Share

Chapter 4

“Menggendong bayi tidaklah sulit. Aku akan punya anak,” kata Aleena pada diri sendiri.

“Bayi laki-laki sepertinya lucu,” sambungnya sambil membayangkan.

Keesokan harinya Aleena pergi ke aula untuk latihan wushu. Saat latihan, ia selalu menang. Pada latihannya yang terakhir, tiba tiba Dimas datang menghampiri Aleena.

“Presdir, ini daftar kencan buta yang telah ku siapkan,” Dimas menyodorkan tabletnya kepada Aleena.

Dimas bertanya apakah orang orang ini masuk kriteria Aleena. Dengan ketus Aleena menjawab bahwa semua orang yang ada di daftar kencan buta itu jelek dan tidak masuk dalam kriterianya.

Dimas jadi serba salah di buatnya, ia bingung harus mencarikan calon suami seperti apa untuk bosnya itu.

“Lalu seperti apa yang masuk kriteria presdir?” tanya Dimas sambil memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah.

“Apa seperti saya kriteria presdir?” lanjutnya.

Aleena tidak menjawab, ia hanya menatap Dimas dengan tatapan tajam dan kesal. Kemudian dengan sengaja Aleena membanting tubuh Dimas sampai jatuh ke tanah.

Di lobby aula datanglah Rosa. Rosa adalah teman kecil Aleena, pekerjaannya seorang selebgram. Setiap saat dia selalu membawa tripodnya dan merekam dirinya dalam situasi apapun.  Hari ini dia sengaja pergi ke aula dan melakukan vlogging wushunya.

Di depan pintu aula, Rosa di sambut manis oleh pelatih.

“Selamat siang nona, hari ini pelatih wanita tidak ada. Bagaimana jika anda latihan dengan senior di sini?” pelatih menunjukkan Aleena kepada Rosa.

“Aleena?!” ujar Rosa yang merasa malas berurusan dengan Aleena.

Akhirnya Rosa dan Aleena bertanding wushu, dan pelatih merekam kegiatan mereka. Rosa menyerang Aleena dengan kekuatan penuh, namun Aleena dengan santai membantingnya ke tanah membuat tulang belakang Rosa merasa sakit.

“Aleena selamatkan wajahku, banyak fans yang menonton. Jadi biarkan aku memenangkan ronde ini,” bujuk rayu Rosa.

Aleena hanya mengangguk tanda menyetujui.

Mereka melakukan pertandingan wushu di babak selanjutnya. Kali ini dengan sengaja Rosa mencakar leher cantik milik Aleena, membuatnya berdarah dan kesakitan.

Ketika Rosa menyerang Aleena kembali, akhirnya Aleena tidak tinggal diam. Dia membanting tubuh Rosa untuk kesekian kalinya, Rosa pun terjatuh.

“Aa ... tanganku patah,” Rosa merengek kesakitan.

“Cepat panggil ambulans!” Kata Aleena menyuruh Dimas.

“Aku tidak mau ambulans, aku mau kamu membawaku ke rumah sakit terdekat!” protes Rosa.

Aleena belum menjawab kata Rosa, ia berpikiran kalau membawa Rosa ke rumah sakit akan membuatnya bertemu dengan dokter Daffin.

Akhirnya Aleena mengantarkan Rosa ke rumah sakit.

“Dimas, kau antarkan dia. Aku ada keperluan,” suruh Aleena menunjuk ke arah Rosa.

“Baik presdir Aleena.”

“Eh, kau mau kemana?” protes Rosa sambil mengikuti langkah Aleena.

“Sudah kamu masuk sendiri saja,” kata Aleena dengan nada dingin.

“Eh kamu harus bertanggung jawab!” teriak Rosa.

“Bertanggung jawab apa? Aku tidak melakukan kesalahan,” Aleena menyangkal perkataan Rosa.

“Kamu membuat tanganku patah!” Rosa menunjuk tangannya.

Rosa kemudian dengan sengaja naik kursi roda yang ada di lobby rumah sakit.

“Cepet dorong aku!” perintah Rosa.

“Oh kaki kamu juga patah?” tanya Aleena dengan semakin sebal.

“Ayo cepat! atau ayahku tidak akan memilihmu dalam rapat dewan?!” ancam Rosa.

“Selain kaki dan tanganmu patah, ternyata otakmu juga sakit ya? Selalu mengancam dengan bersembunyi di balik kata ayah,” ujar Aleena sambil mendorong kursi roda Rosa dengan terpaksa.

Aleena mendaftarkan Rosa berobat dan sekalian membayar biayanya, sedangkan Rosa berada di IGD untuk di tangani dokter.

“Biar kuperiksa,” ujar dokter menyentuh tangan Rosa.

“Ini sangat sakit,” Rosa merengek sambil menangis seperti anak kecil.

“Kita harus melakukan X-Ray nona untuk mengetahui seberapa parahnya patah tulangmu,” ujar dokter.

“Aku tidak mau kamu yang memeriksaku! Apa kau seorang dokter magang? Aku mau dokter professional, cepet panggilkan dokter yang lain,” protes Rosa.

“Nona, kalau anda main-main lagi akan kupanggilkan satpam!” ancam dokter pada Rosa yang sedari tadi rewel minta ampun.

Karena mendengar protes dan kata-kata yang sedikit kasar, Daffin pun keluar dari ruang sebelah. Kebetulan suara Rosa begitu keras membuat Daffin mendengarnya.

“Nona, ini IGD. Jadi jangan menghalangi dokter merawat pasien!” kata Daffin tiba tiba, membuat Rosa kaget.

“Bukan begitu,” kata Rosa sedikit halus.

“Cepat minta maaflah kepada dokter Ari!” perintah Daffin dengan tegas.

“Maafkan aku dokter,” ucap Rosa dengan suara lirih.

“Tolong berdirilah, jangan menyia-nyiakan sumber daya medis.”

Tanpa sepatah katapun, Rosa menuruti kata-kata Daffin. Ia berdiri dan mulai melakukan pemeriksaan X-Ray.

“Terimakasih direktur Daffin,” ujar Ari.

Daffin hanya mengangguk, tanda menyetujui.

“Dimana anggota keluarga anda?” tanya Ari.

Rosa menunjuk ke arah pintu IGD, di sana terlihat Aleena yang sedang mengamati tingkah laku Rosa yang kekanakan.

Rosa masuk kedalam ruang IGD dengan tebar pesona kepada Daffin. Ia juga selalu memperhatikan Daffin.

“Saya keluarga anak tolol ini dokter, maaf karena dia punya IQ rendah. Jadi tidak punya sopan santun,” kata Aleena dengan menunjuk ke arah Rosa.

Ari hanya mengangguk mengetahui, sedangkan Rosa mengerucutkan bibirnya karena Aleena mengatakan bahwa Rosa tolot. Dengan sengaja Aleena juga diam-diam memperhatikan Daffin yang sedang mencuci tangannya di wastafel.

Saat membuka maskernya, Aleena semakin terpesona dengan ketampanan Daffin. Usai mengganti maskernya, Daffin keluar dari ruang IGD. Aleena yang mengetahui itu ingin mengejarnya, namun Rosa menghalangai langkahnya.

“Mau kemana kamu?” Rosa menarik tangan Aleena yang hendak kabur.

“Ih aku mau keluar dulu ada urusan!” bentak Aleena.

“Kamu harus tanggung jawab padaku!” rengek Rosa dengan tetap memegang erat pergelangan tangan Aleena.

*

Usai menemani Rosa di IGD, Aleena ke kantin untuk membeli air mineral. Ia sengaja membeli 2 botol untuk diberikan Daffin nantinya.

“Dimana dia? Cepet banget menghilangnya,” kata Aleena sambil mondar-mandir di lobby rumah sakit.

Lalu ia tersadar, lehernya tiba-tiba sakit akibat tercakar oleh Rosa.

“Aww ... sakit!” Aleena memegangi lehernya dan ternyata ada darah yang keluar, namun tak banyak.

Aleena masih memperhatikan sekitar sambil menahan sakitnya.

“Kamu terluka?” tanya Daffin dari belakang Aleena.

“Dokter Daffin?!” Aleena menoleh ke arah sumber suara.

“Oh tidak apa apa, mungkin tadi tercakar oleh orang gila. Nanti akan ku bersihkan dan ku obati,” kata Aleena Membujuk.

“Oke,” singkat Daffin kemudian meninggalkan Aleena.

“Eh, kenapa tiba-tiba terasa sakit? Bisakah kamu obati lukaku?” Aleena mencoba mencari perhatian Daffin.

“Ikuti aku,” perintah Daffin.

Daffin menuju ke ruangannya dan di ikuti oleh Aleena di belakangnya. Daffin mulai memeriksa luka yang ada di leher Aleena, sedangkan Aleena serius memperhatikan dokter Daffin. Daffin mulai membersihkan luka Aleena dengan hati-hati kemudian melanjutkan dengan memberinya obat.

“Sudah ku obati,” kata Daffin dengan cuek.

Aleena hanya mengangguk tanda mengetahui. Matanya tertuju pada sebuah kaca pembesar yang ada di meja Daffin, ia mengambilnya dan kemudian mulai memainkannya. Mencoba melihat mata Daffin, hidung, hingga bibirnya yang seksi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status