[Aku selalu doain kamu, De. Meskipun sekarang kita gak bisa bersama di dunia, aku selalu berdoa semoga kita bisa dipasangkan di surgaNya kelak.]
Pesan yang kuterima dari Aa Iz itu, membuat hatiku ketar ketir tak karuan. Bukan kenapa-kenapa, tapi karena status dia yang sekarang adalah suami orang lain. Tambah lagi sekarang dia itu Ustadz kondang penerus sebuah pesantren yang lumayan besar milik ayahnya. Yang lebih dramatis lagi, pria tampan itu sudah memiliki 4 orang anak yang lucu-lucu.Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang janda cerai hidup yang memiliki satu anak. Ah ... memang sudah sepantasnya aku sadar diri, siapa aku dan bagaimana aku harus bersikap. Levelku sekarang jauh berbeda. Aku hanya seorang Guru TK. Aku minder sekali, apalagi dibandingkan dengan istrinya yang seorang lulusan pesantren yang sama, berpendidikan bahkan seorang Bidan.Nama Ustadz tampan itu Muhammad Izandra. Dulu aku menyebutnya Aa Izan atau Aa Iz. Mantan terindahku saat aku masih duduk dibangku SMA.***Tak kusangka pertemuanku dengan Erick, teman sekolah Izan kemarin lusa, kini berbuntut pesan-pesan nostalgia dan teror telepon dari mantan kekasih terindahku itu.Tadinya, Erick yang katanya tak sengaja lewat sekitar rumahku dan mampir, hanya ingin bersilaturahim denganku, tapi ujung-ujungnya setelah ngobrol ngalor-ngidul denganku, dia malah meminta nomor teleponku. Biar gak putus silaturahim katanya.Tapi nyatanya dia memang ada maksud lain. Bukan padaku pastinya, tapi pada sahabatku, Irene, yang tak lain adalah mantan kekasihnya.Ya. Aku dan Irene bersahabat, Izandra dan Erick juga bersahabat. Dan kami sering nge-date bareng dulu saat masih zaman SMA. Masa-masa remaja yang sudah belasan tahun lalu kami lewati. Sekarang bahkan aku sudah berumur kepala tiga.Izandra adalah anak sulung dari seorang pimpinan pondok pesantren, sedangkan Erick, temannya itu dulu mondok di Pesantren milik Ayah Izz.Jangan tanya mengapa anak pesantren bisa pacaran? Gak semua anak pesantren itu alim dan anti pacaran, buktinya mereka berdua. Tapi bukan berarti semua anak-anak remaja yang duduk di bangku pesantren itu, sama seperti mereka yang notabene bisa disebut 'badung' pada masanya. (Tidak untuk ditiru).Mereka sering bolos sekolah hanya untuk menemui aku dan Irene. Mungkin gara-gara Izz adalah anak pemilik pesantren waktu itu, makanya dia bisa leluasa keluar masuk dari area pesantren dengan mudahnya. Padahal dari yang kudengar saat itu, pesantren tersebut adalah salah satu pesantren yang sangat ketat dalam menegakkan peraturan pada santri-santriahnya.Namaku Indria Saputri, tahun ini tepatnya 2tahun aku bercerai dengan mantan suamiku, aku memiliki satu anak perempuan yang sekarang berumur 9tahun dan sekarang duduk dibangku kelas 3 SD.***Ah, sebenarnya aku merasa speechless saat bertemu lagi dengan Erick. Saat aku melihat Erick, tentu saja itu membuatku jadi mengingat lagi tentang Izandra, cinta pertamaku. Cinta yang nyatanya mungkin masih terpahat rapi dibagian terdalam hatiku.Dan benar saja, setelah Erick meminta nomor Irene, dia malah memberiku nomor Izz. Bahkan bukan hanya itu, dia juga memberikan nomorku pada Izz. Bagaimana aku tak ketar-ketir saat itu, sudah sangat lama aku dan Izz tak berkomunikasi.Aku sampai bertanya pada Irene, 'gimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Gimana mulai chat? Gimana biar gak tengsin?' belum apa-apa, hatiku sudah 'ngereog' duluan dibuatnya.Jujur, saat mendapatkan kabar soal dirinya, ada terbersit sedikit rasa rindu di hatiku ini dan ingin menyapa mantan kekasihku itu. Hanya saja logikaku mengatakan, itu semua tak pantas sama sekali. Keadaan kami saat ini sangat tak memungkinkan untuk bersama. Tak sama lagi seperti dulu. Jadi aku memilih untuk diam dan menunggu daripada harus memutuskan urat malu ku di hadapan mantan terindahku itu.***🚫 pesan ini telah dihapus🚫 pesan ini telah dihapus🚫 pesan ini telah dihapusAku yang sedari tadi menatap layar ponsel sambil ketar ketir menunggu Izz memberi kabar, dikagetkan dengan notifikasi yang beruntun. Ada 8 pesan baru yang telah masuk di ponselku.Langsung aku screenshot sebelum membukanya dan hasilnya langsung aku kirim ke Irene. Karena sedari tadi, aku terus berkomunikasi dengan Irene di WA.Ada 8 pesan yang tak langsung aku baca. Tapi baru saja 2 menit, semua pesan itu ternyata dihapus lagi oleh si pengirim pesan yang nomornya belum aku save itu. Dan aku tahu si pemilik nomor itu adalah Izandra.Dengan gemetar, aku pura-pura saja tak tahu menahu soal nomor dia, padahal sejak tadi aku sudah mengetahuinya dari Erick. Hanya saja aku masih ragu untuk menyimpannya. Tanpa menunggu lama lagi, aku kemudian membalas pesannya.[Assalamu'alaikum][Ini siapa ya? ][Ko pesannya dihapus lagi?]Setelah membalas dengan pura-pura polos seperti itu, rasanya jantungku berpacu lebih cepat. Serasa menunggu pengumuman hasil kelulusan.Hanya Irene-lah saat itu yang menenangkan debar-debar di dada yang semakin menggila. Sebelum berbalas pesan dengan Izz, aku sedang berbalas pesan dengan Irene yang bercerita soal Erick yang menghubunginya. Cekikian aku saat me-roasting Irene.Irene bilang dia sama deg-degannya denganku. Hanya saja mereka berdua, Irene dan Erick, ternyata memang bisa menjaga hati mereka untuk pasangannya masing-masing.Irene yang sudah bersuami dan Erick yang sudah beristri, cukup bijak dalam mengambil sikap yang seharusnya. Jadi, setelah niatan Erick yang meminta nomor Irene untuk minta maaf atas kesalahannya dulu, mereka pun menyudahi komunikasi mereka hanya sampai saling memaafkan. Tak ada nostalgia seperti aku dan Izandra. Mereka tahu batasan-batasan mereka sebagai seseorang yang sudah dewasa dan memiliki pasangan. Tentu mereka memikirkan perasaan pasangan mereka masing-masing, jika mereka tetap terus menjalin komunikasi meskipun atas dasar "silaturahim". Karena sejatinya, gak ada silaturahim yang berujung baik antara lawan jenis, apalagi berstatus sebagai sepasang mantan kekasih.Berbeda denganku dan Izan. Mungkin karena Izan mengetahui statusku yang sekarang janda dari Irene beberapa bulan yang lalu lewat inbox di aplikasi F, Izan malah seakan leluasa bernostalgia denganku. Padahal dia lebih faham soal batasan komunikasi dengan yang bukan mahram dalam agama kita. Meski tak di pungkiri, ada debar lain dalam hatiku saat menerima pesan-pesan darinya yang seakan sangat merindukanku. Sayangnya debar itu ku rasa adalah sesuatu yang salah. Aku sadar itu.'Aku harus bagaimana, Ya Allah?' gumamku dalam hati.Satu sisi aku rindu. Tapi di sisi lain, aku tahu rasa ini harusnya tak begitu. Jujur saja, aku ... takut.[Jangan panggil Pak Ustadz donk, Bu Dede. Panggil aja kaya dulu. Aa Iz ... ]Begitulah isi pesan Izandra saat aku memanggilnya Pak Ustadz. Dia bilang enakan di panggil Aa Iz atau hanya Aa saja. Dan dia memanggilku, Bu Dede. Lucu sekali. Aku juga memprotes panggilan dia yang memakai embel-embel "Bu" di depannya. Aku ingin di panggil Dede saja seperti dulu. Sama seperti panggilan kedua orangtuaku dan teman-teman dekatku, karena aku adalah anak bungsu, jadi kedua orangtua dan teman dekatku terbiasa memanggilku seperti itu, sekalipun sekarang aku sudah memiliki anak. Jika di pikir-pikir, rasanya aneh juga, sudah kepala tiga masih di panggil Dede, seperti sebutan untuk anak balita. Tapi ya sudahlah, jadi serasa awet muda juga ... Apalagi panggilan itu panggilan kesayangannya padaku. Eh.Setelah awal mula chat basa-basi yang menanyakan kabar, anak, istri dan lain-lain. Semakin kesini chat dari Izan semakin menjurus ke masa lalu. Dia bilang, dulu sebelum tahun 2015 dia mencari ku. Dia ingin
[Boleh aku egois?Aku gak mau cuma bersama kamu di akhirat, tapi aku mau sama kamu di dunia juga, Aa Izz.]Rasanya urat malu ku sudah benar-benar putus. Bisa-bisanya aku mengirimkan pesan seperti itu pada Izandra. Otak dimana otak? Aku menepuk keningku dengan telapak tanganku keras berulang kali. Kring!! Terlihat Izan melakukan panggilan telepon padaku. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika dia bertanya soal pesanku tadi? 'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh banget Indri!'Aku terus saja menggerutu sambil menatap layar ponsel yang menampilkan nama Izandra sedang memanggil. Aku terus menggigiti ujung kuku jari telunjukku sambil mondar mandir cemas. Aku baru bisa bernafas lega saat panggilan itu telah berhenti. Fyuuhh!!Aku mengusap keningku yang sama sekali tak berpeluh.Sayang kelegaan itu hanya sebentar, karena beberapa detik kemudian, Izandra kembali menelpon ku. Aku yakin dia takkan berhenti menelpon sebelum aku angkat. Dan benar saja setelah beberapa menit, dia
Kalau dikatakan kami keterlaluan. Ya, memang benar. Aku pun menyadarinya. Hanya saja ini kenyataannya. Kenyataan bahwa kami berdua masih terjebak dalam nostalgia masa lalu dan terjebak dengan cinta yang belum usai. Jika di katakan ini salah, memang benar ini semua salah. Aku takkan berkata bahwa aku benar. Jujur saja, aku tak ingin di cap pelakor. Tapi masalah hati siapa yang bisa mengaturnya kecuali Allah. Hanya saja, kita bisa menggunakan akal pikiran kita untuk menerima atau menolak hal yang akan berpengaruh baik atau buruk bagi kehidupan kita kedepannya. Semua dengan nafsu atau tidak. Seperti yang IzanIzandra katakan kemarin, bahwa istrinya mengijinkan dia berpoligami setahun yang lalu. Well ... Aku tak serta merta bahagia. Meski memang aku merasa ada sedikit harapan tapi aku takkan menyiram harapan itu agar semakin besar. Aku harus menguburnya. Apalagi saat aku memikirkan latar belakang kami yang sangat jauh berbeda. Aku yang notabene bukan lulusan pondok dan dia yang justru s
~Bagaimana aku bisa bahagia, sedangkan ada banyak hati yang harus aku jaga~Di sepertiga malam ini, aku bersimpuh di hadapan Rabb-ku. Meminta petunjuk, meminta ketenangan hati, dan meminta yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhiratku. Karena aku sadar, tak ada yang bisa memberi petunjuk selain Allah. Jujur, setelah perceraianku dua tahun kemarin. Aku menjadi memiliki keinginan untuk berhijrah. Terutama memakai hijab disetiap saat. Dan alhamdulillah atas kemudahan dari Allah dan dorongan dari orang-orang terdekatku, terutama sahabatku Irene yang lebih dulu berhijab syar'i, aku kini memantapkan hati memakai hijab. Awalnya aku ragu, tapi karena hati yang selalu saja gelisah akhirnya aku nekat berhijrah. Bermodal niat ingin memperbaiki diri karena Allah. Bahkan kalau bisa aku ingin langsung memakai cadar. Ah, mungkin itu akan aku pikirkan lagi kelak ketika aku sudah memiliki imam dalam rumah tanggaku.Aku sadar sekarang bahwa segala sesuatu itu harus atas kehendak Allah. Maka kini ak
PoV 3Indri terbangun dari tidurnya. Ternyata sehabis shalat istikharah tadi ia ketiduran di atas sajadah. Saat ia membuka mata, ia teringat akan mimpinya barusan yang seakan nyata. 'Apakah itu jawaban dari Allah bahwa semua akan baik-baik saja?' batinnya.Jujur di hatinya, dia masih merasa dilema dan bimbang. Banyak sekali pertimbangan yang dia pikirkan. Bahkan setelah beberapa hari ini dia rutin istikharah, ada banyak hal yang membuat dia justru semakin galau.Indri dan Izz selalu berkomunikasi tentang apa saja yang akan terjadi jika pernikahan mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena keduanya pun merasa bahwa jalan mereka tak mudah dan takkan ada yang tahu bagaimana rumitnya perasaan mereka saat ini.Satu sisi, Indri memang masih memiliki perasaan pada Izz, hanya saja di sisi lain, dia juga bimbang jika harus menyakiti hati istri pertama Izz. Tak ada wanita yang akan dengan sukarela berbagi suaminya dengan orang lain, pikir Indri. Kalau pun ada, maka orang itu pasti telah melal
Allah memudahkan kita mengambil keputusan yang sulit dengan cara meminta petunjuk kepadaNya lewat shalat istikharah. Dan itulah yang Izz dan Indri lakukan selama satu bulan ini. Setiap malam mereka melantunkan doa-doa agar diberikan petunjuk mana yang terbaik bagi hubungan mereka ke depannya.Bagi orang lain yang melihat apa yang mereka lakukan, mungkin akan berkata mereka sudah gila dan di butakan oleh cinta. Apalagi seorang Izandra yang notabene orang yang memiliki ilmu agama yang baik yang harusnya lebih bisa berpikir positif dan bijak dalam mengambil sikap. Bukan malah terlena dalam cinta yang belum usai. Padahal di mata orang awam, sekelas Kyai harus memiliki iman yang kuat, tak mudah goyah oleh hawa nafsu. Tapi apalah daya.. Izandra tetap lah seorang manusia yang memiliki hati, dia pikir siapa yang bisa membolak-balikan hatinya kecuali atas kehendak Allah. Itulah yang membuatnya yakin untuk melakukan istikharah selama satu bulan penuh, agar apa yang akan dia putuskan kini, adal
Di saat kita sudah merasa memiliki sesuatu, terkadang kita di paksa sadar bahwa hal tersebut nyatanya bukanlah milik kita. Apa yang kita jaga agar tak lepas dari genggaman, ternyata justru hanya titipan semata. Jangankan orang lain, anak kita, pasangan kita, orang tua kita, saudara kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri pun semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil kembali oleh Sang Pemilik Segalanya. Begitulah yang kira-kira Annisa rasakan saat ini. Rasa memiliki yang begitu dalam akan sang suami, Izandra. Membuat Annisa merasa sangat amat pilu ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus berbagi segala apa yang ada pada suaminya itu dengan perempuan lain. Raganya, cintanya, hartanya, ilmunya, perhatiannya, tanggung jawabnya, semua seperti sebuah mimpi buruk yang membuat Annisa enggan untuk meyakininya sebagai kenyataan. Sayangnya semua bukanlah sebuah mimpi. Sang suami benar-benar berniat ingin membagi segala sesuatu yang selama ini Annisa sangka hanya u
"Maaf sebelumnya, A. Tapi aku gak mau menikah tanpa ijin dari Annisa," potong Indri mantap. Izz terkesiap mendengar kata-kata Indri. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Indri akan mengajukan syarat seperti itu. "Ma-maksudnya gimana, De?" tanya Izz lesu. "Iyaa, aku gak bisa seperti itu. Kalau memang Annisa tak memberi ijin pada Aa untuk menikah sama aku, maka aku gak akan pernah mau menikah sama Aa." Indri berkata dengan pasti. Dia merasa bahwa pernikahan yang terjadi tanpa restu dari istri pertama tak akan pernah berjalan dengan baik ke depannya. "Aku gak mau kalau sampai nanti kita akhirnya ketahuan dan semua orang jadi menyudutkan kita. Apalagi jika sampai Viral. Semua ini aku lakukan untuk berhati-hati dan berjaga-jaga demi kebaikan kita ke depannya," ucap Indri lirih. "Tapi ... kita bisa menikah lebih dulu, lalu setelahnya kita bisa beritahu Annisa. Bukankah kalau kita sudah sah menjadi suami-istri, tak ada alasan untuk Annisa menolak lagi?" jawab Izz. Rencana Izz mema