' bisikku dalam hati. Semoga kau mendengarnya, Mas. Cepatlah pulang.
Aku layangkan pandanganku ke pigura di sebelahnya. Ijazah Sarjana Mas Ridwan. Setelah menyelesaikan kuliahnya, dia menyuntingku dan memboyongnya ke sini. Saat itu, Mbak Rini masih hidup terpisah dengan suaminya. Kami disini dengan tujuan merawat Emak dan Bapak, selain cita-citanya untuk memajukan daerah ini. Saat itu, hanya kamilah harapan mereka untuk menemani di usia senjanya.
Mas Ridwan menjadi guru honorer di kampung ini. Pembawaannya yang pintar dan gampang bergaul membuat cepat dikenal bahkan sampai di Kecamatan. Tugas yang diembannya selalu diselesaikan dengan cepat, bahkan Mas Ridwan beberapa kali menyumbangkan ide untuk perbaikan pendidikan di kampung ini. Karena itulah, atasannya merekomendasikan dia untuk diangkat sebagai pegawai negeri.
Setelah melewati beberapa tes, Mas Ridwan dinyatakan lulus dan dalam masa menunggu terbitnya surat keputusan dari pusat yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Lahirnya anak kedua kami, menyadarkan bahwa kebutuhan kami semakin membengkak. Tidak mungkin, kami menyandarkan kepada Emak yang sudah mulai tidak aktif ke pasar. Karenanya, Mas Ridwan ikut berlayar pada setiap akhir minggu. Katanya, hitung-hitung mendapatkan penghasilan tambahan di hari libur. Kalau mengandalkan bayaran gaji honorer, mana cukup?
"Mas, tidakkah kamu capek? Berlayar itu pekerjaan berat," ucapku saat itu dengan menyusap tangan suamiku yang mulai kasar.
"Dek Nisa, ini tanggung jawab Mas. Kamu fokus mengurus Alif dan gadis kecilku yang cantik ini," jawabnya dengan menghujani ciuman ke pipi gembul Dwi kecil.
"Mas! Jangan terlalu keras! Nanti dia bangun," ingatku kepadanya.
Mas Ridwan beralih mencium pipi Alif yang tertidur di samping Dwi. Begitu lama dan seperti membisikkan sesuatu, entah apa.
"Dek Nisa. Aku berangkat, ya. Jaga anak-anak, Emak dan Bapak," bisiknya ketika menarikku ke dalam pelukannya. Diciumnya pucuk kepalaku dengan kasih sayang yang menghangatkan hati ini.
"Mas Ridwan, apa ditunda saja berlayarnya. Kamu terlihat capek," ucapku merajuk di dalam pelukannya.
"Tidak enak dengan teman-teman, Dek. Mereka sudah menunggu. Ingat, yang Mas katakan tadi. Jaga anak-anak, Emak dan Bapak. Doakan, Mas, ya?" ucapnya dengan mengurai pelukannya dan merapikan anak-anak rambutku.
Malam itu, aku mengantarnya sampai pintu, menatapnya sampai bayangan punggungnya menghilang di kegelapan malam.
Kalau aku tahu itu ciuman terakhirmu untuk Dwi dan Alif, tidak akan aku mengingatkanmu. Pasti aku biarkan kau terpuaskan walaupun mereka kan terbangun.
Kalau aku tahu itu adalah bencana buatmu, pasti tidak akan kuijinkan kau pergi berlayar. Walaupun itu mengharuskan kami mengencangkan ikat pinggang.
Kalau aku tahu itu pelukan terakhirmu, aku pasti tidak akan melepaskanmu, Mas.
Ya, Allah lindungi Suamiku. Apabila dia masih hidup, selamatkanlah dia. Apabila dia sudah meninggal, tempatkanlah dia di tempat yang terbaik. Pandangan mataku mulai mengabur. Air mata sudah tidak terbendung lagi.
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku sandarkan diriku. Kuatkan diriku untuk menjalani hidup ini. Menjaga anak-anak, Emak dan Bapak.
***
“Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku
(Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen
Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s
Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya
Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi
Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak