แชร์

Bab 2. Jangan Pergi

ผู้เขียน: Astika Buana
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-07-30 16:30:06

"Dek Dwi kayaknya pipis," ucap anak lelakiku ini.  Segera aku menyelesaikan pekerjaanku. Piring kumasukkan di dalam keranjang dan aku siapkan di dekat pintu. Semua harus beres, aku berusaha tidak membuat celah Mbak Rini untuk melontarkan kata-kata pedas yang membuat sakit hati ini. Lebih baik aku mengalah,  daripada menjawab dan hanya menambah masalah saja.  

Iya, dari segi umur memang Mbak Rini lebih tua dari pada aku, sekitar lima tahunan. Namun, sikap dan pemikirannya tidak mencerminkan kedewasaan. Dulu sering aku protes ke Mas Ridwan tentang sikapnya yang membuatku tidak nyaman.  Walaupun hanya sekadar keseharian,  kalau setiap saat dilontarkan bisa mengikis kesabaranku juga.  

"Mbak Rini kok tidak tahu, ya. Kalau tempe setengah matang, kalau disimpan di kulkas proses penjamurannya bisa terhenti. Ini kok malah marah ke Nisa. Katanya Nisa tidak becus belanja! Padahal Nisa sengaja beli itu kemarin karena akan dimasak sekarang!" keluhku kesal.

"Dek Nisa, yang sabar ya. Kita harus memaklumi Mbak Rini. Secara kepintaran memang dia segitu kemampuannya. Walaupun dijelaskan, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak tahu apa itu fermentasi. Biarkan saja, lama-lama dia mengerti," hibur Mas Ridwan.

Bukan hanya itu,  dia menuduh Arif anakku memakan kembang gula kapas milik anaknya yang dibeli malam hari di pasar malam.  Padahal,  jajanan yang seperti kapas itu mengempis sendiri karena dibiarkan semalaman tidak dibungkus plastik.  Bagaimana tidak kesal,  anakku yang tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan, dia hardik sampai menangis.  

Mbak Rini secara akademik memang tidak beruntung. Dia tidak bisa meneruskan sekolah dasar. Bapak dan Emak sudah berusaha mendorong dia sekolah, tetapi melihat dia tersiksa karena tidak bisa mengikuti pelajaran,  dan akhirnya mereka menyerah.

Berbeda dengan Mas Ridwan. Akademiknya begitu cemerlang, selalu di peringkat tiga besar. Kemampuan dia inilah yang mengantarkan dia mendapatkan beasiswa dan menjadi seorang sarjana. Keinginannya ingin memajukan pendidikan di kampung asalnya ini, yang menjadikan kami kembali ke kampung setelah menikah.  

"Tetapi Mas, kalaupun dia tidak mengerti seharusnya bisa bertanya atau minta maaf kalau salah. Ini malah marah-marah merasa benar sendiri !" Omelanku masih berlanjut mendinginkan hati yang masih terasa panas.

"Dimaklumi sajalah. Mungkin dia lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan, kalau baru selesai proses cerai tingkat kestresan seseorang meningkat?" jelasnya lagi.

Aku masih kesal. Mulutku cemberut karena otakku belum menerima penjelasan Mas Ridwan. Tidak pintar, stres atau apalah, bukan alasan yang tepat untuk marah dengan orang lain, kan? 

Kalau sudah seperti itu,  Mas Ridwan langsung mendekatiku dan mengusap punggung ini dengan lembut dan sesekali merapikan anak-anak rambutku. Begitu perlakukan suamiku untuk meredakan kesalku.

Namun sekarang, tidak ada suara yang menenangkan, tidak ada lagi tepukan lembutnya. Hanya kenangan akan dirimulah yang membuatku bertahan. Mas Ridwan, kamu kapan pulang? Aku merindukan dirimu. 

"Ibuk ... Ibuk nangis lagi?" Suara Alif menyadarkanku. Tangan kecilnya memegang lenganku, terasa hangat seperti ada Mas Ridwan di sini. 

"Eh, Kakak. Tidak, Ibuk hanya kena debu matanya," ucapku dengan tersenyum sambil mengusap pipi yang sudah basah dengan air mata. 

"Nisa! Anakmu nangis itu, lo! Gara-gara anakmu, Hasan yang sudah tidur bangun lagi. Bikin rumah berisik saja!" teriak Mbak Rini dari kamar sebelah. Hasan anak tunggalnya dari pernikahan yang baru gagal ini, dia masih balita juga, yang berumur tiga tahun.

Aku langsung beranjak ke kamar diikuti Alif, Dwi anakku yang masih bayi menangis karena terbangun dari tidurnya dan mengompol. Aku ganti popok dan kususui supaya tidak lagi menangis. Alif yang duduk di sebelahku mengusap-usap kaki adiknya sambil berkata, "Jangan memangis,  Dek.  Nanti digigit nyamuk,  lo."

Aku tersenyum melihat mereka. Sekarang,  mereka berdualah yang menjadi kekuatanku.  

Hanya mereka yang aku punya sekarang, yang menjadi semangat dan menguatkanku. Merekalah yang menjadi alasanku untuk terus hidup dan maju.

***

"Nisa, kau makan dulu, Nak. Dwi dan Alif sudah tidur, kan?" ucap Emak ketika memasuki ke kamarku. 

Dia duduk di sebelah Alif yang tertidur. Diusapnya kepalanya dengan pelan, sambil menatap dengan mata yangbberkaca-kaca. Aku sangat mengerti, tidak hanya aku yang bersedih, Emak juga sangat kehilangan Mas Ridwan, anak kesayangan dan kebanggaannya.

"Le, kamu ini masih kecil kok sudah kehilangan bapak. Kasihan kamu ini, Le," gumannya lirih. Terlihat dia mengusap mata beberapa kali,  kemudian memalingkan wajah ke menatapku. 

"Emak mendengar apa yang diucapkan Rini. Tidak usah didengar, dia tidak mengerti apa yang diucapkan. Biar Bapak saja yang menjelaskan kepadanya. Kamu temani Emak di sini, ya. Jangan pisahkan Emak dengan cucu-cucu Emak ini. Bagi Emak,  mereka gantinya Ridwan," ucapnya dengan terbata-bata dan berakhir dengan air mata yang lolos kembali.

Direngkuhnya diriku ke dalam pelukan, kami menangis bersama-sama.  Seakan melepas sesak karena rasa rindu kepada Mas Ridwan yang semakin membuncak.

"Tetapi Emak, Mbak Rini menyakini kalau kami tidak ada hak untuk tinggal di sini."

Emak mengurai pelukannya dan memegang kedua lenganku. Dia tidak bisa berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang semakin deras meluncur di pipi keriputnya.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status